SEKOLAH SOSIAL ITU BERNAMA SUMBER WARAS
Setiap kita mencari Apotik, yang orang dulu lebih mengenal dengan Rumah
Obat, biasa kita akan bertemu dengan seloka kata WARAS yang merupakan serapan
dari bahasa jawa dengan arti sehat. Contohnya; Apotik Enggal Waras, Sumber
Waras, Bagas Waras; dan lain sebagainya.
Namun akhir akhir ini kata WARAS sudah mulai bergeser maknanya, tidak
lagi dapat diterjemahkan otomatis Sehat;akan tetapi justru bisa menjadi
sebaliknya. Pembalikan esensi makna ini karena kekacauan kode labeling sosial
yang dilakukan oleh pelaku sosial.
Sumber Waras yang semula diberi label pemakna sebagai mata air yang
memberi kewarasan dan atau kesehatan, justru berubah menjadi Sumber Kekisruhan,
baik dalam konteks simbol, maupun dalam konteks kebendaan. Sumber
Waras juga sebagai pintu masuk menjadikan sesuatu yang tidak waras menjadi
waras. Sumber Waras juga menjadi Tonil Sosial bagi para pelakunya untuk
menunjukkan begitu kuasanya kekuasaan. Dengan kata lain Sumber Waras dapat
dijadikan medan pengesahan hipotesis bahwa Segenggam Kekuasaan itu jauh lebih
penting dari pada Segunung Kebenaran.
Kita sering lupa dengan contoh dan tamzil yang telah banyak di gelar di
muka bumi ini; bahwa sesuatu yang membalik kodrat itu akan menjadikan pekerjaan
sia-sia. Pada Epos Baratayudha kita kenal tokoh Patih Sengkuni, yang dengan
liciknya membuat kebenaran menjadi kesalahan, hitam dikatakan putih. Nasipnya
oleh Sang Dalang dilakonkan tokoh Sengkuni harus tewas secara mengenaskan
ditangan Kuku Pancanakanya Sang Bima. Kematiannya memilukan, tersobek-sobek
semua organ tubuhnya.
Logika berfikir rakyat dengan logika berfikir penguasa menjadi berpisah
dihadapan Sumber Waras, dan ini menjadi sangat berbahaya ke depan. Semua kita
tidak sadar bahwa Sumber Waras menjadi nama SEKOLAH SOSIAL bagi masyarakat.
Bias-bias yang muncul pada penguasa dengan menaikkan syarat perorangan jika
maju sebagai Calon dalam Pilkada, issu etnisitas yang dikemas dalam prajudice,
dan masih banyak lagi. Semua akan mendorong rakyat untuk menggunakan logikaanya
sendiri.
Prakiraan Sosial yang terjadi adalah, Pertama, masyarakat akan semakin
muak dengan tontonan politik seperti ini; dan berakibat pada semakin menjauh
pada pelaku politik, termasuk Partai Politik. Kedua, karena resistensi terhadap
politik makin tebal, akibatnya partisipasi terhadap kegiatan politik akan makin
rendah, akibat lanjut saat Pemilu maka mereka yang memilih untuk tidak memilih
jumlahnya makin besar.
Sikap masa bodo akan menjadi zona paling aman pada masyarakat, dan pada
waktunya akumulasi ini memunculkan politik tawar yang makin menggila. Gerakan
“Wani Piro” menjadi makin subur karena politik sesaat dan kepentingan sesaat
menjadi begitu pragmatis.
Secara tidak sadar Sumber Waras menjadikan pelakunya sekaligus arsitek
sosial untuk penghancuran negeri ini pada tataran ideologis. Politik santun
yang selama ini kita gadang-gadang untuk kita hidupkan di negeri ini, menjadi
sia-sia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar