LAPAR
MATA
Oleh : Sudjarwo
Guru Besar FKIP Universitas Lampung
Pada bulan Romadhon seperti sekarang ini Pusat
Perbelanjaan, pasar tradisional, dan Pasar “Terkejut”, pada waktu-waktu
tertentu sangat padat pengunjung; dan semua ingin melahap isi pasar tersebut. Walaupun
dominasi kaum Ibu paling banyak; bukan berarti kaum Bapak tidak. Justru kaum Bapak sering ikut berdesak
merengsek ketengah “medan perburuan”; guna mencari yang diinginkan; bukan yang
dibutuhkan.
Suasana seperti ini seolah-olah menjadi ciri
khas Romadhon; bahkan menjadi semakin ramai menjelang Hari Raya Idhul Fitri.
Ditengah hiruk pikuk itu kita sulit membedakan apakah yang belanja dan
berjualan sedang melaksanakan ibadah Puasa. Namun ada satu hal yang tampak luar
biasa adalah Lapar Mata yang semakin menjadi-jadi. Perilaku massal seperti ini
tampak sekali dari pengamatan kita selama ini.
Namun sebenarnya Lapar Mata untuk di bulan
Romadhon itu masih manusiawi, dan sangat lumrah, terutama bagi mereka yang baru
pertama menjalankan ibadah puasa; menjadi tidak lumrah jika Lapar Mata itu
mengidap pada mereka yang sangat getol berkorupsi. Tidak peduli apakah itu
pejabat atau rakyat, birokrat atau wakil rakyat; jika sudah terkena penyakit
Lapar Mata ini, tidak dapat membedakan lagi mana miliknya dan milik orang lain.
Harta sudah berjibunpun dirasa masih kurang; bahkan tidak segan-segan
“merampok” yang bukan miliknya.
Pada akhir-akhir ini kita sering
mendapatkan suguhan dari media massa, baik tulis maupun elektronik; yang
mewartakan bagaimana semakin sistimatik dan rapinya perilaku Lapar Mata ini,
bahkan bukan menjadi perilaku individual, sudah berubah bentuk menjadi perilaku
berjamaah. Keterangan atau gelar “Wajar Tanpa” yang dikeluarkan oleh lembaga
yang selama ini ditakuti oleh penyelenggara negarapun, sudah bisa diatur maunya
seperti apa bunyi yang dinginkan. Seolah resonansi bunyipun sudah bisa dipesan
seperti terompet Tahun Baru. Bahkan ada yang lebih seru lagi rasa garam yang
aslinya adalah “asin”, akan tetapi ditangan peLapar Mata menjadi “manis”. Dan
yang bisa mengubah ini tidak tanggung-tanggung adalah Direktur; yang notebene
sudah digajih Puluhan Juta Rupiah perbulan oleh Negara.
Menjadi pertanyaan adalah bagaimana gejala
Lapar Mata yang satu ini bisa tumbuh sedemikian rupa, seolah raksasa yang bisa
bertriwikrama sekehendak hati. Berdasarkan analisis perilaku sosial yang
dibangun dari Teori Lapar Sosial; ternyata manusia setelah berkelompok dan
bersepakat untuk mencapai tujuan bersama; maka perasaan bersama yang muncul
adalah bagaimana upaya untuk mencapai tujuan bersama itu dengan seefektif
mungkin; terlepas jalan yang akan ditempuh itu merugikan orang lain atau tidak.
Maka dengan kelemahan inilah muncul Teori Moral Sosial yang diperlukan untuk
memberikian rambu-rambu guna pencapaian tujuan sosial.
Kita menjadi paham jika sekelompok
pengusaha berkumpul menyatu bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama; maka
koorporasi ini menjadi raksasa untuk melibas siapa saja yang merintangi
pencapaian tujuan mereka. Menjadi persoalan bila sekelompok pejabat, baik
birokrat, politisi maupun pejabat
publik, menyatu bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama; berperilaku yang
tidak sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat. Untuk berkolusi bersama dalam
memperkaya diri dengan dalih apapun, ini menjadi pertanyaan besar bagi
masyarakat.
Lapar Mata bisa berakibat menjadi Lapar
Panggung; dan peristiwa ini tampaknya merebak di muka bumi negara tercita kita
ini. Alih-alih memberi kesempatan pada generasi penerus untuk melanjutkan
estafet generasi, justru kakek-kakek/nenek-nenek sibuk menciptakan panggung
sandiwaranya karena lapar popularitas. Alih-alih memberikan Tauziah yang
berkesejukan; justru menjadi propokator untuk sesuatu hal; sehingga terbuka
ruang panggung untuk dapat menampilkan akting yang jika disimak tampak sekali
kejanggalannya dan sering tidak lucu.
Era demokrasi seperti sekarang ini ternyata
membawa Lapar Mata untuk segala hal dapat terjadi. Semula Pahlawan, sayang
ternyata Pecundang, Semula Petualang, sayang ternyata Penghalang. Perubahan
dengan berpayung pada eforia Demokrasi menjadi begitu cepat; apalagi jika
masalahnya bersentuhan dengan pribadi atau kelompok; cepat sekali berubah
menjadi reaktif yang protektif . Aturan seolah-olah hanya berlaku untuk orang
lain; bukan untuk diri dan kelompoknya.
Hak “bertanya” boleh mereka ajukan kepada
siapa saja; bahkan berlindung pada perundangan untuk melakukan ancaman dan atau
penekanan, walaupun tidak tepat, mereka upayakan untuk tepat; tetapi hak itu
tidak untuk orang lain bertanya kepada mereka. Atas nama kekebalan institusi
maka perisai ini paling aman untuk dilakukan; mereka dapat menggunakannya
“kapan saja, dimana saja, untuk apa saja”; Jika dirasa itu mengancam
kepentingan mereka, maka senjata itu mereka turunkan, dengan dalih “koreksi”,
tetapi bukan untuk “koreksi diri” nya.
Lapar mata yang dapat berkembang menjadi
Lapar Kuasa ini tampaknya akan terus berkembang secara liar kesemua sektor
kehidupan manusia. Ini membuktikan betapa dahsyatnya labido manusia dan memang
sudah dipesankan dalam ajaran suci agama bahwa manusia itu walaupun sudah
diberi satu gunung emas, maka dia akan ingin mendapatkan dua, jika dua sudah
terpenuhi dia ingin empat. Kerakusan seperti ini seharusnya bulan suci Romadhon
dapat dijadikan bulan introspeksi; ternyata justru bulan ibadah ini tidak
menyentuh sama sekali. Bahkan terkesan tidak mempengaruhi sama sekali dengan
kelaparan akan kekuasaan.
Lapar kuasa juga dapat memakan korban dalam
bentuk fisik; apakah itu reklamasi pantai, garam, flyover, helikopter, jalan
tol ; apa saja bisa dilibas. Kita bisa geleng kepala bagaimana bisa terjadi
pejabat adu kuasa, atas nama kepentingan rakyat, maka semua bisa dilanggar
dengan kuasa. Hasilnya lagi-lagi pembenaran teori Peter Berger tentang
Piramidal Kurban Manusia menjadi kenyataan. Rakyat kecillah yang menjadi korban
segalanya, dan harus menanggung beban resiko segalanya.
Belum lagi Lapar Kuasa pun bisa memecahkan
perkongsian yang semula disepakati waktu mencalon bersama; tetapi karena Lapar
Mata yang berubah menjadi Lapar Kuasa, maka kesepakatan kebersamaanpun bisa
dikorbankan; dan ironisnya ini diumbar diranah publik. Alhasil masyarakat bisa
menilai memimpin satu orang saja tidak mampu, apalagi mau memimpin masyarakat
luas.
Masyarakat seolah-olah diberi tontonan
gratis tentang bagaimana sesungguhnya laparnya serigala belum selapar manusia,
padahal kita semua tau bahwa harkat manusia jauh diatas serigala. Kelaparan
akan kekuasaan ini juga diplesetkan oleh banyak pihak dengan jargon “beri aku
segenggam kekuasaan, itu jauh lebih berharga dari pada sejuta kebenaran”. Jika
ini yang terjadi maka kita tinggal menunggu kerusakan masif pada masyarakat kita.
Dimana-mana kita melihat sisi lain sebagai
dampak pengiring dari perkembangan demokrasi adalah munculnya “lapar Kuasa”.
Ini tampaknya merupakan cacat bawaan dari bayi yang bernama Demokrasi. Oleh
karena itu kita diharuskan berhati-hati dalam menyikapi semua implikasi negatif
ini. Kita harus menyiapkan instrumen sosial guna meminimalisir dampak pengiring
ini, sehingga sistem tadi tidak menciderai rakyat.
Jargon yang mengatakan “mau pensiun jadi
rakyat” adalah lambang simbolis dari keputusasaan menghadapi sistem yang ada.
Atau sikap “wani piro” adalah bahasa simbol yang dimunculkan karena merasa
tidak mendapatkan manfaat dari sumbangan suara pada waktu pilihan. Akhirnya
bahasa-bahasa simbol seperti ini menjadi “oase” bagi rakyat jelata dalam
menghadapi Lapar Mata yang bertiwikrama menjadi Lapar kuasa, yang menghinggapi
sebagian dari para petinggi hasil pilihannya.
Pada bulan suci ini semoga kita mampu
melakukan pengendalian diri untuk tidak Lapar Mata dalam arti yang sebenarnya
maupun simbolik; agar tidak bertiwikrama menjadi Lapar Kuasa. Kita semua tidak
mengentahui apakah puasa ini merupakan puasa terakhir pada diri kita. Tidak ada
yang mampu menjamin apakah kita masih diberi hak untuk melaksanakan puasa
ditahun depan. Oleh karena itu tidaklah salah jika kita mengatakannya
jangan-jangan ini merupakan puasa kita yang terakhir di bumi ini.
Semoga kita semua mampu memberikan yang
terbaik yang kita miliki kepada negeri ini, minimal kontribusi kita adalah doa
agar negeri ini tetap utuh dan sejahtera rakyatnya. Karena salah satu
diantaranya yang dapat mengubah nasib adalah doa; hanya kapan dan dimana doa
itu dikabulkan; itu adalah wilayah Sang Maha Pencipta. Selamat Melaksanakan
Saum Romadhon bagi yang melaksanakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar