Oleh : Sudjarwo
Profesor Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Unila
Terinspirasi dari Novel Karya Faizal Odang “Tiba Sebelum Berangkat” yang sedang naik daun itu, jadi teringat seorang teman Ketua Program Studi Pascasarjana yang juga pernah menggunakan istilah Belum-Belum Kok Sudah; dengan memberikan ulasan betapa banyak peristiwa sekarang yang belum dimulai sudah keburu diakhiri. Yang lebih parah lagi ialah sudah berakhir sebelum mulai. Hal ini tidak tanggung-tanggung dilakukan oleh sosok tokoh nasional yang tega membuat berita palsu dengan membuat dirinya operasi muka palsu; dijadikan treding palsu; ironis lagi kepalsuan ini dipercaya keasliannya sebagai kepalsuan sejati; menjadi lebih gila lagi hari itu akan diusulkan menjadi hari anti hoax.
Peristiwa-peristiwa apapun yang terjadi saat ini sangat dan seperti menjadi keharusan; untuk dihubungkan dengan hajatan nasional 2019 pemilihan presiden. Dari gempa bumi Poso yang seharusnya kita prihatin dan bahu membahu memberikan bantuan kepada saudara-saudara kita yang sedang tertimpa musibah, ternyata ada yang tega mengaitkannya dengan yang tidak ada kitannya, bahwa itu semua berkaitan dengan 2019 momentum pemilihan presiden.
Namun ditengah kedukaan yang mendalam, dengan rasa takjub dan hormat kita perlu sampaikan kepada para “juru selamat” yang dengan sigab membantu sesama. Bagaimana Abdul Rozaq Kapten Pilot Garuda yang pernah mendapat musibah di Sungai Bengawan Solo tahun 2002, dengan cekatan membantu sesama penghuni Hotel, tidak tanggung-tanggung 10 orang beliau selamatkan. Brigadir Polisi I Gusti Kade Sukamiarta, calon pengantin yang harus menyelamatkan banyak korban Tsunami, dirinya sendiri tidak terselamatkan. Agus Supriyanto Warga Bandarjaya Lampung Tengah yang menjadi Pekerja Kontruksi Asrama Haji Palu, diselah-selah sempitnya antara hidup dan kematian, masih sempat menyelamatkan Muazin masjid yang tertimpa balok; walaupun nyawa Sang Muazin beberapa jam kemudian tidak mampu diselamatkan, karena ketiadaan pertolongan pertama pada kecelakaan.
Cerita duka dan heroik di atas makin panjang kalaulah kita urutkan tidak akan selesai dalam halaman ini; bahkan tulisan ini ditulis, peristiwa-peristiwa itu masih terus berjalan; namun ada hikmah didalamnya yang dapat kita pahami diantaranya bahwa banyak peristiwa alam ada di dunia ini yang sulit dipahami lewat pengetahuan; dengan kata lain keterbatasan pengetahuan manusia terhadap alam ini masih sangat terbatas. Benar kata seorang Filosof yang mengatakan makin banyak yang kita ketahui sebenarnya kita makin bodoh; karena makin banyak yang tidak kita ketahui.
Namun ada yang tersisa dari semua itu ialah sedikitnya aksi nyata dibandingkan dengan hanya cerita, yang bertebar dengan cara apa saja. Duka mendalam dari saudara-saudara kita itu ada yang tega menjadikannya amunisi politik demi ketenaran pribadi. Ada juga yang dijadikan penghalalan cara yang dilakukan untuk tetap survive; atas nama bertahan hidup bisa bebas menjarah apa saja. Ciri-ciri kemanusiaan menjadi terabaikan, bahkan berbanding terbalik dengan hakekat kodrati manusia.
Secara jernih kita dapat mengambil tamzil dari pertistiwa gempa yang ada saat ini; diantaranya adalah : Pertama, kajian-kajian kegempaan pada umumnya Indonesia telah lebih maju dibandingkan negara-negara Asean lainnya, hanya tingkat kepedulian kita terhadap hasil kajian itu sangat minim sekali. Sebagai contoh prakiraan gempa sudah diberikan peringatan sejak dini dihampir wilayah Indonesia, tidak terkecuali Palu, tetapi tingkat kepedulian terhadap gempa itu ternyata jauh dari harapan, terutama upaya program dari pemerintah daerah. Sehingga begitu ada kejadian tampak sekali ketidaksiapan itu terjadi. Kita bisa melihat bagaimana koordinasi pembangunan Gedung Bertingkat pada daerah patahan gempa tidak pernah ada informasi awal kepada pihak pengguna.
Kedua, Pembelajaran mitigasi gempa sudah lebih dari sepuluh tahun lalu didengunkan agar masuk dalam satu bab dalam kurikulum pembelajaran. Cara ini ditempuh agar tidak ada matapelajaran baru; akan tetapi ada muatan lokal baru, khusus untuk didaerah yang rawan gempa. Kenyataannya tidak semua lembaga pendidikan menerapkan ini; dana untuk melakukan pelatihan tampaknya menguap begitu saja.
Ketiga, Pemasangan rambu jalur pengungsian; ternyata jalur ini hanya dipasang pertama dan terakhir; upaya untuk melakukan simulasi secara berkelanjutan tidak pernah dilakukan; Banyak orang termasuk aparat pemerintah lebih senang menggelar jalan sehat; bahkan sekarang ada Jalan Sehat Pagi Politik (JSPP); isinya mengusung keinginan politik bahkan cenderung sekterian. Tidak pernah terpikirkan oleh para petinggi eksekutif, apalagi legeslatif, untuk mengingatkan pentingnya pelatihan simulasi menjajal jalur pengungsian. Kegiatan ini tidak ada “gula-gula politiknya” sehingga tidak seksi. Oleh sebab itu tidak pernah dijadikan pilihan untuk para pecandu kegiatan politik.
Keempat, karena gempa bumi sebagai peristiwa alam yang tidak bisa diprediksi kapan kejadiannya, maka seolah kita juga berserah pada alam. Prinsip “bagaimana nanti” seolah menjadi kepasrahan hidup yang tanpa upaya apapun. Begitu kejadian terjadi kita seperti orang buta kehilangan tongkat.
Keempat hal di atas amat sering kita jumpai pada situasi sekarang ini; negeri ini menjadi gagal paham terhadap dirinya sendiri. Peta kegempaan yang selama ini selalu diupdate oleh LIPI ternyata tidak pernah betul-betul masuk dalam Perencanaan Pembangunan Daerah maupun Pusat dengan baik dan benar. Andaikata masukpun yang paling diutamakan pemberian bantuan, dan pembangunan sarana fisik; sementara traumahelling yang seharusnya diberikan pada mereka yang terdampak; pada umumnya dilakukan oleh teman-teman NGO.
Doktor Iskandar Zulkarnain redaktur koran ini dengan apik menulis Seribu Lindu pada minggu lalu; bagaimana gambaran konfregensif tentang sesuatu harus dilakukan; salah satu caranya adalah berdamai dengan alam. Kearifan manusia yang bersumber dari kearifan lokal telah banyak menyelamatkan manusia dalam mengarungi seleksi alam. Namun akhir-akhir ini kearifan lokal tersebut telah tergerus dengan pola berfikir materialistik behaviorist; (terlepas apakah ini dampak dari kemajuan industri) sehingga pengagungan akan kebendaan membuat manusia terjebak kepada berfikir mengabaikan proses.
Namun perlu diketahui juga bahwa Lindu atau Gempa yang paling dahsyat itu adalah Gempa Sosial yang bisa memporakporadakan sendi-sendi kehidupan, dan gempa inilah yang menjadi gempa ikutan setelah gempa sesungguhnya. Bayangkan Gempa dan Tsunami Palu, kemudian disusul Gempa Sosial Muka Lebam yang datang beriringan; membuat bangsa ini sedikit terguncang. Banyak tokoh kehilangan Sandal Jepitnya ketika berhadapan dengan Gempa Sosial seperti itu. Peringatan dari Yang Maha Kuasa sudah berkali diberikan; namun tampaknya kita belum mampu membaca tanda-tanda itu.
Kemampuan untuk introspeksi diri dari bangsa ini tampaknya perlu diasah kembali; sehingga mampu mengendalikan diri dengan tidak mudah terjebak pada Belum-belum Sudah disegala bidang kehidupan.
Akibat dari Belum-Belum Sudah sehingga orang bisa bicara apasaja berbuat apa saja tanpa terlebih dahulu mengecek kebenarannya; lebih ironis lagi semua berlindung atas nama demokrasi bebas mengeluarkan pendapat. Walaupun secara filosofis sebenarnya bebas mengeluarkan pendapat adalah juga membuat ketidakbebasan itu sendiri untuk mengeluarkan pendapat. Kebersamaan keduanya dalam proses waktu; adalah kerja rohani yang paling tinggi, yang seyogyanya ada pada aras mereka yang berpendidikan dan atau berpengalaman dalam kehidupan. Marilah kita belajar berhikmat ditengah kedukaan ataupun kegembiraan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar