Oleh :
Sudjarwo
Guru Besar FKIP Universitas Lampung
Sahdan pada satu episode Baratayudha ; Sri Kresna melaksanakan tugas menjadi Duta Pamungkas dari Kerajaan Amarta menuju Hastinapura untuk melakukan Perundingan membicarakan Pengembalian Hastinapura ke tangan Pandawa, tanpa peperangan. Walaupun Sri Kresna sudah mengetahui bahwa hal itu mustahil untuk terlaksana; namun sebagai seorang kesatria yang sekaligus raja, mengemban tugas sebagai “Duta Ning Noto” beliau laksanakan dengan baik.
Pada Pasewakan Agung di Negara Hastinapura sudah lengkap semua Petinggi dan para Pandito hadir untuk menyaksikan peristiwa besar yang akan terjadi. Ringkas cerita setelah Sri Kresna mengemukakan tujuan kedatangannya; para hadirin terbelah menjadi dua. Kelompok yang menyatakan setuju untuk segera diserahkan, kelompok ini dipelopori oleh Resi Bisma. Kelompok yang menyatakan tidak setuju dipelopori oleh Patih Sengkuni. Bahkan pada acara puncaknya Prabu Duryudana sebagai Raja Hastinapura dengan seratus saudaranya ditambah Patih Sengkuni meninggalkan acara perundingan yang istilah kerennya Walk Out.
Peristiwa “Karangan” sastrawan Walmiki ini tidak menampilkan kata atau kalimat fulgar; bahkan Cerita ini ditangan dalang Ki.Enthus yang suka kreatif itu, tidak pernah berani memberikan kalimat fulgar. Kalimat-kalimat fulgar hanya Ki.Entus tempelkan pada para Punakawan dan para Prajurit Rucah yang memang pantas dan layak menggunakan kalimat atau diksi tertentu, tidak pada Raja, Satria, apalagi Brahmana.
Pada saat Sidang Ujian Terbuka Seorang Promovendus dalam menjawab sanggahan penguji; sangat lazim menggunakan diksi “Yang Sangat Terpelajar”. Diksi ini sepertinya bersifat khususon diucapkan saat Ujian Terbuka saja, tidak pada acara formal lainnya. Beberapa Kampus di Indonesia pengalaman penulis menguji Kandidat Doktor masih menggunakan diksi tersebut.
Semua contoh di atas tidak perlu perlindungan Undang-Undang; bahkan dilanggarpun tidak ada yang bakal melaporkan ke Polisi atas perbuatan tidak menyenangkan. Namun menjadi berbeda saat melekat kepada Anggota Dewan yang dipilih rakyat, yang memiliki perlindungan imunitas oleh Undang Undang, mereka seolah olah dapat berkata dan berbuat apa saja, bahkan melanggar etika kepatutanpun tidak menjadi persoalan, bahkan tidak jarang malah dianggap wajar.
Kalau kita telusuri bahwa norma dan etika adalah aras paling tinggi sebagai sarana mengatur perilaku. Pada tataran ini tidak peduli apakah dia Profesor, Anggota Legeslatif, Eksekutif, Yudikatif, Pengusaha, Orang biasa, bahkan Preman sekalipun, mereka harus mematuhi norma dan etika yang berada pada sistem sosial komunitasnya. Bahkan para Narapidanapun di dalam penjara memiliki etika dan norma yang harus dipatuhi oleh sesama mereka.
Sebagai contoh sederhana, buang angin itu adalah menyehatkan, namun jangan coba-coba anda buang angin saat berhadapan dengan orang tua anda, mertua anda, atau pada pasamuan agung. Jika itu anda lakukan, maka anda akan dibathin orang anda termasuk tidak beradab. Dengan alasan apapun anda membela diri bahwa buang angin itu hak azazi; namun tetap saja masyarakat sekitar akan mengecap anda sebagai orang yang tidak terdidik.
Kita bisa membayangkan jika seorang anggota parlemen yang sering disebut Yang Saya Mulyakan, atau paling tidak Yang Saya Hormati, menggunakan diksi yang tidak patut pada acara formal resmi kenegaraan, dalam menanggapi lawan bicara. Sungguh diluar nalar kelaziman manusia beradab.
Seorang Guru Besar yang memiliki kebebasan mimbar akademik untuk mengatakan apa saja demi ilmu yang ilmiah; tetap saja harus memilih diksi yang tepat untuk mahasiswanya; sekalipun mahasiswanya itu lebih patut disebut Cucu; namun Sang Guru Besar tetap terikat norma dan etika untuk memilih diksi yang tepat, sekalipun mungkin saat itu sang Guru Besar sedang marah kepada mahasiswanya.
Alasan pembenaran dengan berlindung pada Bahasa Politik atau Bahasa Tarzan sekalipun yang namanya manusia tetap memiliki etika sopan santun dan tata krama. Kata “Kamu” untuk satu komunitas kaum di Sumatera selatan sebagai kata penghormatan kepada orang yang lebih tua, termasuk orang tua dan mertua. Namun penutur itu tidak akan menggunakan diksi tersebut manakala berhadapan dengan kelompok atau orang diluar komunitasnya, karena mereka menyadari wilayah budaya penggunaan diksi tadi.
Tidaklah salah jika diusulkan bahwa untuk para anggota terhormat, baik eksekutif, legeslatif yang yudikatif, sebelum memangku jabatan publik sewajarnya mengikuti Kursus Kepribadian terlebih dahulu. Mengingat tuntutan masyarakat akan kesempurnaan semakin hari semakin tinggi.
Perilaku santun, etis dan bahkan estetis tidak ada hubungan langsung dengan Demokrasi. Jangan dimaknai bahwa semakin santun seseorang maka perilakunya semakin tidak demokratis. Kesesatan berfikir serupa ini sangat membahayakan. Kita menghormati hak orang untuk bicara, walaupun kita tidak menyukai cara bicaranya. Karena cara bicara sangat erat kaitannya dengan norma tata krama.
Pelajaran Budi Pekerti yang tahun 60 an diberikan di Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar), ternyata sangat Indonesia; karena diinspirasi oleh Sistem Pembelajaran yang digagas oleh Ky Hajar Dewantara.; Walaupun sistem itu mungkin sudah usang dan tidak sesuai tuntutan jaman, namun jejak jejak nya masih kita dapat lihat sampai sekarang. Parah sepuh yang ikut antri memberikan ucapan selamat pada satu acara, banyak yang menolak halus fasilitas untuk memotong barisan. Tidak mau memotong antrian dokter saat harus berobat di satu pelayanan kesehatan. Buya Syafei Maarif sampai hari ini tidak mau menggunakan fasilitas yang melebihi kapasitasnya. Bandingkan baru menjadi Bupati jika jalan sudah harus pakai sirine yang memekakkan telinga minta pelayanan lebih pada masyarakat yang seharusnya dilayaninya.
Puncaknya perilaku yang ditampilkan oleh wakil kita di Senayan adalah puncak untuk berfikir ulang dalam memilih wakil kita, mengingat wakil itu adalah representasi dari yang diwakili. Oleh sebab itu evaluasi ulang kepada kita semua untuk menentukan pilihan manakala waktunya nanti tiba. Jangan sampai alasan demokrasi untuk digunakan melakukan apa saja dan mengesahkan siapa saja untuk berbuat apa saja.
Kesesatan berfikir dalam memaknai kebebasan adalah juga merupakan kesalahan berfikir; oleh sebab itu dalam menentukan pilihan yang menyangkut orang atau sistem, harus dilakukan dengan pertimbangan yang cermat, bukan sesaat, apalagi sesat.
Kesantunan berbahasa menunjukkan ketinggian budi, yang merupakan petuah generasi masa lalu; masih tepat dijadikan parameter untuk saat ini. Mungkin sudah tidak jamannya membungkukkan kepala atau badan untuk bahasa badan dalam penghormatan; namun diksi sebagai pilihan kata dalam berbahasa; masih menjadi ukuran ketinggian budi seseorang.
Sebelum terlambat sudah seharusnya dari sekarang seluruh masyarakat wajib mencermati para wakilnya yang pada waktunya nanti akan dipilih mewakili kita semua, untuk duduk di tempat-tempat yang harus mewakili aspirasi kita; Pemimpin yang amanah adalah mereka yang juga pandai menjaga lisannya. Dan jangan tertipu dengan sandiwara panggung yang mereka gelar, saat mencalon bermanis muka, saat jadi lupa segalanya.
Tidak ada mahluk sempurna dimuka bumi ini, namun yang kita cari adalah mereka yang sadar akan ketidaksempurnaannya, sehingga terus dan terus berusaha untuk memperbaiki diri menuju kepada kesempurnaan jati. Tidak membiarkan diri larut pada ketidaksempurnaannya, sehingga bisa mengecewakan kita semua.
Orang yang kita pilih untuk mengemban amanat kita, kita gaji dari pajak yang kita setor kepada negara, sudah selayaknya tidak hanya bekerja baik, tetapi juga berkata santun. Sebgai orang timur yang masih menjunjung tinggi kesopanan dan etika; maka tidaklah salah manakala kita memberi persyaratan akan tegaknya kejujuran dan nilai moral yang tinggi kepada para wakil yang kita pilih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar