CATATAN AKHIR TAHUN
Sudjarwo
Guru Besar FKIP dan
Direktur Pascasarjana Unila
Sebenarnya tulisan ini
tidak ingin di produksi karena ada dua alasan; pertama, berkeinginan agar ada
penulis muda yang menjadi penerus; sehingga pada waktunya nanti ada penulis
baru yang lebih “now” mengikuti pergolakan jamannya, sehingga persiapan untuk
naik gunung “madegpanditho” yang akan penulis lakukan dapat berjalan mulus
tanpa aral. Alasan kedua adalah alasan
sosialpsikologis yaitu suatu kondisi yang membuat seseorang menjatuhkan pilihan
untuk “diam” karena alasan yang sulit dinarasi.
Namun semua itu menjadi
batal karena desakan tanggungjawab akademik yang muncul akibat dari menyimak
kondisi sosial yang mengemuka, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali
menuliskan narasi pemikiran kehadapan sidang pembaca, diusia yang sudah tidak
muda lagi ini.
Peristiwa demi
peristiwa melintas di panggung Bumi Pertiwi ini; semula merupakan riak-riak
kecil, namun dipenghujung tahun ini tampaknya berpotensi menjadi besar, dan
bisa jadi liar. Seperti biasa kondisi ini dimanfaatkan oleh para petualang
untuk berselancar guna memenuhi syahwat politiknya. Sehingga tidak jarang yang
dilakukannya menggunakan hukum Machiavelli.
Hal ini kita simak
dengan adanya angin Putingbeliung yang menerpa salah satu organisasi politik
terbesar (dahulu) di Republik ini, merupakan gambaran nyata bagaimana “salah
kelola” nya suatu manajemen publik oleh mesin organisasi. Sisi lain ada
organisasi yang tanpa bentuk hanya dengan berbasis massa, selalu bergerak
mencari mangsa untuk dijadikan batu pijakkan melakukan mobilisasi massa;
sehingga tercipta ruang atau medan untuk berhadap-hadapan dengan penguasa, yang
selalu disublimasikan sebagai “musuh”, bukan saudaranya; padahal kelompok ini
mengusung simbol-simbol agama sebagai alat untuk melakukan mobilisasi. Agama
yang dikenal sangat sejuk mengayomi seluruh mahluk dibumi ini; ternyata
direkayasa untuk dibalik menjadi raksasa yang menakutkan. Untuk masih banyak
para Ulama linuwih yang memberikan pesan-pesan damai agar tidak terjadi kondisi
yang membahayakan kesatuan negeri.
Kondisi lain yang juga
ikut mewarnai varian ini ialah pusaran ekonomi; dimana pola ekonomi riel
berubah menjadi ekonomi maya. Dampaknya tampak dahsyat sekali, banyak Swalayan
yang harus tutup, penyedia jasa riel bangkrut karena ada jasa maya yang hidup
berkembang. Sekarang pesan Ayam Goreng tidak harus antri dihadapan penggorengan
penjual, cukup melakukan aplikasi tertentu, maka Ayam Goreng akan hadir di meja
makan kita.
Peredaran uang tidak
perlu melalui transaksi riel yang ini berdampak pengurangan tenaga kerja
perbankan. Pengiriman uang tidak harus melalui Kantor Pos, tetapi cukup melalui
Anjungan Tunai Mandiri (ATM) semua bisa diselesaikan dengan mesin pintar ini,
dampaknya Kantor Pos cukup dilayani oleh satu dua orang saja, dan kondisi ini
sudah berlaku mulai lima tahun terakhir. Kantor Telegram sudah lama gulung
tikar karena cukup dengan Pesan Pendek (SanDek) semua terlayani dengan sempurna.
Peristiwa lain yang
tidak kalah seru; ialah korupsi berlangsung masih begitu masif. Hal ini
dibuktikan dengan setiap bulan Komisi Pemberantasan Korupsi selalu menangkap
tangan pejabat bertransaksi haram. Jika kita lihat pelakunya tidak ada yang
“orang kecil”, tetapi semua bersapari atau berseragam dengan sederet pangkat di
pundaknya. Namun lembaga yang disayangi rakyat ini ternyata dibenci oknum
pejabat. Buktinya hampir setiap hari selalu ada uji materi perundangan yang
berkaitan dengan aturan main lembaga anti rasuah ini. Sampai-sampai anggota
parlemen terhormat yang tidak punya partaipun ikut meramaikannya. Tentu
alasannya dibuat serasional mungkin bahkan seakademik mungkin, jika perlu
menggunakan diksi yang orang lain tidak mengerti.
Peristiwa-peristiwa di
atas akselerasinya akan makin kencang di tahun mendatang karena ada dua
peristiwa besar yang akan dijadikan “medan kurusetra” bagi para petarung di
negeri ini. Menjadi persoalan adalah bukan para petarungnya, akan tetapi adalah
para pengikut yang menyertainya. Dari sekarang sudah terasa, petarung yang
turun gelanggang belum ada; tetapi gelanggang sudah digoyang. Tidak jarang penggoyangnya lebih heboh dari
petarungnya. Tanda-tanda itu sudah mulai tampak dari sekarang; spanduk dipasang
di mana-mana; sementara petarungnya duduk manis; hanya aliran “manis” (baca:
uang) yang terus mengalir. Berbagai cara dilakukan dari yang halal sampai yang
haram dilakukan; sehingga masyarakat menjadi sesat, seolah kiamat sudah dekat.
Berkaca dari semua di
atas, menjadikan ingatan melayang di masa lalu yaitu peringatan luhur yang
diwedar oleh Pujangga Besar jamannya yang mengatan “Sak bejo-bejane wong kang lali, isih bejo wong kang eleng lan waspodo” terjemahan bebasnya kira-kira
seuntung-untungnya orang yang lupa masih beruntung mereka yang ingat dan
waspada. Maksudnya ialah bahwa orang yang selalu ingat akan aturan dunia dan
akherat itu lebih dijamin selamat dibandingkan dengan mereka yang ubud dunia.
Hanya masyarakat sering
dibuat bingung justru karena mereka yang seharusnya memberi contoh terbaiknya,
tetapi justru berbuat kebalikannya. Orang
tua bahkan Tokoh Senior yang seyogyanya memberikan “piwulang luhur” pada
generasi penerusnya, ternyata malah ikut naik mobil berbekal pelantang suara,
menyampaikan yang seharusnya bukan porsinya.
Mudah-mudahan dipenutup
tahun ini kondisi bangsa menjadi lebih baik guna menyongsong tahun-tahun yang
akan datang. Perbedaan adalah anugerah, oleh sebab itu mari kita bergandenga
tangan memajukan negeri ini dengan merajut perbedaan menjadi kekuatan.
SUGENG TUTUP TAUN LAN SUGENG MAPAK WARSO ENGGAL.
SUGENG TUTUP TAUN LAN SUGENG MAPAK WARSO ENGGAL.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar