KEMBALI KE “ NOL “ KILOMETER
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila
Pada saat mengahadiri kegiatan pertemuan
Pimpinan Pascasarjana yang
dilaksanakan di Aceh, even tersebut ditutup dengan mengunjungi daerah-daerah
yang terkena Tsunami, bahkan terekam dalam musieum yang tidak pernah habis
orang berkunjung ke sana; kemudian ditutup dengan mengunjungi Kota Sabang di
Pulau We. Pulau paling Barat ini pada zaman Presiden Habibi, dibangun penanda
yaitu “Titik Nol Kilometer Indonesia”. (Walaupun tidak tepat benar karena masih
ada Pulau Terluar paling luar yaitu Pulau Rondo).
Sepintas bangunan itu biasa-biasa saja bahkan
masih tampak dalam finalisasi renovasi, kesannya sama pada waktu berkunjung ke
Kota Khatulistiwa “Pontianak”, dan “Marauke” titik paling timur Indonesia. Namun ada yang menarik yaitu masih perlunya
peningkatan infrastruktur, sehingga tidak tertinggal dari daerah lain, Jarak yang ditempuh dengan tigapuluh menit
berlayar menggunakan Kapal Cepat, dengan catatan cuacanya bersahabat, ternyata
semua fasilitas pelabuhan begitu sederhana. Ruangan yang begitu panas, hiruk
pikuk pedagang asongan serta teriakan jasa angkutan, tidak adanya fasilitas
jamban; menjadi satu lebur saat Kapal
merapat bersandar di Pelabuhan.
Menjadi semakin lengkap dan lebar perbedaan
itu jika dibandingkan dengan perilaku elite yang juga begitu dipahami oleh
saudara-saudara kita yang ada di sana. Peristiwa-peristiwa nasional yang
terjadi nun jauh di Ibu Kota; mereka ikuti dengan perasaan yang tidak begitu
membahagiakan. Bahkan salah seorang supir “Otto” ; yang kehidupan mereka sangat
tergantung “Tamu” dari luar, mengatakan bahwa jika uang yang dikorupsi untuk proyek
Kartu Tanda Penduduk; digunakan membangun Kota Sabang, maka kota ini akan
menjadi lima kali lebih megah yang ada sekarang. Luka sosial yang tampak
terbaca di raut wajah pengemudi ini makin kentara manakala diskusi dilanjutkan
dengan bagaimana masih perlunya perbaikan sarana prasarana di Pulau Ujung Barat
ini.
Guncangan sosial mulai terasa dengan
tereksposenya beberapa pelaku korupsi E-KTP mengembalikan uang hasil rampokkan
ke pada negara. Hal ini menunjukkan semakin terang benerang, mana mungkin ada
asap, jika tidak ada api. Menjadi persoalan adalah masih banyaknya yang mengingkari.
Banyak diantara kita tidak merasa bahwa
masyarakat awam mulai menunjukkan respon negatif, yaitu menunjukkan
ketidakpercaaan masyarakat kepada eksekutif dan legeslatif. Kondisi ini akan
menuju kepada titik nol kepercaayaan, dan jika ini terjadi; maka masyarakat
kita akan berlaku apatis terhadap apa yang diperbuat oleh Eksekutif maupun
Yudikatif.
Respon-respon seperti ini sudah mulai
terasa saat ini; banyak anggota masyarakat sudah sangat acuh dengan Baliho
berisi gambar calon baik Bupati maupun Gubernur. Mereka tampak tidak acuh
kepada apa yang dipampangkan dimukanya, dan menjadi aneh lagi pada waktu
ditanya kepada mereka yang memasang, jawabannya: hampir semua mereka tidak
kenal dengan orang yang punya gambar atau sang calon, dan mereka melakukan
hanya karena pertimbangan ekonomi “berapa” diberi saja.
Model transaksional seperti ini tentu
sangat membahayakan tumbuhkembangnya demokrasi di negara ini. Seolah-olah kita
secara sengaja dan masif menciptakan kondisi
untuk terjun ketitik nol, akibatnya membuat partisipasi pada kegiatan politik
menjadi rendah. Ada hukum paradok di sana, satu sisi mengenalkan diri melalui
sosialisasi itu diperlukan, namun pada ukuran tertentu ternyata sosialisasi
menjadikan kejenuhan sosial.
Satu sisi korupsi, sisi lain kejenuhan
sosial, ternyata mulai menunjukkan korelasi yang makin erat, dan ini merupakan
hasil sosial yang banyak diantara kita tidak mengira. Terbentuknya kejenuhan
sosial seperti ini membuat pekerjaan kita menjadi lebih berat; karena
membangkitkan kembali partisipasi itu jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan
membangun partisipasi dari awal.
Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya
“Janji Kampanye” yang begitu duduk memangku jabatan hasil pilihan; yang
bersangkutan merasa tidak punya beban untuk mewujudkan janjinya, bahkan ada
bahasa Palembang yang menjadi jargon “Janji Kagek Bae” maksudnya ialah Janji
nanti saja. Akibatnya dikalangan masyarakat menengah timbul istilah “Pejabat
Hoak” yaitu pejabat pembohong. Kondisi ini juga memberi kontribusi pada
terbentuknya sikap apatis, dan pragmatis. Tentu saja akan berakibat pada
perilaku politik lanjutan, ada sebagian mereka menunggu serangan fajar, dan
berapa besaran yang ditebar dalam serangan fajar, itu ikut menentukan.
Kondisi ini tidak kentara dipermukaan dalam
wujud perilaku, tetapi hanya bisa di rasakan kehadirannya dalam sikap mereka. Hal
ini sudah terbukti dari hasil pemilihan kepala daerah yang lalu, ada
daerah-daerah yang oleh Petahana di anggap aman, ternyata justru Bom Waktu
meledak di sana. Sebaliknya daerah yang diperkirakan rawan, ternyata dengan
“gempuran ala ninja” daerah itu menjadi terselamatkan. Model
seperti ini sebenarnya sudah terjadi dimana-mana, karena kejenuhan massa sulit
terdeteksi; apalagi ditengah pusaran politik pasti ada pecundang politik.
Kelompok inilah yang selalu ingin ambil untung sehingga paling senang jika ada
konflik sosial dalam peristiwa apapun.
Atas dasar peritiwa itu tidak ada jaminan
Petahana dapat bertahan atau keluar sebagai pemenang; peluang untuk kembali ketitik
nol, tetap akan mungkin terjadi. Karena
banyak sekali faktor yang dapat menjadikan itu semua terjadi.
Berdasarkan semua di atas, ternyata
masyarakat awan selalu menjadi korban untuk selalu terbawa pada titik nol.
Korban massal seperti ini sangat jarang dipahami oleh banyak pihak, bahkan
berlindung atas dasar Pembelajaran dalam Demokrasi ; maka peristiwa itu sah
adanya. Luka sosial serupa ini sering kita buat tanpa harus mencoba untuk
mencari obatnya; bahkan setiap selesai peristiwa sosial apapun jenisnya dan
peristiwanya, banyak diantara kita abai akan hal ini. Padahal luka sosial tidak
jarang berkembang menjadi dendam sosial.
Peristiwa sosial seperti Pemilu, baik
Kepala Daerah maupun Presiden, Peristiwa Korupsi; semua itu akan menjadikan
kenangan kolektif pada “jejak rekam” ingatan masyarakat. Hal tersebut menjadi semacam referensi bagi
masyarakat untuk menilai sesuatu. Karena
itu biaya sosial yang dikeluarkan oleh masyarakat menjadi begitu mahal, dan
jika itu terus dibiarkan; maka akan menjadikan masyarakat mengalami sakit.
Berkaca dari peristiwa tersebut di atas,
maka untuk Pemilu Kada di Lampung hendaknya para peserta dapat menjadikan
referensi; setidaknya bahan renungan sebelum melangkah. Bahkan kebiasaan
bagi-bagi sembako yang selama ini sering dilakukan; untuk saat ini bukan
langkah populer lagi, karena yang akan terjadi sembako diambil pilihan tetap
beda. Atau masyarakat makin cerdas untuk menjadikan sembako sebagai amunisi
politik guna menjatuhkan Paslon.
Untuk para Petahana juga jangan merasa diri
sudah aman karena sudah memberikan yang terbaik buat rakyat. Karena antara Petahana
dan Rakyat, ada instrumen birokrasi yang terkadang melakukan hal-hal yang tidak
sesuai dengan semangat Petahana, justru yang terjadi sering apa yang dilakukan
oleh instrumen birokrasi berbanding terbalik dengan yang dikehendaki Petahana.
Mobilisasi massa juga perlu dipikirkan
ulang, karena banyak para pecundang politik yang berprilaku bertentangan dengan
apa yang dikehendaki oleh Petahana, atau juga calon penantang. Karena tidak
jarang pengerahan massa ini dijadikan lahan baru bagi pencari pekerjaan baru.
Orang yang sama dengan jadwal yang berbeda pada calon yang berbeda, bisa
dijadikan ajang pencari uang bagi para broker dalam pengerahan massa.
Perilaku-perilaku menyimpang serupa ini
merupakan devian dari demokrasi, yang pada akhirnya jika ini dibiarkan, akan
menyeret masyarakat pada perilaku politik transaksional, dan berakhir pada
titik nadir.
Isue-isue lain yang sekarang marak adalah
iseu primordialisme, yang juga tidak kalah bahayanya dengan hal-hal di atas.
Semua ini mendorong bangsa ini menuju pada titik nol; jika para elite pemimpin
tidak mampu mengelola negara ini secara baik. Negara-negara di luar sana banyak
yang dapat kita jadikan contoh. Syiria yang berkeping-keping, Iran yang tidak
pernah damai, Irak yang porak poranda, Pakistan yang selalu bertikai, dan masih
banyak lagi. Dan jangan sampai berikutnya adalah kita. Dengan sekuat tenaga
kita harus menghindarkan negara pada benturan sosial yang berakibat pada
pecahnya negara ini.
Sedangkan di dalam negeri dalam ingatan
sejarah masih tersisa. Negara-negara di Nusantara ini hancur berkeping tidak
banyak dikontribusi oleh faktor luar, tetapi justru dari dalam. Pertanyaannya ialah
apakah kita mau mengulangi kebodohan sejarah; apakah kita hanya ingin seperti
Kerajaan Singasari yang seumur jagung, atau kita mau mengukir sejarah menjadi
Majapahit Ke II. Semua berpulang kepada kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar