Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Kamis, 11 Juli 2019

YANG TERSISA DARI ISKANDAR

Oleh : Sudjarwo 
Guru Besar FKIP Unila


Pada waktu jeda saat ujian Promosi Doktor Iskandar Zulkarnain Pimpinan Redaksi Harian ini; Dewan Penguji berapat diruang Istirahat; Saat itu Profesor Mukri sebagai pimpinan sidang mengeluarkan komentar bahwa era sekarang ini secara substantif ada kemiripan pada zaman Firaun. Pada zaman itu yang dipercaya untuk memberi info termasuk ramalan adalah para tukang sihir yang berfungsi sekaligus sebagai Tukang Nujum; yang dikala itu meramalkan kejatuhan Firaun akan terjadi karena lahirnya seorang bayi laki-laki dan akan menantang Firaun. Karena Firaun adalah penguasa jagad pada waktu itu, maka beliau bertitah supaya setiap bayi laki-laki yang lahir langsung dibunuh. Kedahsyahtan pengaruh tukang-tukang nujum Firaun ini ternyata membawa dampak terhadap keputusan pemerintahan Firaun. 

Beliau melanjutkan kalau masa Firaun tukang sihir dan atau tukang nujum ini diorganisir sedemikian rupa oleh negara dan diberi otonomi khusus terutama untuk masalah pernujuman. Sementara pada masa sekarang semua orang bisa jadi tukang nujum, dengan bermodal gaget dapat menulis apa saja yang dia kehendaki. Apalagi ada celah yang tidak terjangkau oleh Undang-Undang Pers serta Undang-Undang Teknologi dan Informasi (beliau merujuk pada sanggahan penulis pada promovendus); sehingga wilayah abu-abu ini dapat dimanfaatkan dengan mengatasnamakan apapun; termasuk atas nama demokrasi, atas nama kebebasan berpendapat, atas nama hak berpendapat, atas nama agama; dan masih banyak lagi. 

Diskusi tersebut terputus dengan bunyi pedel yang dihentakkan petugas, karena upacara pengumuman akan segera dimulai. Sisa dari diskusi itu mengekor sampai terbawa kekampus tatkala harus berbagi ilmu dengan mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan. Renungan menjadi kontemplasi saat dirunut dengan kondisi nyata yang ada. Ternyata gegapgempitanya pemberitaan sekarang tidak lagi menjadi domain para jurnalis terpelajar; sudah banyak diambil alih oleh “siapa saja” yang berkeinginan mewartakan tentang sesuatu. Tentang sesuatu itu tidak harus peristiwa nyata seperti yang dipersyaratkan oleh aturan jurnalistik formal. Ternyata sesuatu yang masih berada diangan-anganpun sudah dapat dijadikan berita. 

Saudara Abdul Gafur dari Harian ini juga pada tanggal 1 September lalu memfotenote pendapat penulis tentang Ujung Jarimu adalah Harimaumu; memberikan ulasan mendasar bagaimana tipe jurnalis jadi-jadian ini. Tapi arus utama ini tidak mungkin terbendung; bahkan menjadi masib, sekalipun data data yang ditunjukan Gafur begitu mengerikan berkaitan dengan pelanggaran undang-undang akibat dari kecerobahan menggunakan ujung jari dalam menekan tust Gawai. 

Persoalan-persoalan mendasar ini membuat kegelisahan seorang Iskandar Zulkarnain sangat kentara, terutama pada waktu memberikan sanggahan-sanggahan atas keberatan para penguji saat Sidang Promosi. Jawaban-jawaban panjang yang diberikan Iskandar ternyata banyak meninggalkan jejak-jejak masalah baru pada jaman kekinian (jaman henow, meminjam istilah Abdul Gafur). Tantangan untuk memberagamkan usaha jurnalis, ternyata juga harus diikuti dengan keunikkan entitas. Karena tanpa keunikkan entitas; maka produk jurnalis itu akan ditinggalkan oleh penggemarnya. 

Era “Tutur Tinular” sudah berlalu, Empu Bajil sudah dimatikan oleh sang Sutradara; namun sekarang Empu Bajil bangkit kembali dengan menggunakan casing baru dalam cerita baru yaitu “Berita Menular”. Penularan ini bisa saja positif artinya sesuatu yang nyata terjadi, tetapi tidak jarang sesuatu yang baru merupakan mimpi, sudah diposting seolah nyata, karena kepandaian memainkan kata. Sehingga suatu peristiwa belum tentu kebenarannya, tetapi karena mampu membentuk opini masa melalui “berita menular”; maka bisa saja seseorang dimasukkan penjara walau tidak diketahui apa dosanya, yang lebih celaka lagi dosanya “dibuatkan” sehingga sesuatu yang tidak jelas dijadikan “seolah-olah” jelas. 

Otak kita seolah dirudakpeksa untuk menerima apa yang terbaca, bukan apa yang nyata. Meminjam istilah Filsafat Ilmu, antara obyek Forma dan obyek Materia sudah dikacaukan sedemikian rupa, sehingga para pembaca akan tergiring pada satu kesimpulan untuk mengatakan “Ya”, kepada sesuatu yang belum tentu “Ya”. Romantisme yang dipaksakan serupa ini tentu akan membuat kacaunya jagad ini. Sebagi gambaran kita disuguhkan kepada orang mengemukakan pendapat, sekalipun pendapat itu melanggar hak orang lain, tetap saja dipaksakan kepada orang lain, sehingga terjadi kekisruhan berfikir pada kita semua. 

Kekeruhan pada dunia informasi serupa ini hanya mereka yang mampu mengendalikan diri yang akan selamat, sementara mereka yang urat singgungnya pendek; maka tidak jarang akan terjadi konflik jurnalistik dijagad maya, atau lebih parah lagi memperpendek umur biologisnya karena tekanan darahnya naik. Sebagai contoh hampir terpancingnya emosi seorang Profesor Hukum yang terkenal di Indonesia ini, gegara komentar seorang anggota legeslatif yang tidak akademis. 

Kondisi ini menjadi lebih rumit lagi bersamaan dengan waktu sekarang tumbuhnya “nasionalisme baru” pada generasi “Now”. Semangat nasionalisme yang patriotis pada jaman “Old” dimaknai secara abstrak. Sekarang maknanya harus nyata, terukur, dan cenderung instan. Relawan “Pasukan Sadar Lingkungan” yang ikut bergabung membersihkan Gelora Bung Karno saat berlangsungnya Pesta Olah Raga Asia, itu betul-betul tidak terorganisir secara tersetruktur; namun mereka terbentuk dan bergerak secara nyata karena disatukan semangatnya untuk berbuat nyata untuk negeri ini melalui gawai mereka. 

“Organisasi Tanpa Bentuk” yang pada jaman Orde Baru dikonotasikan atau dilabelkan kepada Organisasi Kiri yang berhaluan Komunis, dan sangat dilarang keberadaannya, serta harus ditumpas sampai akar-akarnya. Justru sekarang “Organisasi Tanpa Bentuk” ini mudah sekali terbentuk, dan bisa saja tidak berafiliasi dengan organisasi besar. Mereka terbentuk hanya karena kesamaan pandang dan ingin berbuat nyata. Lagi-lagi “nasionalisme Gawai” ini tampaknya akan mudah terbentuk seiring dengan kemajuan teknologi. Mereka tidak perlu rapat dalam arti berada pada satu tempat yang sama diwaktu yang sama. Pertemuan mereka cukup menggunakan layar vidio pada gawainya. 

Kegalauan Iskandar Zulkarnain sebenarnya kegalauan kita semua dalam menapaki jaman ini. Latarbelakang kegalauan yang membuat Iskandar Zulkarnain menjadi Doktor itu; harusnya memicu kita semua untuk menyatukan langkah dalam menyongsong era baru, yaitu era tanpa batas dan tanpa bentuk. 

Gulung Tikarnya Koran Paper, Studio Radio; Stasiun Televisi; adalah merupakan kejamnya gilasan roda perubahan diwilayah jurnalistik. Sebentar lagi roda itu akan berputar dan memangsa wilayah lain, diantaranya wilayah proses pembelajaran di Perguruan Tinggi yang tidak lagi harus berbiaya mahal dengan mendatangkan narasumbernya dihadapan sejumlah orang, tetapi bisa jadi kita hanya memerlukan beberapa narasumber untuk beribu orang, yang melampaui jarak dan waktu; cukup dibantu dengan sistem perangkat lunak yang mobile. 

Gedung-gedung ruang kelas pada waktunya tidak diperlukan lagi, tetapi piranti hubung personal yang canggih itu yang diperlukan. Ujian akhir mahasiswa/siswa saat ini tidak perlu pengawas yang banyak dan berbiaya mahal. Mereka cukup dilayani dengan piranti personal yang tidak memerlukan pengawasan, apalagi biaya kudapan, honor mengawaas, honor koreksi, honor petugas keamanan mengawal soal, honor menjaga soal, dan lain sebagainya. Yang diperlukan hanya catu listrik yang tidak boleh putus sedetikpun, serta piranti MegaBit yang besar untuk membangun jaringan antarsistem. 

Era itu sudah didepan mata, Iskandar Zulkarnain sudah juga mengingatkan; tinggal kita semua jika ingin selamat dari Tsunami Sosial ; maka kita harus cepat beradaptasi atas kehadiran gelombang besar itu. Pilihan kita hanya tinggal dua, berubah jika ingin selamat, atau mati tergerus oleh jaman. Mari kita berselancar bersama gelombang jaman. Selamat menikmati perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar