Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Kamis, 27 September 2018

MERAWAT KEINDONESIAAN


 MERAWAT  KEINDONESIAAN
Oleh : Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila

Idulfitri baru saja berlalu; hingar bingar publik secara berangsur menuju pada rutinitas kembali, dengan membawa sejuta kenangan dan harapan. Rajut-rajut silaturahmi yang terbangun selama mudik lebaran seolah menjadi enargi baru untuk melintasi hidup kedepan. Upaya bersusah pergi pulang menuju kampung halaman untuk jumpa Orang Tua dan atau Sanak Saudara; memiliki seni tersendiri; yang semua itu tidak dapat diwakili dengan deretan kalimat; akan tetapi deretan rasa-lah yang mampu menguak misteri ini.
Kepenatan seolah terobati dengan perjumpaan bersama keluarga, sohib karib, sedulur salembur, handaitolan dan kerabat. Cerita dibuka dari menanyakan kabar, kemudian jumlah anak cucu, pekerjaan, dimana anak-anak sekarang, dan terakhir pertanyaan pada pilihan; apakah itu Bupati/Kepala Daerah, sampai Presiden. Seolah mereka adalah politikus yang mengupas tuntas keadaan perpolitikan Indonesia saat ini. Hal ini diteguhkan lagi dengan ditebarkannya Spanduk-Spanduk yang tidak bebas nilai; sehingga areal mudik secara sosial menjadi wilayah baru untuk menarik garis pembeda antarkita dan kalian. Sampai mudik gratis yang selama ini merupakan tangungjawab sosial perusahaan, berubah menjadi tangung jawab politik dari golongan terhadap kontestan, walaupun dibungkus dengan kebersamaan.


Jika dibandingkan era sebelum 1998; maka kemajuan percaturan ini luar biasa majunya; bahkan tidak jarang komentar-komentar mereka melampaui komentator nasional. Kenyinyiran mereka ternyata juga dapat melebihi kelas wahid penyinyir yang ada di Senayan Jakarta. Dan semua itu mereka sampaikan secara lugas gamblang; bahkan tidak jarang sedikit diberi muatan emosi. Berbanding terbalik dengan era sebelum 98. Era masa gelap itu jangan coba-coba mengemukakan perbedaan pendapat dengan pemerintahan yang ada; jika anda ingin selamat; karena dimana-mana ada intel melayu yang disusupkan disetiap perhelatan apapun. Atas nama melindungi keamanan negara; maka telinga negara disebar dimana-mana oleh yang mbau rekso destrik. Nama operasi bisa bermacam-macam dari Operasi Senyap sampai Operasi Mawar; semua pernah hidup dimuka bumi Nusantara ini. Bahkan jejak-jejak itu sampai kini sering terlihat samar dari kejauhan dengan ciri Ada Baunya tetapi Tidak Ada Wujudnya.  Bahkan para pelakunya sekarang ada yang masih mampu berdiri tegak di muka bumi pertiwi ini seolah pahlawan yang tidak punya dosa masa lalu, sekalipun sejarah masih mencium aroma bau anyir darah ditangannya. Apakah cara-cara ini masih diteruskan; jawabnnya ada di hati kita masing-masing.
Dua puluh tahun sudah berlalu; mereka yang lahir di tahun 1998, sekarang sudah berada ditingkat  Perguruan Tinggi; bahkan mungkin ada yang sudah tamat dan bekerja memiliki posisi strategis di negeri ini. Cerita sejarah itu mereka peroleh sepenggal-sepenggal dari Guru Sejarah di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas; serta sedikit di Perguruan Tinggi.  Mereka harus menghafal untuk mengejar belas kasihan Guru/Dosen sehingga memberi nilai Baik. Mereka tidak terlibat dan atau merasakan beban emosi saat itu; mereka hanya terbebani Kognisi, tanpa Afeksi, apalagi Konasi. Mereka hanya mengejar nilai akademik tertinggi pada laporan kemajuan belajarnya, sebagai sarana laporan pada orang tua atau memperpanjang bea siswa.
Saat ini kita memiliki Amunisi Jaman yang karakteristiknya antara lain seperti dideskripsikan di atas. Merekalah yang nantinya akan menerima tongkat estapet kebangsaan di tahun 2030. Dengan sejumlah kemudahan yang dimiliki namun juga dihadapkan dengan sejuta tantangan internal dan eksternal berkebangsaan yang kita tinggalkan kepada mereka.
Masa transisi generasi ini merupakan sunatullah yang harus dilalui dan dijalankan oleh bangsa manapun di dunia ini; tidak terkecuali apakah dia negara besar seperti China, Amerika, Rusia, dan India. Atau negara negara kecil seperti Kepulauan Salomon di tengah Samudra Pasifik. Semua harus merasakan Goncangan Sosial seperti ini. Hanya ada yang mereka siap dan sukses; tetapi tidak sedikit yang gagal melampaunya.
Jika kita menyimak sejarah bangsa-bangsa didunia pada Abad 20 yang lalu; bagaimana negara-negara Balkan pecah berkeping, bagaimana Yugoslavia terburai, Uni Sovyet berserak. Namun kita juga menyaksikan bagaimana Negara-negara Bagian di Amerika masih bangga dengan Slogan “saya Amerika” nya terikat dalam United State, yang usianya sudah lebih dari satu abad. India tetap bulat walau memiliki negara bagian yang beragam. China yang masih save sekalipun tirai bambunya sudah roboh. Bersamaan dengan itu saat ini “musim semi” di Timur Tengah membawa kekhawatiran sejumlah negara di kawasan itu. Yordania yang Chaos, Suriah yang bergejolah, Irak yang bergerak, Iran yang sedang meradang; semua menunjukkan bagaimana Tsunami Sosial sedang melanda di beberapa kawasan dunia.
Negera-negara itu memiliki metoda dan cara sendiri-sendiri dalam merawat keberlanjutan bangsanya. Kebhihinekaan yang mereka miliki; sekalipun mungkin keberagaman yang ekstrim ada di tengah mereka, namun mereka berusaha melampaui titik titik kritis bahkan krusial dari jamannya. Tidak jarang juga disertai dengan pilihan pahit yaitu berperang antarmereka sendiri; sementara negara lain menjual senjata untuk kepentingan bakubunuh tersebut.
Pertanyaannya sekarang bagaimana dengan kita; apakah kita masih mampu terus menerus  mendengungkan ditelinga anak-anak bangsa ini adanya Sumpah Pemuda Tahun 1928; Pekik Kemerdekaan 1945, Pekik Allahuakbar-nya Arek-Arek Suroboyo pada peristiwa 10 November, dan masih banyak lagi pekik heroik lainnya.  Juga seperti halnya Sumpah Palapa-nya Mahapatih Gajah Mada dijaman Majapahit yang melanggengkan negara itu sampai berusia 600 tahun lebih. Bagaimana upaya yang harus kita lakukan agar semangat Proklamasi 1945 itu tetap menjadi aliran darah manusia merdeka yang bernama  Indonesia.
Tugas Jaman seperti di atas tidak bisa kita lakukan hanya satu malam seperti kesaktian Sangkuriang menjadikan Tangkuban Perahu, atau Bandungbondowoso dalam menciptakan seribu Candi. Semua harus melalui proses, yang diawali dari perencanaan, aksi, dan evaluasi secara terus menerus disetiap lini kehidupan bangsa ini.
Upaya merajut kemudian mengikat semangat dan jiwa Keindonesiaan dalam Sabuk Nusantara bukanlah hanya tugas negara terhadap warganegaranya semata; akan tetapi juga tugas sesama warganegara dalam upaya semangat kebersamaan serta keberagaman dalam bernegara; menjadikan tali pengikat sabuk itu menjadi kokoh. Siapapun pemimpin Indonesia saat ini dan kedepan; tugas paling berat adalah merawat keindonesiaan. Pembangunan yang bersifat fisik siapapun pemimpinnya bisa melakukan, namun membangun kemudian merawat, menjaga keindonesiaan tidaklah semudah yang diucapkan. Karena setiap generasi memiliki tantangan tersendiri, dan memiliki aura jaman yang juga berbeda dengan masa sebelum ataupun masa kedepannya.
Sejarah telah mencatat era Soekarno dengan Demokrasi Terpimpin hanya cocok untuk masa itu, setelah pergantian generasi dan pergantian tantangan; maka era P4 di masa Soeharto merupakan jawaban untuk masanya. Setelah itu tampaknya kita terlena dengan tugas yang bersifat fisik dan lahiriah, sementara tugas merawat keindonesiaan sedikit terabaikan. Seolah tugas itu selesai diruangan kelas yang digelar oleh para guru. Munculnya militansi baru yang berbaju lama membuat kita semua terhenyak atas kesalahan bersama yang kita perbuat. Walaupun untuk mengakui kesalahan ini hampir semua kita melemparnya kepada pundak pemerintah sebagai rezim; bukan kepada kita semua sebagai bangsa.
Tampaknya sekarang kita memerlukan formula baru untuk menjawab semua itu. Bagaimana kita menjembatani yang benci tetap mencaci, yang menyukai tetap memuji; pada satu bingkai nasionalisme keindonesiaan. Sehingga kebencian tidak menjadikan kehancuran, kecintaan tidak menjadikan kebutaan. Pekerjaan merajut perbedaan ini bukan tanpa resiko; karena jika gagal; tarohannya adalah perpecahan yang bersifat horizontal dan masif. Tetapi jika kita berhasil melakukannnya sebagai bangsa, maka kita mampu berdiri tegak bersama bangsa-bangsa lain dengan lantang mampu mengatakan “ I am Indonesia”.
Tidak ada kata terlambat dalam berbuat untuk  negeri ini; dengan waktu yang ada perlu dipikirkan melalui kelembagaan yang ada secara formal dan nonformal untuk merumuskan suatu tindakan, cara atau apapun namanya; guna menyusun konsep yang aplikasinya adalah merawat keindonesiaan.
Bentuk-bentuk doktrinal dalam batas-batas tertentu mungkin masih diperlukan, akan tetapi bukan merupakan cara satu-satunya. Justru yang diperlukan adalah instrumen sosial yang secara akademis dapat dipertangungjawabkan dan mampu menjangkau semua lapisan yang ada dalam masyarakat, sesuai dengan kebutuhan dan tantangan jamannya.
Kerja konfregensif serupa ini tentunya perlu melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang ada dalam masyarakat; sehingga tidak ada yang merasa ditinggalkan dalam membangun negeri ini. Materinya sudah ada; yang diperlukan sekarang bagaimana cara agar materi tadi menjadi teraplikasi secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Keterlibatan orang-orang muda jamannya tampak perlu dilakukan; karena internalisasi nilai-nilai luhur milik bangsa ini bukan hanya dominasi generasi “Old”, akan tetapi lebih pada penggunanya yaitu generasi “Now”; Oleh karena itu mendengarkan aspirasi mereka dengan cara duduk bersama dengan mereka; adalah suatu keharusan. Generasi ini memiliki kelebihan dari generasi sebelumnya yaitu pada penguasaan teknologi digital, serta keterampilan komunikasi ujung jari yang mereka miliki (komunikasi senyap); membuat bahan internalisasi nilai harus sesuai dengan tuntutan mereka.
Sebagai uji coba sosial dapat kita lihat pada peristiwa 27 Juni 2018 ini yang merupakan Pemilihan Umum Kepala Daerah serentak di Indonesia; Keterlibatan generasi Now mulai menunjukkan identitasnya. Mereka tidak suka relay-relay dengan berpanas ria meneriakkan yel-yel mendukung calonnya, seperti kampanye jaman Old. Mereka sekarang senyap tidak terlihat; namun gawai mereka bergerak terus mewartakan apa yang terjadi disekitar mereka dan membagikannya keseluruh dunia dalam tempo sekejab.
Masa yang berciri senyap ini bisa berbahaya jika tidak ada patron yang mengawal mereka melalaui informasi-informasi kekinian yang jujur. Kecenderungan menghindari konflik politik yang bersifat terbuka pada mereka begitu besar. Oleh sebab itu merawat keindonesiaan melalui gawai mereka pada musim seperti sekarang ini amat mendesak diperlukan, sebagai suatu upaya rekayasa sosial yang bermartabat dan beradab.
Rekayasa sosial serupa ini tentu harus dikaji masak-masak dari segala segi; baik akademik (seperti disinggung di atas), agama, norma sosial umum, aspek politis dan lain sebagainya. Yang juga tidak kalah penting dan perlu diingat bahwa keanekaragaman indonesia merupakan modal dasar dalam merawat keindonesiaan. Kalau tidak kita siapa lagi, kalau tidak sekarang kapan lagi, jargon ini untuk masalah merawat keindonesiaan saat ini masih relevan.



1 komentar:

  1. MestiQQ Adalah perusahaan judi online KELAS DUNIA ber-grade A

    Sudah saatnya Pencinta POKER Bergabung bersama kami dengan Pemain - Pemain RATING-A

    Hanya dengan MINIMAL DEPOSIT RP. 10.000 anda sudah bisa bermain di semua games.

    Kini terdapat 8 permainan yang hanya menggunakan 1 User ID & hanya dalam 1 website.
    ( POKER, DOMINO99, ADU-Q, BANDAR POKER, BANDARQ, CAPSA SUSUN, SAKONG ONLINE, BANDAR66 )

    PROSES DEPOSIT DAN WITHDRAWAL CEPAT Dan AMAN TIDAK LEBIH DARI 2 MENIT.

    100% tanpa robot, 100% Player VS Player.
    Live Chat Online 24 Jam Dan Dilayani Oleh Customer Service Profesional.

    Segera DAFTARKAN diri anda dan Coba keberuntungan anda bersama MestiQQ
    ** Register/Pendaftaran : WWW-MestiQQ-POKER
    Jadilah Milionare Sekarang Juga Hanya di MestiQQ ^^

    Untuk Informasi lebih lanjut silahkan Hubungi Customer Service kami :
    BBM : 2C2EC3A3
    WA: +855966531715
    SKYPE : mestiqqcom@gmail.com

    BalasHapus