KAMPUNG INGGRIS dari TIMUR
Oleh : Sudjarwo
Guru Besar FKIP Universitas Lampung
Perkembangan trasportasi masa kini yang memudahkan mobilitas orang atau
barang dari satu tepat ketempat lain, maka untuk mencapai Kampung Inggris nun
jauh di Jawa Timur sana, ternyata tidak memerlukan waktu lama. Satu Jam sepuluh
menit Tanjung Karang-Surabaya lewat udara, dan tiga jam tiga puluh menit
Surabaya menuju Kampung Inggris menggunakan Bus Patas, semua perjalanan dapat
diselesaikan dengan nyaman.
Sebelum mencapai daerah tersebut bayangan semula adalah perkampungan
dengan berseliweran orang-orang bule dan bicara cas-cis-cus, serta budaya barat
yang kental. Ternyata sesampai ditempat daerah ini tidak berbeda dengan
perkampungan di Pulau Jawa pada umumnya, yaitu : padat penduduk, diversifikasi
pekerjaan, antara pertanian, perdagangan, dan jasa yang saling berkait
antarsatu dengan lainnya. Pembedanya adalah rumah-rumah yang ada berubah
menjadi semacam barak atau camp yang berisi anak-anak muda dan sedikit orang
tua yang hari harinya diisi dengan kegiatan belajar bahasa inggris.
Pesertanya tidak didominasi oleh orang
sekitar tetapi justru hampir seluruh orang Indonesia ada di sana, bahkan ada
saudara-saudara kita dari Vietnam, Camboja, dan beberapa negara Asia lainnya.
Semua di atas berlangsung dalam proses pendidikan non-formal yang secara
terus menerus dengan prinsip Pendidikan Orang Dewasa, dan mendapatkan pengakuan
Lembaga Kelas dunia, bahkan sertifikasi kekhususan dengan tuntutan standar
tinggi sangat terkenal di daerah ini. Semua berlangsung mengalir dalam
keseharian warga di sana, di bumi yang pernah melambungan nama Clifford Geertz
pada jagad Antropologi Sosial dengan karya besar bukunya “The Religion of Jawa”
yang diterjemahkan menjadi Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat
Jawa diekspose pertama pada tahun 1960 an awal, dengan menyamarkan nama
daerah ini menjadi Mojokuto.
Ada sesuatu yang menarik dari semua di atas; yaitu apa yang terjadi
sekarang ini semula dibangun dari seseorang yang memiliki jiwa kreatif tinggi,
yang kemudian memunculkan gerakan ekonomi kreatif pedesaan; sehingga memberikan
dampak yang luar biasa pada daerah sekitarnya, bahkan sampai keluar batas
daerahnya. Ini ditandai dengan menyebarnya para alumni membuat Rumah Inggris di
daerah asalnya, termasuk di Bandar lampung.
Pelajaran yang dapat dipetik dari semua itu adalah bagaimana satu
daerah dimunculkan dengan ciri entitas yang berbeda dari daerah lain; dengan
tetap mengedepankan local content.
Hal serupa ini untuk Lampung belumlah begitu terlambat. Upaya penggalian
potensi wisata sudah begitu banyak dilakukan, walaupun belum tampak adanya
koordinasi antara Provinsi dengan Kabupaten/Kota, bahkan sering tampak berjalan
sendiri-sendiri. Event-event besar dan daerah potensial wisata belum tergarap dengan
baik dan terkoordinasi dengan baik.
Pada suatu saat ada tamu dari Manca Negara yang berkunjung ke Kota ini
menanyakan dimana mereka bisa melihat Bangunan atau informasi penting tentang
adat budaya yang ada di daerah ini. Ternyata tidak mudah untuk menemukenali
persoalan yang ditanyakan tamu tadi. Musium yang ada tidak begitu memuaskan
karena mereka minta yang lebih spesifik. Mereka pernah membaca betapa agungnya
budaya daerah ini pada masa lalu, dan mereka ingin melihat jejak-jejak itu
dikota ini. Sayang yang mereka lihat semua sudah berbau metropolis, sementara
yang berciri kearifan lokal, menurut mereka sudah sulit menemukannya.
Konsep pembangunan dunia ketiga yang pada tahun 80-an pernah ditulis
oleh beberapa ahli, ternyata perlu dibaca kembali oleh para pengambil
kebijakkan masa kini. Membangun kota atau daerah menjadi metropolis tidaklah
salah, persoalannya adalah kemetropolisan itu tidak harus menggerus atau
mengkooptasi yang tradisional. “kerakusan” modrenisasi tidak harus
diperturutkan dengan mengorbankan apa saja demi suatu pencitraan. Justru di
sana letak kearifan seorang pemimpin dituntut.
Identitas budaya suatu daerah bukanlah berarti ketradisionalan yang
terbelakang, justru itu merupakan penanda bagaimana kepedulian untuk mengangkat
kepada keluhuran entitas. Berfikir bahwa tradisional adalah keterbelakangan,
ini merupakan warisan pemikiran dari penjajah yang harus dimerdekakan. Apalagi
jika berfikir bahwa modren itu harus meninggalkan tradisi; paradigma seperti
ini harus dikoreksi, jika kita tidak ingin tercerabut dari identitas diri dalam
konteks budaya. Bahwa terjadi envolusi dan evolusi dalam budaya, itu adalah
sunatullah yang tidak dapat dihindari.
Pola-pola Akulturasi, assimilasi, dan infiltrasi; itu merupakan aksioma
budaya yang tidak terbantahkan. Namun bagaimana semua itu terdokumentasi secara
baik, sehingga menjadi cognitif mind
pada pelaku budaya. Jejak-jejak warisan budaya itu akan terekam secara kolektif
pada pelaku budaya. Dia tidak pudar hanya karena gerusan budaya materialistik;
karena tertanam sebagai tatanilai. Sehingga terwariskan secara baik untuk
generasi penerus, dan sekaligus ini upaya agar mereka tidak kehilangan
identitas.
Adalah sesuatu yang belum terlambat jika Kota Bandar lampung menjadi
pelopor untuk melestarikan budaya Lampung dalam konteks Pepadun dan Peminggir
dengan mewujudkan dalam bentuk simbolisasi bangunan, dengan semua perangkaat
sosialnya. Sekaligus bangunan ini menjadi semacam promosi budaya. Even
dilakukan secara bergantian dengan ditunjang pendanaan promosi yang cukup oleh
pemerintah Kota.
Pada periodesasi tertentu digelar acara adat pada kedua rumah budaya
itu yang sekaligus merupakan wahana sosialisasi kepada generasi penerus; dan
juga sekaligus menjual dalam tanda petik kepada wisataan; baik dalam maupun
luar negeri. Karena lokal content serupa ini sangat menunjang untuk
memperkenalkan Bandarlampung ke kelas dunia.
Model ekonomi kreatif serupa ini perlu dikembangkan karena sekaligus
juga merupakan media untuk menularkan
kepada kegiatan lain, paling tidak kegiatan yang menunjang kegiatan utama.
Sebelumnya tentu harus dilakukan kajian akademik terlebih dahulu sehigga
diperoleh landasan berpijak yang kokoh untuk membuat perencaanaan yang matang.
Hal ini dilakukan untuk tidak terjebak kepada perencanaan yang berbasis pada keinginan,
tetapi pada kebutuhan; sehingga rangkaian kegiatannya menjadi terukur.
Semangat membangun dengan berbasis pada budaya lokal adalah terobosan
yang harus dilakukan agar kita tidak kehilangan roh. Upaya pimpinan daerah yang
melestarikan simbol daerah kepada semua bangunan fisik, sudah seharusnya
ditindaklanjuti dengan pembangunan non-fisik. Karena jika itu saja yang
dilakukan, maka simbol itu akan berhenti pada tataran ornamen. Secara terus
menerus perlahan tapi pasti, simbol-simbol fisik tadi akan kosong kehilangan
roh. Mereka akan membuat hanya takut dengan peraturan daerah, bukan karena
penghayatan terhadap nilai yang terkandung pada simbol.
Pembangunan bukan hanya sebatas menjulangkan beton ke langit, atau
membentangkan Jembatan, menyusun batu pondasi, menempel bata; akan tetapi harus lebih dari itu; dengan cara
memberikan sentuhan budaya lokal, sehingga para pengguna fasilitas tidak merasa
tercerabut dari akarnya, tetapi justru merasa nyaman karena fasilitas tadi
mewakili nilai budayanya.
Untuk mencapai hal tersebut sudah seharusnya mulai dari perencanaan
sampai dengan pelaksanaan dan evalusi, para pemangku kepentingan, terutama dari
mereka yang peduli akan pelestarian budaya, untuk dilibatkan. Sehingga terbangun
diskusi-diskusi yang intens guna memunculkan aspek budaya sebagai roh
pembangunan akan muncul dan terjaga.
Gugatan-gugatan kritis terhadap warna pembangunan seperti :
Kapitalisme, Neo Lib, dan lain sebagainya yang akhir-akhir ini muncul. Itu
terjadi bukan hanya kesalahan perancangan, akan tetapi juga ketidakpedulian
kita selama ini kepada perencanaan pembangunan yang tidak diisi dengan local wisdom. Kita hanya meributkan
hasil akhir; itupun setelah adanya Korban Pembangunan. Selagi itu dirasa
menguntungkan, dan tidak menimbulkan korban, semua kita mendiamkan. Padahal
gerusan ideologi itu berjalan terus mengikis habis kearifan lokal yang kita
miliki.
Semua belum terlambat jika kita ingin memulai, karena yang paling berat
itu adalah ayunan langkah pertama; oleh sebab itu mari kita menyatukan langkah,
menyelamatkan negeri ini dengan tetap melestarikan nilai-nilai budaya lokal.
Harapannya adalah pada masa yang akan datang kita tidak akan meninggalkan dosa
sejarah, karena tidak mau melestarikan sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar