SODOM DAN GUMORRAH
Judul tulisan ini adalah diambil dari nama dua kota yang tertulis di
kitab-kitab agama Samawi, yaitu Kristen, Yahudi, dan Islam, dengan ejaan
berbeda tetapi mewakili nama tempat yang sama ( Bab edh-Dhra dan Numeria). Kota
ini beratus tahun hilang dari muka bumi karena tertimbun reruntuhan bumi, dan ini
sangat erat kaitannya dengan kisah Nabi Luth (Q.S. Huud, ayat 8).
Terlepas dari keberadaan kota ini yang masih diperdebatkan, akan tetapi
ada satu hal kesamaan dari penyebab hancurnya kota ini; yaitu semua mengakui
bahwa kedua kota ini dihancurkan Tuhan karena tindakan mereka yang telah
melampaui batas. Salah satu tindakan mereka adalah melegalkan hubungan
antarmanusia dengan sesama jenis. Walaupun tidak secara eksplisit ditulis
demikian, namun makna dari kisah Nabi Luth memberikan dua anak gadisnya untuk
diperistri baik-baik kepada kaumnya yang ditolak karena mereka menginginkan dua
pria tampan yang tidak lain adalah penjelmaan malaikat.
Sekitar 1900 tahun lalu atau tepatnya 24 Agustus tahun 79, juga ada
peristiwa mirip di atas yaitu terkuburnya Kota Pompeii oleh letusan Gunung Vesuvius di Itali. Kota tersebut rata dengan
tanah yang tidak meninggalkan saatupun warganya. Dari beberapa nukilan sejarah
ditemukan bukti bahwa Pompeii adalah kota wisata sek menyimpang pada jamannya.
Kejadian di sekitar Laut Mati beberapa abad lalu, dan peristiwa Pompeii
di Itali, ini merupakan pembelajaraan bagi umat manusia, bahwa sesuatu yang
melanggar sunattullah itu akan menemui kehancuran. Pertanyaan tersisa apakah kita akan mengulang
kebodohan yang sama dengan alasan Hak-Hak Azazi Manusia sebagai panglima yang
kita junjung tinggi kemanamana, termasuk dihadapan Tuhan Maha Pencipta.
Kasus kasus individual yang akhir akhir ini mengemuka, Lampung juga
pernah diguncang oleh kasus seperti ini, diantaranya terbunuhnya warga Lampung
di Australia karena kelainan seksual. Universitas ternamapun di Lampung ini
pernah disinggahi oleh issue yang juga sekitar kelainan seksual. Terakhir artis
Dangdut ternama harus berhadapan dengan pihak kepolisian karena kasus yang
sama.
Perilaku menyimpang dapat dikatakan penyakit jika itu melanda individu,
dan harus mendapatkan pengobatan. Namun menjadi berbeda jika individu-individu
yang mengalami penyimpangan prilaku tadi mengorganisir diri, kemudian meminta
pengakuan keberadaannya untuk hidup bersama dengan yang normal. Kuwajiban
mengobati yang sakit adalah keharusan dan harga mati, tetapi mengakui
organisasi untuk memelihara dan menumbuhkembangkan penyakit, adalah pertanyaan
yang tidak perlu dijawab.
Pada akhir-akhir ini muncul
sikap mendua diantara kita dalam menyikapi perilaku menyimpang, pada satu sisi
ada kelompok yang dengan antipati mengikis habis atas nama agama dan apapun; di
sisi lain ada kelompok yang mengakui hak hidup organisasi atas nama hak-hak
azazi manusia. Kedua kubu ini sampai kapanpun tidak akan ketemu; bahkan akan
semakin tajam perbedaannya. Tulisan ini tidak pada posisi menilai keduanya,
atau memberikan pembenaran pada satu kelompok atau dua-duanya. Akan tetapi
ingin menegaskan bahwa kehadiran negara pada kondisi ini diperlukan; yaitu
memberikan pengobatan atau apapun namanya kepada individu sebagai warganegara
yang mengalami kelainan, untuk dapat hidup normal kembali.
Benar sekali prof, ini penyakit yang harus diobati, bukan dikembangbiakkan dibalik kata-kata HAM
BalasHapus