Pada saat menunggu keberangkatan di satu
Bandara, penulis membunuh waktu dengan membaca semua harian yang ada di meja,
diselingi makanan ringan. Sayup sayup terdengar suara tetangga duduk sedang
bergunjing bahwa mereka tidak memilih yang pimpinan mereka arahkan, pada waktu
pemilihan Pimpinan Daerah. Selidik punya selidik, menyimak dari pembicaraan
yang diperbincangkan, ternyata mereka adalah pengurus partai besar di Republik
ini. Mereka menggunjingkan bagaimana mereka tidak sepakat dengan pimpinan
partai dalam menetapkan calon pilihan. Demi penyelamatan diri pada “kedudukan”
di organisasi, mereka seolah mentaati titah pimpinan mereka, walaupun dalam
bilik suara mereka melakukan pilihan berbeda dengan apa titah pimpinan. Pilihan
itu justru menjadi semacam arus utama massa yang tertuju pada seorang tokoh
idola pada jamannya.
Peristiwa di atas juga mengingatkan penulis
pada suatu peristiwa pemilihan Kepala Desa di suatu Desa terpencil tempat suatu
penelitian dilakukan. Kejadiannya justru berbalik arah dari peristiwa di atas.
Pada saat masa masa kampanye Sang Kepala Desa menjagokan seorang Tokoh Desa
untuk menggantikan kedudukannya. Walaupun tokoh desa ini berbeda keyakinan
dengan Pak Kepala Desa,
beliau di dukung dengan sepenuh kekuatan, bahkan kampanye dilakukan agak
sedikit terang terangan. Bahkan tokoh ini dipanggil dan direstui. Kebanyakan masyarakat juga kebetulan banyak
yang mendukung. Akan tetapi perubahan arus besar terjadi menjelang pagi
pemilihan. Kepala Desa melakukan “serangan fajar” dengan mengajukan calon lain
untuk didukung. Bukan tokoh masyarakat tadi yang selama ini telah didukungnya.
Alasanpun dibuat sederhana “karena beda keyakinan” sehingga tidak baik menurut
“pembisik” Bapak Kepala Desa yang juga tokoh aliran keyakinan tertentu. Alasan
“takut dosa” maka dengan ringan dukungan diputar arah. Walaupun alasan tersebut
sebenarnya diketahui banyak orang hanya dibuat buat demi penyelamatan dinasti
dan dosa dosa pribadi. Dengan kata lain menghindari dosa dengan cara membuat
dosa baru.
Dua contoh peristiwa sosial di atas, walau
beda settingnya, ternyata membuahkan kesamaan hasil; yaitu membuat para
pengikut dari suatu kepemimpinan tidak merasa memiliki pemimpin. Pemimpin dan
yang dipimpin menjadi vertikal, bukan horizontal. Akibatnya apa yang dititahkan
oleh pemimpin akan dilaksanakan sebagai “melepas kewajiban” bukan kesadaran
untuk melakukan sesuatu pencapaian tujuan bersama. Keadaan tersebut tersemai
dengan tidak sengaja menuju pada arah pemisahan antara yang memimpin dengan
yang dipimpin, karena ulah sang pemimpin.
Pada masa sekarang dengan teknologi
komonikasi personal yang sudah begitu maju, membuat diskusi tidak perlu
bertatap muka, cukup menggunakan piranti tertentu sudah dapat menyatukan ide
dari banyak orang, atau menyebarkan informasi begitu cepat, luas dan masif.
Tanpa mengenal waktu tempat dan keadaan. Oleh sebab itu perilaku pemimpin
sekarang menjadi sangat terbuka untuk dinilai dan disebarluaskan melalui media
personal ini.
Pemimpin untuk era sekarang tidak mudah
untuk memiliki wilayah prerogratif, karena penggunaan prerogratif sendiri sudah
menjadi wilayah publik, dengan demikian begitu prerogratif dipakai, maka
wilayah publik akan menjadi terusik. Disini diperlukan “wesdom” dari pemimpin
untuk mejaga keseimbangan yang ada, dengan kata lain wilayah publik menjadi
begitu rentan.
Pemimpin yang jauh dari yang dipimpin dalam
arti psikologis, maka akan berakibat pada tereliminasinya pemimpin dari yang
dipimpin. Jarak psikologis ini bisa saja berbanding terbalik dengan jarak
sosial, atau jarak pisik. Dengan kata lain bisa saja seorang pemimpin dengan
yang dipimpin secara pisik dekat, secara sosial juga dekat, akan tetapi secara
psikologis tidak. Atau secara pisik dekat, secara sosial dan psikologis jauh.
Yang lebih berbahaya jika secara pisik jauh, secara sosial jauh, dan secara
psikologis juga jauh.
Semua jarak ini yang paling sulit diukur adalah jarak sosial dan jarak pisikologis.
Karena kedua jarak tersebut ada pada rasa, dan ini sangat subjektif. Oleh
karena itu pemimpin diminta untuk memiliki dawai rasa yang halus agar “prono” (peka) menangkap gerak rasa psikologis dari yang
dipimpin. Kesulitannya adalah hal ini tidak ada sekolahan formalnya, akan
tetapi kemampuan olah dan asah bathin untuk mendekat pada yang Kholik menjadi
kunci utama.
Kemampuan finansial, kemampuan akademik,
tidak berkorelasi dengan kemampuan olah rasa, terutama dalam membaca “bahasa
tubuh” apa lagi “bahasa Rasa”, yang semuanya sangat abstrak, dan sulit
dianalisis. Hanya para penggiat olah batin yang mampu membaca ini. Oleh karena
itu menjadi pemimpin tidak hanya memenuhi persyaratan formal saja, akan tetapi
yang lebih sulit adalah persyaratan individual. Tidak salah kalau Soekarno,
presiden pertama Republik Indonesia mengatakan “memimpin adalah seni”. Semoga
bangsa ini menemukan jalan terang guna mendapatkan pemimpin yang “waskitho” ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar