Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila
Perjalanan “ritual” mudik lebaran sudah
usai, semua menuju pada keseimbangan lagi; bergerilya mengais rezki; dengan
semangat baru, harapan baru. Namun demikian tetap ada yang membekas dalam alam
ingatan di sana, jauh di alam sadar, berupa memori yang terkadang tidak
selamanya mengenakkan.
Slogan
“mudik adalah perjuangan, bertemu keluarga adalah kebahagiaan” merupakan
sesuatu yang tepat, karena kata “perjuangan” pada kalimat awal memiliki makna
yang begitu luas dan dalam, baik secara fisik maupun secara spirit. Perjuangan
untuk masih-masing wilayah memang berbeda, baik tantangannya, bentuknya dan
daya tahan yang harus disiapkan. Namun spiritnya tetap sama yaitu berjuang
untuk mencapai tujuan.
Pemudik di Pulau Jawa relatif dimanjakan
oleh pemerintah, jika dibandingkan di daerah lain. Sarana prasarana sudah
dipersiapkan jauh hari; bahkan cenderung dibuat sebaik dan semewah mungkin.
Dari kondisi jalan, penerang jalan, bahkan sampai kamar kecilpun disiapkan.
Belum lagi liputan pemberitaan yang cenderung dibesarkan sedemikian rupa.
Berbeda dengan untuk daerah lain luar Pulau Jawa; liputan hanya dilakukan
sekilas serta informasi tidak begitu ditail; baru menjadi berita jika ada
kecelakaan yang merengut korban jiwa, itupun tidak seheboh jika kejadian di
Pulau Jawa.
Sepenggal pengalaman ini diperoleh saat
melakukan Touring lebaran yang baru saja berlalu melintasi Jalan Lintas Tengah
Sumatera sampai ke Bengkulu. Pada hari pertama lebaran meninggalkan Provinsi
Lampung, situasi masih sangat lengang bahkan cenderung sepi. Sarana dan
presarana jalan masih cukup bagus, bahkan kendaraan bisa dipacu maksimal. Namun begitu masuk wilayah Sumatera Selatan
terutama jalur Baturaja – Muaraenim; keadaan berubah drastis, sarana jalan
menyempit dan banyak yang terbis kiri kanan jalan. Tampak sekali prasarana
jalan masih kurang perhatian. Trans Sumatra sejak diresmikan sampai sekarang,
fasilitasnya begitu begitu saja. Bahkan jalan yang menembus hutan Bukit
Barisan; nyaris tidak ada perubahan yang berarti dibandingkan dengan sarana
yang ada di Pulau Jawa.
Keadaan di atas tidak juga beda fasilitas
jalan antara Lubuk Linggau menuju Bengkulu melalui Curup. Padahal daerah ini
memiliki potensi wisata yang tidak kalah menariknya dengan Puncak-Jawa Barat. Jalan
yang berliku dan kecil menembus hutan Bukit Barisan; dan daerah ini memiliki
sejarah panjang terutama Curup dan Tabamenanjung, yang mengukir sejarah
perjuangan melawan penjajah; ternyata tetap merana dengan kekurangannya.
Berkaca pada pada kondisi di atas ternyata
masa Orde baru yang ingin menidakkan tapak tilas Soekarno Presiden Pertama
Republik, masih meninggalkan luka sejarah yang masih harus dirasakan sampai
hari ini. Terlepas dari perbedaan kepentingan para pemimpin; tetapi rakyat
bukanlah obyek yang harus dikorbankan.
Seharusnya para Wakil Rakyat yang ada di
Gedung Parlemen Jakarta sesekali merasakan naik kendaraan darat milik umum
(rakyat), merasakan gelombang dan guncangan jalan ini. Jangan hanya pandai
mengguncang tatanan negara di Jakarta saja, dengan berdalih membela rakyat;
tetapi rakyat yang mana tidak jelas.
Ini baru satu sisi dari republik yang
seluas ini, dan note bone tidak jauh dari Ibu Kota Negara, bisa dibayangkan
bagaimana keadaan yang ada di Natuna, atau di Pulau Siberut, dan lain
sebagainya. Mungkin lebih parah dan lebih mengenaskan.
Jalan Tol Sumatera yang sudah digagas oleh
presiden RI pertama, ternyata baru sekarang dilaksanakan, itupun dengan
berbagai kendala. Pertanyaan tersembunyi kenapa jalan TOL hanya identik dengan
Pulau Jawa. Lalu apa yang dipikirkan oleh pemimpin negeri ini selama sekian
tahun dalam melihat keterbatasan sarana ini. Apakah Indonesia itu hanya Pulau
Jawa. Pertanyaan pertanyaan begini sering mengganggu banyak pihak, walau jarang
mereka mau mengemukakan hanya dengan satu alasan tidak mau mengganggu harmoni. Tampak
sekali bahwa pencitraan yang selama ini dibangun ternyata keropos didalam.
Hikma perjalanan mudik lebaran ternyata
membuat tersisanya perenungan akan nasib negeri ini. Kemerdekaan yang sudah
setengah abad lebih ini belum dinikmati oleh semua lapisan masyarakat di bumi
pertiwi. Ritual mudik yang bagi sebagian orang adalah oase kehidupan, namun
bagi yang lain adalah perjuangan untuk mencapai tujuan.
Ritual mudik seperti di Indonesia, juga
ditemukan dibeberapa negara tetangga; hanya saja ritual mudik yang ada di
Indonesia memiiliki kekhasan tersendiri. Kekhasan itu diantaranya adalah ritual
mudik seolah menjadi hajatan nasional, sehingga perhatian semua pihak, termasuk
pemerintah menjadi sangat besar. Bukan hanya personal tetapi juga termasuk
anggaran, menjadi beban negara yang tidak sedikit. Namun disayangkan sekalipun
sudah menjadi agenda tahunan; ternyata pemerintah selama ini belum begitu
strategis menanganinya; sehingga pemerintah yang sekarang justru penerima beban
terberat dari pemerintahan sebelumnya, apakah ini akan berlanjut ke depan,
walahualam.
Wacana atau rencana pemindahan Ibu Kota
Negara, juga akan berdampak pada pelayanan ritual mudik ini. Berandai-andai
jika Pusat Pemerintahan Negara akan berada di Kalimantan; maka pelayanan ritual
mudik akan mengalami pergeseran yang luar biasa; dan ini akan meretas sejarah
baru bagi negara ini.
Sejarah mencatat bahwa selama ini pusat
pemerintahan negara-negara besar yang pernah hidup di nusantara ini ada di
Pulau Jawa, hanya Kerajaan Sriwijaya yang ada di luar Pulau Jawa. Dan jika
nanti pada waktunya Ibu Kota Negara akan dipindah keluar Pulau Jawa; maka
sejarah Sriwijaya akan terulang dinegeri ini setelah sekian abad berlalu. Hanya
meninggalkan pertanyaan ialah sejauh mana kesiapan untuk melakukan itu semua.
Ukuran parameter mudik lebaran menjadi
salah satu tolok ukur diantaranya; hal ini bisa dibayangkan jika ibu kota
negara masih di Jakarta saja, Sumatera masih terbata-bata dalam mengejar
ketertinggalannya, bagaimana kalau pindah menjauh dari Sumatera, apakah ada
jaminan untuk lebih baik, atau sebaliknya. Pertanyaan-pertanyaan ini memang
kelihatan terlalu dini untuk dilontarkan; namun kita bisa belajar dari
negara-negara lain yang juga memiliki pengalaman pernah melakukan pemindahan
Ibu Kota Pemerintahannya.
Kajian-kajian akademis dan penelitian
konpregensif perlu dilakukan; sehingga pemindahan ibu kota negara bukan berarti
pemindahan kemiskinan baru; akan tetapi betul-betul dapat bermanfaat untuk
kesejahteraan rakyat. Hal ini perlu diperhatikan karena bisa dibayangkan ibu
kota baru akan menarik urbanisasi baru, dan pada waktunya begitu musim mudik
tiba, maka pemerintah akan ada pekerjaan baru menyiapkan sarana prasarana
menyambut ritual mudik di daerah ibu kota yang baru.
Dilihat dari segi pemerataan pembangunan
hal ini tentu menguntungkan bagi daerah baru; namun juga perlu diperhatikan
bahwa untuk pengatasan masalahnya tidak bisa diselesaikan dengan bilangan waktu
hari atau bulan; akan tetapi justru akan memakan waktu tahun yang cukup
panjang. Jadi apa yang diungkapkan oleh Wakil Presiden Yusuf Kalla; bahwa waktu
yang diperlukan untuk pemindahan ibu kota negara tidak kurang sepuluh tahun
lamanya. Estimasi ini adalah sesuatu yang logis, mengingat persiapan non-fisik
jauh memerlukan waktu lebih lama jika dibandingkan dengan persiapan fisik.
Ternyata dimensi mudik untuk wilayah
Sumatera yang harus melintas Gunung dan menurunin Lembah membawa alam pemikiran
sendiri buat Indonesia. Tanah air tercinta ini sangat memerlukan pemimpin yang
arif bijaksana; pemimpin yang tidak hanya pandai mengeluh, pemimpin yang tidak
menghujat wakilnya ditengah khalayak, pemimpin yang taat aturan, pemimpin yang
tidak suka mencari kambing hitam, tetapi pemimpin yang berjiwa besar mau
mengakui kekurangan ditengah kelebihannya.
Demikian juga Tanah Air tercinta ini
memerlukan wakil rakyat yang tidak hanya pandai menyalahkan kerja orang lain,
wakil rakyat yang hanya merasa menang sendiri, wakil rakyat yang dengan mudah
berucap tanpa sadar ucapannya menyakiti rakyat. Rakyat sekarang sudah sangat
cerdas, dan pada waktunya wakil yang seperti ini tidak akan dipilih kembali.
Rakyat sekarang memerlukan wakil yang cerdas tetapi juga santun. Paham akan
etika ketimuran yang sarat dengan simbol-simbol kesusilaan dan kepatutan.
Semoga mudik lebaran tahun adalah mudik
terakhir dengan kekurangannya; dan jika Sang Pencipta masih memberi kesempatan
untuk menikmati mudik pada tahun yang akan datang, kekurangan selama ini akan
berbalik menjadi kelebihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar