MADHEG PANDITO
Oleh: Sudjarwo Guru Besar FKIP Unila
Pada waktu menyimak lakon Mahabarata
ternyata kata kunci lakon itu ada pada tangan seorang tokoh bernama Prabu
Kresna yang memiliki kerajaan bernama Dwarawati. Tokoh ini memegang Kitab
Jitabsara yang berisi alur cerita Mahabarata; siapa berperang dengan siapa, dan yang harus kalah
dan menang siapa. Versi pedalangan Jawa kitab ini selalu dijadikan acuan oleh
Kresna guna mengatur lakunya perang besar Bharatayudha.
Prabu Kresna sebagai tokoh sentral dalam
peperangan itu bahkan pernah menjadi Kusirnya Harjuna pada saat berperang
melawan Adipati Karna di Tegal Kurusetra; yaitu suatu daerah medan tempur untuk
berhadap-hadapan satu lawan satu antara prajurit Pandawa dan Hastinapura dan
juga para panglima perangnya.
Tokoh Kresna ini menjadi sangat penting
pada waktu Perang Baratayudha. Tidak ada satu alur ceritapun dalam peperangan
itu tanpa melibatkan beliau. Diawali dengan diplomasi untuk penyerahan
Hastinapura secara damai; yang dalam pewayangan terkenal dengan lakon Kresno
Duto; walau beliau sendiri sudah mengetahui bahwa itu tidak mungkin, karena
jika terjadi maka perang Baratayudha tidak akan jadi, tetapi tetap dilakoni
karena memang jantranya harus begitu. Terakhir peran beliau adalah Pendawa
Mandito yang juga mengakhiri perjalanan Kresna didunia dan harus menuju
kepertapaan guna menjemput maut. Beliau menjalani “sepotonya” Dewi Gendari
Ibunya para Kurawa : yang mengharuskan Kresna melihat kehancuran wangsanya
didepan matanya sendiri, serta harus rela mati kena anak panah yang nyasar
kepadanya saat dia bertapa.
Cerita singkat itu hanya sebagai pengantar
pikir untuk melihat kembali bagaimana perjalanan para tokoh kita dewasa ini
dalam mengisi kemerdekaan. Ada tokoh
yang berperan sebagai Pejuang Kemerdekaan, ada yang berperan sebagai Pengantar
Kepintu Gerbang Kemerdekaan, ada yang berperan sebagai Pengisi Kemerdekaan.
Masing-masing peran memiliki fungsi dan tugas masing-masing; yang juga memiliki
iklim masing-masing. Masing-masing peran itu sangat penting karena merupakan
rangkaian yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Banyak tokoh bangsa ini yang masuk kategori
Pengantar Kepintu Gerbang Kemerdekaan, berjuang tidak sempat menyaksikan
“pernyataan kemerdekaan” dibacakan. Mereka telah lebih dahulu mendahului
menghadap sang Khalik, baik karena usia maupun karena korban perjuangannya.
Demikian juga mereka yang berada pada barisan “pencetus” kemerdekaan, bahkan
perjuangan mereka bersimbah darah. Berbeda dengan yang berposisi pada pengisi
kemerdekaan. Ada diantara mereka justru mengisi pundi-pundi pribadi dengan cara
tidak sah. Ada juga yang mengisinya dengan memperturutkan Labido Politiknya;
walaupun dengan cara-cara yang tidak sesuai aturan.
Soal Labido Politik ini memang sangat
menarik karena tidak mengenal waktu tempat, usia dan jenis kelamin. Dari
semenjak zaman purba hingga kini, ternyata labido ini mendorong seseorang ingin
berkuasa; untuk memenuhi hasrat itu tidak jarang upaya mencari panggung selalu
dilakukan, baik dengan cara-cara terhormat maupun dengan cara-cara yang kurang
santun. Ironisnya juga tidak jarang pencari panggung ini mantan tokoh yang seyogyanya harus menjadi
penasehat; justru menjadi pemain. Tampak ketidaksiapan untuk menepi dari zaman
dan memberi peluang yang muda untuk tampil.
Jumlah mereka memang tidak banyak, tetapi
karena tidak banyak itu justru semua perilaku mereka menjadi begitu kentara. Persoalannya
ialah apa yang ditampilkan pada masa lalu sering berbanding terbalik dengan
perilaku yang ditampilkan sekarang.
Seyogyanya para tokoh ini menyadari bahwa
tantangan jamannya sudah berbeda, iklimnya sudah berbeda, kebutuhannyapun sudah
berbeda. Justru yang dipentingkan adalah bagaimana memberi suri tauladan dan
nasehat kepada mereka yang sedang melakoni jamannya agar tidak tersesat; bukan
justru ikut bermain, bahkan ingin menjadi pelaku utama. Kesesatan berfikir
serupa ini hendaknya perlu dihindari, agar para generasi penerus mampu
menyelesaikan episode lakonnya dengan baik dan benar.
Tidak ada sesuatu pekerjaan yang sempurna di
dunia ini, oleh sebab itu adalah lumrah jika episode keberhasilan didalam
proses perjalanannya ada sisi-sisi ketidak berhasilan. Hal inilah seyogyanya
ditunjukkan kepada generasi penerus agar tidak mengulanginya. Penjelasan bijak
sangat diperlukan dalam konteks ini; oleh karena itu Madheg Pandito itu bukan
harus menjauh dari dunia nyata, lalu menuju ke atas gunung guna bertapa atau
bersemedi untuk kepentingan sendiri. Untuk saat ini justru harus ada ditengah
masyarakat, namun tidak lebur bersama mereka; akan tetapi menjadi sesuluh
mereka dalam menjalani peran kehidupan.
Peran ini sekarang menjadi langka, banyak
diantara mereka menutup diri, atau mencari panggung baru. Jika pilihannya
menutup diri; maka peran Madheg Pandito mereka maknai meninggalkan dunia ini
untuk kontemplasi mesu budi, menuju alam keabadian secara mandiri. Pilihan ini
tidak salah, karena menentukan jalan hidup sendiri adalah bagian dari Hak-Hak
Azazi. Namun pilihan kedua; mencari panggung baru, kemudian ingin ikut berperan
terus dalam urusan dunia, juga tidak salah. Menjadi persoalan jika keduanya
disikapi secara ekstrim, dalam arti berlebihan sehingga tampak tidak etis,
bahkan cenderung norak.
Perilaku seperti di atas akan membawa
bangsa ini ke arah Jalan yang sempit Gang yang rumit, karena para Panditho yang
seharusnya memberikan jalan terang kepada alam dan umat sekitarnya, justru
memberikan perilaku sebaliknya. Hal ini akan berimbas kepada Generasi Millenia
yang lahir di atas tahun 80 an, mereka akan kehilangan panutan; bahkan
disinyalir mereka suka politik tetapi tidak mau ikut berpolitik, karena salah
satu alasannya ialah tidak menemukan tokoh idola. Mereka mengalami disorientasi
tokoh; karena apa yang mereka baca dengan apa yang mereka lihat sangat jauh
berbeda.
Lebih parah lagi tokoh yang seharusnya
menghormati perbedaan sebagai sunatullah; justru mengangkat panji-panji merasa
menang sendiri dan paling berhak atas kapling Syurga. Padahal semula waktu muda
tokoh ini menebarkan kebhinekaan dimana-mana; akan tetapi menjelang usia senja
justru menjadi penebar teror ideologi yang masif. Bahkan memiliki kecenderungan
baru yaitu memksakan kehendak kepada pihak lain. Ketokohan diwaktu muda sebagai
pejuang demokrasi seolah pudar dibawa jaman. Semula orang sangat takjub dengan
ketokohannya, justru akhir-akhir ini mereka merasa menemukan sosok lain dari
tokoh ini.
Bagaimana jika tokoh waktu muda paling
tidak pernah berbuat salah langkah dalam menapaki sejarah pengabdiannya;
kemudian di ujung usia menjadi tokoh, pergi kepertapaan untuk melakukan pertaubatan.
Ternyata nasib tokoh seperti masih jauh lebih baik, karena banyak orang memberi
apresiasi; bahkan cenderung memaafkan kesalahan masa lalunya. Tidak jarang
simpati yang diberikan menjadi berlebihan dan mengkultuskan, bahkan
diperlakukan sebagai seorang “Juru Selamat” yang hadir di dunia.
Suka tidak suka saat ini Indonesia memasuki
era generasi baru, generasi Millenia yaitu generasi yang tidak pernah lepas
dari genggam teknologi. Bahkan generasi ini sering disebut generasi Global.
Teknologi informasi menjadi masuk kebutuhan primer, seperti juga papan,
sandang, dan pangan bagi mereka. Tentu saja kebutuhan psikologis mereka sangat
berbeda jika dingkan dengan generasi-generasi sebelumnya.
Mereka memerlukan para “Wiku” yang berbeda
dengan generasi sebelumnya. Ukuran Madheg Pandito bagi generasi ini bukan lagi
yang teriak-teriak di jalanan atau diatas mobil komando; Atau juga mereka tidak
butuh lagi dengan orang yang bersila di atas batu bersemayam di puncak gunung, akan
tetapi ukuran mereka sekarang seorang Wiku itu jika menguasai banyak aplikasi
dari teknologi untuk mendapatkan kemudahan. Dari pesan makanan, pesan Taxi,
pesan tukang service mobil, dan semua kebutuhan kehidupan; cukup hanya
menyentuh layar Gaget yang ada ditangannya.
Arus perubahan serupa ini membuat dunia
senyap ditengah kermaian. Komunikasi personal semakin masif tetapi tidak harus
terdengar bersuara. Semuanya berjalan dalam kesenyapan, bahkan kegaduhanpun
berlangsung dalam senyap. Warga masyarakatnya yang disebut nitizen ini
berkembang bagai amuba yang begitu cepat membelah diri. Genersi ini tidak butuh
menonton TV berjam-jam kecuali acara kesukaan masal, mereka juga tidak suka retorika
yang menggebu-gebu; tetapi mereka lebih suka memperhatikan layar mini dengan
seribu informasi.
Mari para Pandito kita mengenali perilaku
ini; jika kita berharap negeri ini menjadi lebih baik dimasa depan, maka
sebenarnya semua tergantung dari generasi ini. Belum terlalu terlambat kita
memperhatikan dan memfasilitasi generasi ini tumbuh guna menerima tongkat
estafet Indonesai masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar