MERAWAT KEINDONESIAAN
Oleh : Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila
Idulfitri baru saja berlalu; hingar bingar
publik secara berangsur menuju pada rutinitas kembali, dengan membawa sejuta
kenangan dan harapan. Rajut-rajut silaturahmi yang terbangun selama mudik
lebaran seolah menjadi enargi baru untuk melintasi hidup kedepan. Upaya
bersusah pergi pulang menuju kampung halaman untuk jumpa Orang Tua dan atau
Sanak Saudara; memiliki seni tersendiri; yang semua itu tidak dapat diwakili
dengan deretan kalimat; akan tetapi deretan rasa-lah yang mampu menguak misteri
ini.
Kepenatan seolah terobati dengan perjumpaan
bersama keluarga, sohib karib, sedulur salembur, handaitolan dan kerabat.
Cerita dibuka dari menanyakan kabar, kemudian jumlah anak cucu, pekerjaan,
dimana anak-anak sekarang, dan terakhir pertanyaan pada pilihan; apakah itu
Bupati/Kepala Daerah, sampai Presiden. Seolah mereka adalah politikus yang
mengupas tuntas keadaan perpolitikan Indonesia saat ini. Hal ini diteguhkan
lagi dengan ditebarkannya Spanduk-Spanduk yang tidak bebas nilai; sehingga
areal mudik secara sosial menjadi wilayah baru untuk menarik garis pembeda
antarkita dan kalian. Sampai mudik gratis yang selama ini merupakan
tangungjawab sosial perusahaan, berubah menjadi tangung jawab politik dari golongan
terhadap kontestan, walaupun dibungkus dengan kebersamaan.
Jika dibandingkan era sebelum 1998; maka
kemajuan percaturan ini luar biasa majunya; bahkan tidak jarang
komentar-komentar mereka melampaui komentator nasional. Kenyinyiran mereka
ternyata juga dapat melebihi kelas wahid penyinyir yang ada di Senayan Jakarta.
Dan semua itu mereka sampaikan secara lugas gamblang; bahkan tidak jarang
sedikit diberi muatan emosi. Berbanding terbalik dengan era sebelum 98. Era masa gelap itu jangan coba-coba mengemukakan
perbedaan pendapat dengan pemerintahan yang ada; jika anda ingin selamat;
karena dimana-mana ada intel melayu yang disusupkan disetiap perhelatan apapun.
Atas nama melindungi keamanan negara; maka telinga negara disebar dimana-mana
oleh yang mbau rekso destrik. Nama
operasi bisa bermacam-macam dari Operasi Senyap sampai Operasi Mawar; semua
pernah hidup dimuka bumi Nusantara ini. Bahkan jejak-jejak itu sampai kini
sering terlihat samar dari kejauhan dengan ciri Ada Baunya tetapi Tidak Ada Wujudnya. Bahkan para pelakunya sekarang ada yang masih
mampu berdiri tegak di muka bumi pertiwi ini seolah pahlawan yang tidak punya
dosa masa lalu, sekalipun sejarah masih mencium aroma bau anyir darah
ditangannya. Apakah cara-cara ini masih diteruskan; jawabnnya ada di hati kita
masing-masing.
Dua puluh tahun sudah berlalu; mereka yang
lahir di tahun 1998, sekarang sudah berada ditingkat Perguruan Tinggi; bahkan mungkin ada yang
sudah tamat dan bekerja memiliki posisi strategis di negeri ini. Cerita sejarah
itu mereka peroleh sepenggal-sepenggal dari Guru Sejarah di Sekolah Dasar,
Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas; serta sedikit di Perguruan
Tinggi. Mereka harus menghafal untuk
mengejar belas kasihan Guru/Dosen sehingga memberi nilai Baik. Mereka tidak
terlibat dan atau merasakan beban emosi saat itu; mereka hanya terbebani
Kognisi, tanpa Afeksi, apalagi Konasi. Mereka hanya mengejar nilai akademik
tertinggi pada laporan kemajuan belajarnya, sebagai sarana laporan pada orang
tua atau memperpanjang bea siswa.
Saat ini kita memiliki Amunisi Jaman yang
karakteristiknya antara lain seperti dideskripsikan di atas. Merekalah yang
nantinya akan menerima tongkat estapet kebangsaan di tahun 2030. Dengan
sejumlah kemudahan yang dimiliki namun juga dihadapkan dengan sejuta tantangan
internal dan eksternal berkebangsaan yang kita tinggalkan kepada mereka.
Masa transisi generasi ini merupakan
sunatullah yang harus dilalui dan dijalankan oleh bangsa manapun di dunia ini;
tidak terkecuali apakah dia negara besar seperti China, Amerika, Rusia, dan
India. Atau negara negara kecil seperti Kepulauan Salomon di tengah Samudra
Pasifik. Semua harus merasakan Goncangan Sosial seperti ini. Hanya ada yang
mereka siap dan sukses; tetapi tidak sedikit yang gagal melampaunya.
Jika kita menyimak sejarah bangsa-bangsa
didunia pada Abad 20 yang lalu; bagaimana negara-negara Balkan pecah berkeping,
bagaimana Yugoslavia terburai, Uni Sovyet berserak. Namun kita juga menyaksikan
bagaimana Negara-negara Bagian di Amerika masih bangga dengan Slogan “saya
Amerika” nya terikat dalam United State,
yang usianya sudah lebih dari satu abad. India tetap bulat walau memiliki
negara bagian yang beragam. China yang masih save sekalipun tirai bambunya
sudah roboh. Bersamaan dengan itu saat ini “musim semi” di Timur Tengah membawa
kekhawatiran sejumlah negara di kawasan itu. Yordania yang Chaos, Suriah yang
bergejolah, Irak yang bergerak, Iran yang sedang meradang; semua menunjukkan
bagaimana Tsunami Sosial sedang melanda di beberapa kawasan dunia.
Negera-negara itu memiliki metoda dan cara
sendiri-sendiri dalam merawat keberlanjutan bangsanya. Kebhihinekaan yang
mereka miliki; sekalipun mungkin keberagaman yang ekstrim ada di tengah mereka,
namun mereka berusaha melampaui titik titik kritis bahkan krusial dari
jamannya. Tidak jarang juga disertai dengan pilihan pahit yaitu berperang
antarmereka sendiri; sementara negara lain menjual senjata untuk kepentingan
bakubunuh tersebut.
Pertanyaannya sekarang bagaimana dengan
kita; apakah kita masih mampu terus menerus
mendengungkan ditelinga anak-anak bangsa ini adanya Sumpah Pemuda Tahun
1928; Pekik Kemerdekaan 1945, Pekik Allahuakbar-nya Arek-Arek Suroboyo pada
peristiwa 10 November, dan masih banyak lagi pekik heroik lainnya. Juga seperti halnya Sumpah Palapa-nya
Mahapatih Gajah Mada dijaman Majapahit yang melanggengkan negara itu sampai
berusia 600 tahun lebih. Bagaimana upaya yang harus kita lakukan agar semangat
Proklamasi 1945 itu tetap menjadi aliran darah manusia merdeka yang bernama Indonesia.
Tugas Jaman seperti di atas tidak bisa kita
lakukan hanya satu malam seperti kesaktian Sangkuriang menjadikan Tangkuban
Perahu, atau Bandungbondowoso dalam menciptakan seribu Candi. Semua harus
melalui proses, yang diawali dari perencanaan, aksi, dan evaluasi secara terus
menerus disetiap lini kehidupan bangsa ini.
Upaya merajut kemudian mengikat semangat
dan jiwa Keindonesiaan dalam Sabuk Nusantara bukanlah hanya tugas negara
terhadap warganegaranya semata; akan tetapi juga tugas sesama warganegara dalam
upaya semangat kebersamaan serta keberagaman dalam bernegara; menjadikan tali
pengikat sabuk itu menjadi kokoh. Siapapun pemimpin Indonesia saat ini dan
kedepan; tugas paling berat adalah merawat keindonesiaan. Pembangunan yang
bersifat fisik siapapun pemimpinnya bisa melakukan, namun membangun kemudian
merawat, menjaga keindonesiaan tidaklah semudah yang diucapkan. Karena setiap
generasi memiliki tantangan tersendiri, dan memiliki aura jaman yang juga
berbeda dengan masa sebelum ataupun masa kedepannya.
Sejarah telah mencatat era Soekarno dengan
Demokrasi Terpimpin hanya cocok untuk masa itu, setelah pergantian generasi dan
pergantian tantangan; maka era P4 di masa Soeharto merupakan jawaban untuk
masanya. Setelah itu tampaknya kita terlena dengan tugas yang bersifat fisik
dan lahiriah, sementara tugas merawat keindonesiaan sedikit terabaikan. Seolah
tugas itu selesai diruangan kelas yang digelar oleh para guru. Munculnya militansi
baru yang berbaju lama membuat kita semua terhenyak atas kesalahan bersama yang
kita perbuat. Walaupun untuk mengakui kesalahan ini hampir semua kita
melemparnya kepada pundak pemerintah sebagai rezim; bukan kepada kita semua
sebagai bangsa.
Tampaknya sekarang kita memerlukan formula
baru untuk menjawab semua itu. Bagaimana kita menjembatani yang benci tetap mencaci, yang menyukai tetap memuji; pada satu
bingkai nasionalisme keindonesiaan. Sehingga kebencian tidak menjadikan kehancuran, kecintaan tidak menjadikan
kebutaan. Pekerjaan merajut perbedaan ini bukan tanpa resiko; karena jika
gagal; tarohannya adalah perpecahan yang bersifat horizontal dan masif. Tetapi
jika kita berhasil melakukannnya sebagai bangsa, maka kita mampu berdiri tegak
bersama bangsa-bangsa lain dengan lantang mampu mengatakan “ I am Indonesia”.
Tidak ada kata terlambat dalam berbuat
untuk negeri ini; dengan waktu yang ada
perlu dipikirkan melalui kelembagaan yang ada secara formal dan nonformal untuk
merumuskan suatu tindakan, cara atau apapun namanya; guna menyusun konsep yang
aplikasinya adalah merawat keindonesiaan.
Bentuk-bentuk doktrinal dalam batas-batas
tertentu mungkin masih diperlukan, akan tetapi bukan merupakan cara
satu-satunya. Justru yang diperlukan adalah instrumen sosial yang secara
akademis dapat dipertangungjawabkan dan mampu menjangkau semua lapisan yang ada
dalam masyarakat, sesuai dengan kebutuhan dan tantangan jamannya.
Kerja konfregensif serupa ini tentunya
perlu melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang ada dalam masyarakat; sehingga
tidak ada yang merasa ditinggalkan dalam membangun negeri ini. Materinya sudah
ada; yang diperlukan sekarang bagaimana cara agar materi tadi menjadi
teraplikasi secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Keterlibatan orang-orang muda jamannya
tampak perlu dilakukan; karena internalisasi nilai-nilai luhur milik bangsa ini
bukan hanya dominasi generasi “Old”, akan tetapi lebih pada penggunanya yaitu
generasi “Now”; Oleh karena itu mendengarkan aspirasi mereka dengan cara duduk
bersama dengan mereka; adalah suatu keharusan. Generasi ini memiliki kelebihan
dari generasi sebelumnya yaitu pada penguasaan teknologi digital, serta
keterampilan komunikasi ujung jari yang mereka miliki (komunikasi senyap);
membuat bahan internalisasi nilai harus sesuai dengan tuntutan mereka.
Sebagai uji coba sosial dapat kita lihat
pada peristiwa 27 Juni 2018 ini yang merupakan Pemilihan Umum Kepala Daerah
serentak di Indonesia; Keterlibatan generasi Now mulai menunjukkan
identitasnya. Mereka tidak suka relay-relay dengan berpanas ria meneriakkan
yel-yel mendukung calonnya, seperti kampanye jaman Old. Mereka sekarang senyap
tidak terlihat; namun gawai mereka bergerak terus mewartakan apa yang terjadi
disekitar mereka dan membagikannya keseluruh dunia dalam tempo sekejab.
Masa yang berciri senyap ini bisa berbahaya
jika tidak ada patron yang mengawal mereka melalaui informasi-informasi
kekinian yang jujur. Kecenderungan menghindari konflik politik yang bersifat
terbuka pada mereka begitu besar. Oleh sebab itu merawat keindonesiaan melalui
gawai mereka pada musim seperti sekarang ini amat mendesak diperlukan, sebagai
suatu upaya rekayasa sosial yang bermartabat dan beradab.
Rekayasa sosial serupa ini tentu harus
dikaji masak-masak dari segala segi; baik akademik (seperti disinggung di atas),
agama, norma sosial umum, aspek politis dan lain sebagainya. Yang juga tidak
kalah penting dan perlu diingat bahwa keanekaragaman indonesia merupakan modal
dasar dalam merawat keindonesiaan. Kalau tidak kita siapa lagi, kalau tidak
sekarang kapan lagi, jargon ini untuk masalah merawat keindonesiaan saat ini
masih relevan.
MestiQQ Adalah perusahaan judi online KELAS DUNIA ber-grade A
BalasHapusSudah saatnya Pencinta POKER Bergabung bersama kami dengan Pemain - Pemain RATING-A
Hanya dengan MINIMAL DEPOSIT RP. 10.000 anda sudah bisa bermain di semua games.
Kini terdapat 8 permainan yang hanya menggunakan 1 User ID & hanya dalam 1 website.
( POKER, DOMINO99, ADU-Q, BANDAR POKER, BANDARQ, CAPSA SUSUN, SAKONG ONLINE, BANDAR66 )
PROSES DEPOSIT DAN WITHDRAWAL CEPAT Dan AMAN TIDAK LEBIH DARI 2 MENIT.
100% tanpa robot, 100% Player VS Player.
Live Chat Online 24 Jam Dan Dilayani Oleh Customer Service Profesional.
Segera DAFTARKAN diri anda dan Coba keberuntungan anda bersama MestiQQ
** Register/Pendaftaran : WWW-MestiQQ-POKER
Jadilah Milionare Sekarang Juga Hanya di MestiQQ ^^
Untuk Informasi lebih lanjut silahkan Hubungi Customer Service kami :
BBM : 2C2EC3A3
WA: +855966531715
SKYPE : mestiqqcom@gmail.com