Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Jumat, 12 Mei 2017

KEMBALI KE “ NOL “ KILOMETER

KEMBALI KE “ NOL “ KILOMETER

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila

Pada saat mengahadiri kegiatan pertemuan Pimpinan Pascasarjana  yang dilaksanakan  di Aceh,  even tersebut ditutup dengan mengunjungi daerah-daerah yang terkena Tsunami, bahkan terekam dalam musieum yang tidak pernah habis orang berkunjung ke sana; kemudian ditutup dengan mengunjungi Kota Sabang di Pulau We. Pulau paling Barat ini pada zaman Presiden Habibi, dibangun penanda yaitu “Titik Nol Kilometer Indonesia”. (Walaupun tidak tepat benar karena masih ada Pulau Terluar paling luar yaitu Pulau Rondo). 

Sepintas bangunan itu biasa-biasa saja bahkan masih tampak dalam finalisasi renovasi, kesannya sama pada waktu berkunjung ke Kota Khatulistiwa “Pontianak”, dan “Marauke” titik paling timur Indonesia.  Namun ada yang menarik yaitu masih perlunya peningkatan infrastruktur, sehingga tidak tertinggal dari daerah lain, Jarak yang ditempuh dengan tigapuluh menit berlayar menggunakan Kapal Cepat, dengan catatan cuacanya bersahabat, ternyata semua fasilitas pelabuhan begitu sederhana. Ruangan yang begitu panas, hiruk pikuk pedagang asongan serta teriakan jasa angkutan, tidak adanya fasilitas jamban;  menjadi satu lebur saat Kapal merapat bersandar di Pelabuhan.

Menjadi semakin lengkap dan lebar perbedaan itu jika dibandingkan dengan perilaku elite yang juga begitu dipahami oleh saudara-saudara kita yang ada di sana. Peristiwa-peristiwa nasional yang terjadi nun jauh di Ibu Kota; mereka ikuti dengan perasaan yang tidak begitu membahagiakan. Bahkan salah seorang supir “Otto” ; yang kehidupan mereka sangat tergantung “Tamu” dari luar, mengatakan bahwa jika uang yang dikorupsi untuk proyek Kartu Tanda Penduduk; digunakan membangun Kota Sabang, maka kota ini akan menjadi lima kali lebih megah yang ada sekarang. Luka sosial yang tampak terbaca di raut wajah pengemudi ini makin kentara manakala diskusi dilanjutkan dengan bagaimana masih perlunya perbaikan sarana prasarana di Pulau Ujung Barat ini.

Guncangan sosial mulai terasa dengan tereksposenya beberapa pelaku korupsi E-KTP mengembalikan uang hasil rampokkan ke pada negara. Hal ini menunjukkan semakin terang benerang, mana mungkin ada asap, jika tidak ada api. Menjadi persoalan adalah masih banyaknya  yang mengingkari.

Banyak diantara kita tidak merasa bahwa masyarakat awam mulai menunjukkan respon negatif, yaitu menunjukkan ketidakpercaaan masyarakat kepada eksekutif dan legeslatif. Kondisi ini akan menuju kepada titik nol kepercaayaan, dan jika ini terjadi; maka masyarakat kita akan berlaku apatis terhadap apa yang diperbuat oleh Eksekutif maupun Yudikatif.

Respon-respon seperti ini sudah mulai terasa saat ini; banyak anggota masyarakat sudah sangat acuh dengan Baliho berisi gambar calon baik Bupati maupun Gubernur. Mereka tampak tidak acuh kepada apa yang dipampangkan dimukanya, dan menjadi aneh lagi pada waktu ditanya kepada mereka yang memasang, jawabannya: hampir semua mereka tidak kenal dengan orang yang punya gambar atau sang calon, dan mereka melakukan hanya karena pertimbangan ekonomi “berapa” diberi saja.
Model transaksional seperti ini tentu sangat membahayakan tumbuhkembangnya demokrasi di negara ini. Seolah-olah kita secara sengaja dan masif menciptakan kondisi untuk terjun ketitik nol, akibatnya membuat partisipasi pada kegiatan politik menjadi rendah. Ada hukum paradok di sana, satu sisi mengenalkan diri melalui sosialisasi itu diperlukan, namun pada ukuran tertentu ternyata sosialisasi menjadikan kejenuhan sosial.

Satu sisi korupsi, sisi lain kejenuhan sosial, ternyata mulai menunjukkan korelasi yang makin erat, dan ini merupakan hasil sosial yang banyak diantara kita tidak mengira. Terbentuknya kejenuhan sosial seperti ini membuat pekerjaan kita menjadi lebih berat; karena membangkitkan kembali partisipasi itu jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan membangun partisipasi dari awal.  

Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya “Janji Kampanye” yang begitu duduk memangku jabatan hasil pilihan; yang bersangkutan merasa tidak punya beban untuk mewujudkan janjinya, bahkan ada bahasa Palembang yang menjadi jargon “Janji Kagek Bae” maksudnya ialah Janji nanti saja. Akibatnya dikalangan masyarakat menengah timbul istilah “Pejabat Hoak” yaitu pejabat pembohong. Kondisi ini juga memberi kontribusi pada terbentuknya sikap apatis, dan pragmatis. Tentu saja akan berakibat pada perilaku politik lanjutan, ada sebagian mereka menunggu serangan fajar, dan berapa besaran yang ditebar dalam serangan fajar, itu ikut menentukan.

Kondisi ini tidak kentara dipermukaan dalam wujud perilaku, tetapi hanya bisa di rasakan kehadirannya dalam sikap mereka. Hal ini sudah terbukti dari hasil pemilihan kepala daerah yang lalu, ada daerah-daerah yang oleh Petahana di anggap aman, ternyata justru Bom Waktu meledak di sana. Sebaliknya daerah yang diperkirakan rawan, ternyata dengan “gempuran ala ninja” daerah itu menjadi terselamatkan.   Model seperti ini sebenarnya sudah terjadi dimana-mana, karena kejenuhan massa sulit terdeteksi; apalagi ditengah pusaran politik pasti ada pecundang politik. Kelompok inilah yang selalu ingin ambil untung sehingga paling senang jika ada konflik sosial dalam peristiwa apapun.

Atas dasar peritiwa itu tidak ada jaminan Petahana dapat bertahan atau keluar sebagai pemenang; peluang untuk kembali ketitik nol, tetap akan mungkin terjadi.  Karena banyak sekali faktor yang dapat menjadikan itu semua terjadi.  

Berdasarkan semua di atas, ternyata masyarakat awan selalu menjadi korban untuk selalu terbawa pada titik nol. Korban massal seperti ini sangat jarang dipahami oleh banyak pihak, bahkan berlindung atas dasar Pembelajaran dalam Demokrasi ; maka peristiwa itu sah adanya. Luka sosial serupa ini sering kita buat tanpa harus mencoba untuk mencari obatnya; bahkan setiap selesai peristiwa sosial apapun jenisnya dan peristiwanya, banyak diantara kita abai akan hal ini. Padahal luka sosial tidak jarang berkembang menjadi dendam sosial.

Peristiwa sosial seperti Pemilu, baik Kepala Daerah maupun Presiden, Peristiwa Korupsi; semua itu akan menjadikan kenangan kolektif pada “jejak rekam” ingatan masyarakat.  Hal tersebut menjadi semacam referensi bagi masyarakat untuk menilai sesuatu.  Karena itu biaya sosial yang dikeluarkan oleh masyarakat menjadi begitu mahal, dan jika itu terus dibiarkan; maka akan menjadikan masyarakat mengalami sakit.

Berkaca dari peristiwa tersebut di atas, maka untuk Pemilu Kada di Lampung hendaknya para peserta dapat menjadikan referensi; setidaknya bahan renungan sebelum melangkah. Bahkan kebiasaan bagi-bagi sembako yang selama ini sering dilakukan; untuk saat ini bukan langkah populer lagi, karena yang akan terjadi sembako diambil pilihan tetap beda. Atau masyarakat makin cerdas untuk menjadikan sembako sebagai amunisi politik guna menjatuhkan Paslon.

Untuk para Petahana juga jangan merasa diri sudah aman karena sudah memberikan yang terbaik buat rakyat. Karena antara Petahana dan Rakyat, ada instrumen birokrasi yang terkadang melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan semangat Petahana, justru yang terjadi sering apa yang dilakukan oleh instrumen birokrasi berbanding terbalik dengan yang dikehendaki Petahana.

Mobilisasi massa juga perlu dipikirkan ulang, karena banyak para pecundang politik yang berprilaku bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh Petahana, atau juga calon penantang. Karena tidak jarang pengerahan massa ini dijadikan lahan baru bagi pencari pekerjaan baru. Orang yang sama dengan jadwal yang berbeda pada calon yang berbeda, bisa dijadikan ajang pencari uang bagi para broker dalam pengerahan massa.

Perilaku-perilaku menyimpang serupa ini merupakan devian dari demokrasi, yang pada akhirnya jika ini dibiarkan, akan menyeret masyarakat pada perilaku politik transaksional, dan berakhir pada titik nadir.

Isue-isue lain yang sekarang marak adalah iseu primordialisme, yang juga tidak kalah bahayanya dengan hal-hal di atas. Semua ini mendorong bangsa ini menuju pada titik nol; jika para elite pemimpin tidak mampu mengelola negara ini secara baik. Negara-negara di luar sana banyak yang dapat kita jadikan contoh. Syiria yang berkeping-keping, Iran yang tidak pernah damai, Irak yang porak poranda, Pakistan yang selalu bertikai, dan masih banyak lagi. Dan jangan sampai berikutnya adalah kita. Dengan sekuat tenaga kita harus menghindarkan negara pada benturan sosial yang berakibat pada pecahnya negara ini.

Sedangkan di dalam negeri dalam ingatan sejarah masih tersisa. Negara-negara di Nusantara ini hancur berkeping tidak banyak dikontribusi oleh faktor luar, tetapi justru dari dalam. Pertanyaannya ialah apakah kita mau mengulangi kebodohan sejarah; apakah kita hanya ingin seperti Kerajaan Singasari yang seumur jagung, atau kita mau mengukir sejarah menjadi Majapahit Ke II. Semua berpulang kepada kita semua.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar