Membaca
Nuansa yang ditulis oleh salah seorang wartawan harian ini berkaitan dengan
seorang tokoh Polisi, saya menjadi tergerak untuk mulai menulis lagi di harian
ini. Saya terperangah ada seorang jurnalis yang masih melihat profesi lain dari
sudut pandang nuansa kemanusiaan, dan ini jarang terjadi, bahkan menjadi
langka. Kebanyakan dari kita melihat orang lain dari sudut pandang kepentingan
diri, bukan apa yang dirasakan orang lain jika mendapatkan perlakuan dari orang
lain. Bahkan cenderung penglihatan itu bersifat hitam putih.
Pada konteks
ini profesi polisi yang sedang menjadi topik pembicaraan kita seantero
Indonesia dan menghangat. Dari kasus Mesuji sampai Bima, terlepas dari
kebenaran informasi yang ada menjadikan Polisi seolah-olah secara institusional
maupun personal menjadi penanggungjawab utama peristiwa itu. Untuk beberapa hal
mungkin benar, tetapi untuk banyak hal perlu dipertimbangkan kembali. Mari kita
melihat Polisi dari sisi lain, terutama sisi kemanusiaan, karena Polisi juga
Manusia.
Melihat usia
masuk ke jajaran Kepolisian adalah mereka yang tamat Sekolah Menengah Atas, dan
jika yang bersangkutan masuk ke Sekolah Kepolisian, berarti pada usia dua puluh
dua tahun sudah berdinas, kemudian mengikuti pendidikan kekhususan sekitar usia
dua puluh empat atau dua puluh lima tahun. Kemudian yang bersangkutan berdinas
menghadapi garda depan di tengah masyarakat. Pada usia ini yang bersangkutan
harus menghadapi gerakan-gerakan masyarakat yang terkadang memerlukan sikap
ketenangan yang tinggi. Tidak semua mereka memiliki benteng ketahanan mental
yang tebal, ada juga diantara mereka yang tipis, dan ini adalah manusiawi.
Mereka harus berhadapan dengan gelombang unjuk rasa yang brutal, mereka harus
tetap seperti tembok, tidak boleh bereaksi. Pertanyaan lanjut adakah jaminan
bagi mereka menyangkut keselamatan jiwa, ketenangan untuk tidak terpancing,
sekalipun diludahi mukanya.
Belum lagi
garis komando yang tidak ada kata lain kecuali kalimat SIAP KOMANDAN, itu yang
boleh keluar dari mulut mereka. Bagaimana makna SIAP itu terserah nanti
pelaksanaannya. Jika keadaan pada waktu mengucapkan itu dalam kondisi normal,
persoalan tidak ada masalah. Tetapi jika keadaan pada waktu itu sangat ekstrim,
maka perhitungan matang harus dilakukan. Kalkulasi psikologis dengan kalkulasi
rasio sering tidak jumbuh. Oleh sebab itu strategi amat dituntut dalam hal ini. Persoalannya kematangan strategi sering
berbanding linier dengan usia. Tidaklah salah jika kesalahan melakukan strategi
ini berakibat fatal pada Polisi Polisi muda ini.
Oleh karena
itu kita harus memberikan penilaian berimbang kepada Polisi muda dalam
melaksanakan/menyelesaikan tugas, karena mereka harus menghadapi dua hal sekali
gus. Pertama, menghadapi massa yang sering brutal tidak terkendali, bahkan
dapat membahayakan jiwanya. Kedua, menghadapi gejolak emosi diri yang dipancing
terusmenerus oleh massa dengan melakukan stimulus stimulus destruktif, untuk
tetap bertahan bagai Tembok Cina. Pertanyaannya sejauh mana mereka tetap
bertahan.
Di samping
hal di atas, ada sejumlah faktor yang juga ikut menyumbang sebagai pemicu,
yaitu Pertama, faktor kelelahan fisik. Polisi muda sering memiliki jam kerja di
lapangan duapuluh ampat jam non stop bahkan pada situasi tertentu bisa lebih.
Pertanyaannya ialah apakah dengan jam kerja yang begitu panjang tidak terjadi
penurunan kemampuan fisiologis. Jika hal ini terjadi maka daya konsentrasipun
akan menurun. Lebih lanjut mengakibatkan kemampuan mengambambil keputusan dan
tindakan akan terganggu. Terlepas mereka telah dilatih untuk itu, tetapi ambang
batas kemampuan menahan kelelahan fisiologis perlu mendapat perhatian. Kedua,
faktor lain, maksudnya ialah adanya faktor di luar kontrol variabel, dan ini
bersifat sangat individual. Namun demikian tidak jarang variabel ini ikut
memberi kontribusi yang besar. Contoh variabel ini ialah, pendapatan, masalah
keluarga dan lain sebagainya. Berkaitan dengan pendapatan polisi muda ini ada
pihak-pihak tertentu yang sinis mengatakan banyak hormatnya dari gajinya. Tentu
hal seperti ini jangan sampai terjadi.
Uraian di
atas masih sangat bersifat teoritis, jika dilihat aplikasinya ternyata tidak
sesederhana itu. Oleh sebab itu perlu diberi apresiasi kepada Polisi muda yang
dalam melaksanakan tugas di daerah konflik tidak terpancing secara emosional.Perlu
dipahami oleh kita semua bagaimana beratnya tugas Polisi jika berhadapan dengan
masyarakat yang tidak dewasa secara psikologis. Atau berhadapan dengan
masyarakat yang secara budaya memiliki tipologi kekerasan. Walaupun di Sekolah Kepolisian ada mata ajar
berkaitan dengan budaya masyarakat, bukan jaminan Polisi Muda dapat menyerap
apa yang diajarkan kemudian diterapkan secara praktis, mengingat sifat dinamis
dari budaya itu sendiri yang mengalami perubahan begitu cepat.
Pada sisi
lain yang juga perlu diperhatikan adalah “kebrutalan” masyarakat kita sekarang.
Hapir disetiap unjuk rasa mereka melakukan tindakan-tindakan destruktif bahkan
cenderung brutal. Kondisi yang demikian ini harus dihadapi oleh para Polisi
Muda dengan menahan perasaan bergejolak di dada, tetapi karena atas nama
profesional harus berjuang menahan diri sendiri, baik secara fisik maupun
batin.
Pekerjaan yang tersisa adalah bagaimana secara
terus menerus lembaga lembaga yang ada di masyarakat di samping memberikan
advokasi, tetapi jangan lupa juga memberikan edukasi. Unjuk rasa tidak
dilarang, akan tetapi bagaimana cara yang benar dalam berunjuk rasa, itu perlu
disampaikan. Apa yang boleh dilakukan, apa yang tidak boleh, kemudian aturan
atau prosedur yang harus dilalui sebelum berunjuk rasa, juga perlu diberikan.
Mengutarakan
pendapat itu sangat dibolehkan dalam negara demokrasi, sekalipun pendapat itu
berbeda. Akan tetapi bagaimana cara menyampaikan pendapat, itu juga lebih
penting. Maksud baik, akan tetapi disampaikan dengan cara dan bahasa yang
salah, hasilnya akan menjadi tidak baik. Apalagi jika maksudnya memang sudah
jelek, disampaikan dengan cara jelek, hasilnya akan menjadi sangat jelek.
Ripertoar
demokrasi harus jalan, akan tetapi syimponinya akan menjadi enak didengar jika
semua pemain medengungkan alat musiknya sesuai dengan not penuntun yang ada di
patitur. Polisi adalah organ demokrasi yang urgen, walau demikian Polisi tetap
manusia. Dia dapat saja berbuat salah, hilaf, dosa, pahala, dan apapun namanya
yang melekat sebagai manusia. Kita semua harus menyadari bagaimana beratnya
tugas Polisi dalam alam yang sedang belajar berdemokrasi. Perubahan yang begitu
cepat dan drastis serta ekstrim itulah Polisi ada di dalam pusarannya.
Sekali lagi sebagai manusia yang dikaruniai oleh
Tuhan sebagai insan yang berfikir, maka adalah bijak jika kita memposisikan
profesi apapun, termasuk Polisi, pada kedudukan yang dimensional kemanusiaan.
Dengan cara itu kita akan memiliki empaty kepada semua insan yang tergelar
dijagad raya ini. Semoga.............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar