Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Sabtu, 05 Januari 2013

PERSOALAN BANGSA YANG TERCECER *)


A.Pendahuluan
Menyimak berita akhir-akhir ini, baik cetak maupun elektronik, ada rasa miris dan gundah. Penyebabnya ialah tidak ada lembar atau tampilan yang tidak menampilkan kekerasan. Dari kekerasan yang paling ringan sampai yang paling keras. Pelakunyapun dari yang paling terpelajar sampai dengan yang warga biasa. Penyebab persoalanpun beragam, dari senggolan nonton Orgen Tunggal, sampai perebutan batas desa (Baca: Lampost 15 nov 2011).Memuncak menjadi karena jagonya tidak terpilih dalam proses pemilihan, berubah menjadi amok masa. Akibat yang dilahirkanpun menjadi beragam, dari penusukan sampai pembakaran kampung. Bahkan terakhir pembakaran kantor, yang kita mengetahui semua apa dosanya kantor ikut dibakar, padahal itu benda mati. Persoalan patung menjadikan orang berperilaku bringas.  Perkembangan lanjut dibawa ke arah beragam juga; ada dikotomi asli dengan pendatang, ada juga dikotomi etnis A dengan etnis B, bahkan sub-etnikpun terbawa-bawa. Tidak puas dengan itu muncul pendukung A dan pendukung B. Hirukpikuklah dunia menjadi-jadi karena ada kepentingan politik ikut bermain memanfaatkan situasi.
Sisi lain dengan berlakunya era otonomi seolah ada sekat antara persoalan yang menjadi tanggungjawab pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Sehingga siapa mengelola apa sering tidak jelas, Ironisnya jika persoalan ekonomi, maka klaim untuk memiliki begitu besar, bahkan cenderung bernafsu, namun sebaliknya jika persoalan musibah atau malapetaka, maka yang terjadi saling lempar tanggungjawab. Terutama persoalan-persoalan sosial yang bersifat kronis dan jangka panjang.
*). Disampaikan pada pertemuan Masyarakat Sejarawan Indonesia di Pringsewu, 22 Mei 2012
Uraian peristiwa di atas sering termuat pada media-media daerah, sementara media pusat lebih tertarik pada issue besar, sehingga seolah peristiwa daerah tidak menjadi informasi aktual. Kondisi ini tentunya akan membangun opini tidak terjadi apa-apa, atau peristiwa daerah itu bukan konsumsi yang layak diinformasikan. Tentu saja opini seperti ini merupakan opini yang menjerumuskan. Akan tetapi karena dunia ini sudah begitu sempit, peristiwa-peristiwa tersebut justru sering muncul pada laman pribadi di face book, atau jejaring sosial lainnya. Bahkan seolah liputan ini tidak memerlukan jurnalis khusus untuk meliputnya.
Pembiaran yang berakibat pada pembusukan peristiwa sosial ini berakibat pada penanganan yang selalu cenderung terlambat. Ibarat kebakaran, setelah api besar dan tidak terkendali, regu pemadam kebakaran baru datang, itupun berkecenderungan tidak memiliki metode yang tepat dalam penanganannya. Lebih ironis lagi jika kedatangan tim bukan memberikan solusi justru menimbulkan persoalan baru, akibat dari kekurangpahaman akan akar budaya dari masyarakat sekitar. Bahkan komentar atau pernyataan yang dibuatpun cenderung tidak tepat sasaran, lebih parah lagi justru memperkeruh keadaan. Sekarang ada lagi alasan baru dari para aparat untuk bertindak tegas yaitu alasan sempurna “Takut melanggar HAM”, jadi lebih aman menjadi penonton saja.
Sisi lain yang juga tidak kalah serunya jika penanganan lebih mengedepankan pencitraan, akibatnya penyelesaian persoalan lebih bersifat permukaan saja, karena motivasi yang ada ialah mengejar target cepat selesai, cantik dipandang, menyenangkan atasan. Motivasi ini berlindung pada Hak-hak azazi manusia, hak kewenangan pemerintah daerah, dan alasan lainnya lagi yang cenderung dibuat tampak rasional. Sehingga bentuk penyelesaiannyapun sumir hanya lima menit lihat sana, lihat sini, selesai. Tidak pernah menyentuh persoalan akar rumput.
Menjadi ironis lagi pejabat yang datang meninjau justru memperparah kondisi penerima musibah karena harus mempersiapkan protokoler yang biayanya jika untuk menyumbang kepada ahli musibah akan lebih berguna. Kasus-kasus konflik sosial yang besar dan cenderung menarik minat pejabat pusat untuk berkunjung ke daerah, ternyata di samping biaya yang cukup besar juga ada muatan politik, sehingga kehadiran pejabat di samping memberatkan masyarakat, juga menjadi beban sosial bagi masyarakat.
 B.Berpisahnya “AKU, DIA, KITA dan MEREKA
Kebersamaan dalam arti luas pada manusia akan memberikan makna posisi setara dalam arti interaksi sosial. Kondisi ini akan berubah setelah ada variabel lain yang masuk pada pola hubungan tadi. Variabel lain ini bisa saja merupakan kondisi bawaan dalam arti tidak mungkin di ubah, sebagai contoh seseorang terlahir sebagai orang Jawa, sementara dia berkeinginan lahir sebagai Jerman. Hal itu tentu tidak mungkin. Kondisi ini perlu menjadi perhatian karena pembeda peran dan fungsi menjadi begitu fital dalam adagium interkasi sosial.
Begitu manusia berkelompok, maka hukum-hukum dinamika kelompok akan berlaku, salah satu diantaranya ialah munculnya perasaan “inner” dan “other”. Hal serupa ini adalah sunatullah dalam arti keberlakuannya universal. Namun demikian ternyata di dalam inner sendiri ada inner-inner dan inner-other. Ini menunjukkan bahwa di dalam kelompok ternyata ada sub-kelompok, bahkan bisa terjadi sub-sub kelompok. Disinilah mulai muncul adanya konsep, AKU, DIA, KITA dan MEREKA.
Keberlangsungan inner dan other ini sangat ditentukan oleh ambang toleransi yang dibangun atas kesepakatan. Bentuk kesepakatan sendiri pada umumnya tidak formal tertulis, akan tetapi berbentuk kebiasaan-kebiasaan yang kemudian salah satu sempalannya tumbuh sebagai norma.
Other dan inner ini sendiri akan terus berjalan seiring dengan perjalanan waktu membentuk lingkaran maya sebagai benteng sosial bagi individu. Individu akan merasa aman, nyaman jika berada pada skop lingkaran, sebaliknya merasa terancam jika berada di luar lingkar tadi. Pertemuan lingkar maya satu dengan lingkar maya yang lain dapat terjadi harmoni jika terjadi keserasian. Sebaliknya akan terjadi disharmoni jika pertemuan lingkar maya tadi memunculkan konflik.
Benturan lingkar maya inilah dapat memicu terjadinya konflik baik individual maupun kelompok. Benturan itu terjadi akibat adanya toleransi yang menipis, atau adanya kondisi anomali, seperti halnya “amok”, yang akhir-akhir ini muncul dimana-mana. Amok sendiri merupakan akumulasi dari rasa frustrasi kelompok atau individu terhadap keadaan yang mengelilinginya. Amok juga bersumber dari disharmoni yang berkepanjangan tanpa jelas penyelesainya. Energi yang terhimpun ini begitu mendapat pintu katarsis, maka muncul bagai air bah yang dapat menerjang apa saja. (lih: Kasus 1 Mei 2012, Perobohan Patung di Kalianda).
Salah satu kerangka teori inilah yang mungkin dapat menjelaskan sedikit tentang peristiwa sosial yang terjadi di mana-mana sekarang. Di duga ada akumulasi frustrasi sosial di tengah masyarakat kita sehingga menjadikan keadaan tersebut. Adapun sejumlah hal yang berperan sebagai variabel pemicu; diantaranya ialah:
a.Kesenjangan ekonomi
 Penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh sekelompok orang mengakakibatkan terhimpunnya kekayaan pada orang atau kelompok tertentu saja, akibat lanjut biaya sosial yang mahal hanya mereka yang mampu membayarnya. Hal ini tentu membuat kesenjangan sosial makin lebar, dan lebih parah lagi jika masyarakat menemukan penyimpangan dari cara mereka menguasai sumberdaya ekonomi, akibatnya ialah menimbulkan luka sosial pada masyarakat. Luka sosial ini jika tersulut sedikit saja oleh sesuatu hal, maka yang terjadi adalah amok sosial tadi.
b.Kelangkaan Panutan Sosial
Sensitifitas sosial yang muncul belakangan ini juga berawal dari kelangkaan contoh sosial sebagai panutan sosial. Kebingungan sosial serupa ini menjadikan masyarakat begitu rentan karena tidak ada tokoh yang mengakomodir kehendak mereka. Issue yang tidak jelaspun akan mereka respon bahkan menjadi penyulut ketidak puasan sosial.
c.Akses sosial berkecenderungan bersiat materialistik
Akses sosial seperti hubungan dengan pemerintahan yang selalu mengukurnya dengan materi (baca: uang), mengakibatkan rasa terkepung dalam diri masyarakat itu muncul. Kecenderungan materialistik ini kemudian membawa perasaan khalayak bahwa segala sesuatu pelayanan harus dibayar dengan uang. Kondisi ini membuat perasaan tereliminasi ditengah keramaian jika tidak mampu membayar pelayanan sosial yang diberikan.
Sedikitnya keempat hal di atas diduga merupakan faktor dominan yang membuat benteng AKU, KITA, DIA dan MEREKA menjadi makin tebal dan tinggi, disertai dengan ambang toleransi yang rendah. Perbandingan terbalik kedua hal ini bisa membahayakan jika tidak ditemukan penanganan yang serius dan segera.
Kita tidak menafikah keberadaan AKU, KITA, DIA dan MEREKA, karena hal tersebut merupakan sunatullah. Menjadi persoalan jika benteng yang terbangun menjadi tinggi dan tebal, sehingga membuat eliminasi sosial. Kondisi tereliminasi kemudian ambang toleransi yang rendah, tentunya akan membuat rentan secara psikologi dari masyarakat tersebut. Kerentanan psikologis ini juga akan sangat membahayakan secara individual bagi anggota masyarakatnya. Kebanyakan mereka menjadi kesepian di tengah keramaian. Contoh masyarakat seperti ini ialah karena tidak mampu membayar SPP maka pilihannya adalah gantung diri. Penyebab yang begitu simpel bagi kebanyakan orang, tetapi tidak untuk individu-individu yang merasa tereliminasi secara sosial dari masyarakatnya.
Hal di atas adalah sesuatu yang bersifat umum, namun untuk kasus-kasus tertentu hal tersebut tidak dapat dijadikan acuan secara penuh. Penyebabnya ialah kondisi tertentu pada lokalisasi/daerah tertentu dapat memberikan warna tertentu pula pada peristiwa sosial. Sementara itu hal yang sama tidak dapat dijadikan generalisasi untuk memprediksi peristiwa sosial yang akan terjadi.
C.Antisipasi Keadaan
Ternyata  kondisi masyarakat yang makin compleks serupa ini menjadikan pemahaman akan dinamika masyarakat sangat diperlukan. Ledakan sosial sama dengan ledakan gunung api yang sama-sama sulit diramalkan kapan kejadiannya akan muncul. Hanya saja dapat diduga jika sejumlah variabel responsif dimunculkan, maka peluang kejadiannya yang dapat diprediksi. Oleh sebab itu diperlukan suatu rekayasa sosial agar peristiwa sosial yang tidak dikehendaki dapat dihindari, atau paling tidak diperkecil resiko sosialnya.
Hal yang perlu diperhatikan ialah adalah upaya grand disain dari penguasa untuk menciptakan suatu keadaan yang dijadikan rujukan baik dalam tataran norma maaupun dalam tataran perilaku. Kekosongan ideologi besar inilah yang membuat atmosfir kebersamaan pada konsep KITA menjadi rapuh. KITA dimaknai secara sempit dengan batasan kelompoknya, bukan dalam kerangka besar kebangsaan.
Inilah hal yang tercecer selama ini dalam disain besar rekayasa sosial, yaitu memperbesar lingkar KITA kelompok  menjadi KITA dalam arti bangsa. Kerangka ini seharusnya cepat kita benahi dengan mencari cara terbaik yaitu tidak merugikan pihak manapun. Adalah tidak tepat jika atas nama demokrasi kita justru mempertebal tembok antarKITA. Justru dengan atas nama demokrasi kita harus saling memberi dan berterima dengan masing-masing KITA.
Namun juga harus disadari oleh semua pihak dalam membentang interaksi antarsesama kita haruslah mau melakukan negosiasi/kesepakatan nasional apa yang kita jadikan kerangka acuan. Sehingga masing-masing perilaku yang kita kembangkan harus merujuk kepada kesepakatan sosial tadi, dan semua kita wajib mentaatinya.
Secara historis kita telah memiliki kesepakatan sosial ialah Pancasila. Hanya saja ada kesalahan sejarah yang pernah kita buat yaitu menanamkan nilai-nilai pancasila itu menggunakan pendekatan yang militeristik, dan bersifat indoktrinasi,  sementara yang diperlukan adalah pendekatan yang humanistik. Akibatnya  Pancasila bukan menjadi nilai-nilai kehidupan, akan tetapi menjadi bahan teks book yang harus dihafal.  Akibatnya Pancasila justru menjadi beban pembelajaran di sekolah.  Hal ini yang perlu kita temukan kembali metodologi apa yang tepat dalam rangka penanaman kembali nilai-nilai luhur bangsa ini agar dapat menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran.
Akibat lanjut jika keadaan serupa ini kita biarkan secara berlarut, maka akan memunculkan radikalisme massa yang tak terbendung, dan ini sangat membahayakan negara kesatuan yang telah kita perjuangkan dalam waktu yang sangat lama. Walaupun radikalisme ini tidak menjadi topik bahasan pada tulisan ini, namun radikalisme tetap perlu diperhatikan dalam rangka membahas peristiwa sosial. Radikalisme massa dalam salah satu wujud tampilannya adalah “amok”, walaupun tidak semua amok merupakan puncak dari radikalisme.
  D.Rekomendasi
Berdasarkan uraian di atas maka ada sejumlah rekomendasi yang  diberikan yaitu:
Pertama,  bahwa sudah sangat mendesak perlu disusun suatu grand disain pembangunan bangsa jangka panjang terutama berkaitan dengan tata laku dan tata kehidupan bernegara, dasar orientasinya bukan hanya berdasar pada konsep demokrasi semata, akan tetapi juga azaz musyawarah untuk mufakat dengan warna khas lokal, perlu diberi ruang untuk partisipasi warganya.
Kedua, bahwa suara terbanyak adalah penentu dalam demokrasi seperti selama ini terjadi, harus dikaji ulang bahwa suara minoritas juga memiliki hak yang sama dalam partisipasi membangun bangsa. Budaya memberi ruang pada minoritas ini perlu dihidupkan kembali, sehingga tidak menimbulkan bangunan tempok penyekat sosial yang tidak jarang menjadi pemisah. Eliminasi sosial serupa ini merupakan bentuk kegagalan demokrasi, atau juga cacat bawaan yang harus ditangani secara sungguh-sungguh.
Ketiga, bahwa kearifan lokal harus diberi ruang untuk ikut berpartisipasi dan berkontribusi dalam membangun ideologi bangsa dengan tidak mengesampingkan kepentingan bangsa yang luas. Kearifan lokal ini justru jika dirajut akan membangun networking yang kokoh guna pembangunan budaya indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar