A.Pendahuluan
Menyimak berita akhir-akhir ini, baik cetak
maupun elektronik, ada rasa miris dan gundah. Penyebabnya ialah tidak ada
lembar atau tampilan yang tidak menampilkan kekerasan. Dari kekerasan yang
paling ringan sampai yang paling keras. Pelakunyapun dari yang paling terpelajar
sampai dengan yang warga biasa. Penyebab persoalanpun beragam, dari senggolan
nonton Orgen Tunggal, sampai perebutan batas desa (Baca: Lampost 15 nov 2011).Memuncak
menjadi karena jagonya tidak terpilih dalam proses pemilihan, berubah menjadi
amok masa. Akibat yang dilahirkanpun menjadi beragam, dari penusukan sampai
pembakaran kampung. Bahkan terakhir pembakaran kantor, yang kita mengetahui
semua apa dosanya kantor ikut dibakar, padahal itu benda mati. Persoalan patung
menjadikan orang berperilaku bringas. Perkembangan
lanjut dibawa ke arah beragam juga; ada dikotomi asli dengan pendatang, ada
juga dikotomi etnis A dengan etnis B, bahkan sub-etnikpun terbawa-bawa. Tidak
puas dengan itu muncul pendukung A dan pendukung B. Hirukpikuklah dunia menjadi-jadi
karena ada kepentingan politik ikut bermain memanfaatkan situasi.
Sisi lain dengan berlakunya era otonomi
seolah ada sekat antara persoalan yang menjadi tanggungjawab pemerintah pusat,
provinsi dan kabupaten/kota. Sehingga siapa mengelola apa sering tidak jelas,
Ironisnya jika persoalan ekonomi, maka klaim untuk memiliki begitu besar,
bahkan cenderung bernafsu, namun sebaliknya jika persoalan musibah atau
malapetaka, maka yang terjadi saling lempar tanggungjawab. Terutama
persoalan-persoalan sosial yang bersifat kronis dan jangka panjang.
*). Disampaikan pada pertemuan Masyarakat
Sejarawan Indonesia di Pringsewu, 22 Mei 2012
Uraian peristiwa di atas sering termuat
pada media-media daerah, sementara media pusat lebih tertarik pada issue besar,
sehingga seolah peristiwa daerah tidak menjadi informasi aktual. Kondisi ini
tentunya akan membangun opini tidak terjadi apa-apa, atau peristiwa daerah itu
bukan konsumsi yang layak diinformasikan. Tentu saja opini seperti ini
merupakan opini yang menjerumuskan. Akan tetapi karena dunia ini sudah begitu
sempit, peristiwa-peristiwa tersebut justru sering muncul pada laman pribadi di
face book, atau jejaring sosial lainnya. Bahkan seolah liputan ini tidak
memerlukan jurnalis khusus untuk meliputnya.
Pembiaran yang berakibat pada pembusukan
peristiwa sosial ini berakibat pada penanganan yang selalu cenderung terlambat.
Ibarat kebakaran, setelah api besar dan tidak terkendali, regu pemadam
kebakaran baru datang, itupun berkecenderungan tidak memiliki metode yang tepat
dalam penanganannya. Lebih ironis lagi jika kedatangan tim bukan memberikan
solusi justru menimbulkan persoalan baru, akibat dari kekurangpahaman akan akar
budaya dari masyarakat sekitar. Bahkan komentar atau pernyataan yang dibuatpun
cenderung tidak tepat sasaran, lebih parah lagi justru memperkeruh keadaan.
Sekarang ada lagi alasan baru dari para aparat untuk bertindak tegas yaitu
alasan sempurna “Takut melanggar HAM”, jadi lebih aman menjadi penonton saja.
Sisi lain yang juga tidak kalah serunya jika
penanganan lebih mengedepankan pencitraan, akibatnya penyelesaian persoalan
lebih bersifat permukaan saja, karena motivasi yang ada ialah mengejar target
cepat selesai, cantik dipandang, menyenangkan atasan. Motivasi ini berlindung
pada Hak-hak azazi manusia, hak kewenangan pemerintah daerah, dan alasan
lainnya lagi yang cenderung dibuat tampak rasional. Sehingga bentuk
penyelesaiannyapun sumir hanya lima menit lihat sana, lihat sini, selesai.
Tidak pernah menyentuh persoalan akar rumput.
Menjadi ironis lagi pejabat yang datang
meninjau justru memperparah kondisi penerima musibah karena harus mempersiapkan
protokoler yang biayanya jika untuk menyumbang kepada ahli musibah akan lebih
berguna. Kasus-kasus konflik sosial yang besar dan cenderung menarik minat
pejabat pusat untuk berkunjung ke daerah, ternyata di samping biaya yang cukup
besar juga ada muatan politik, sehingga kehadiran pejabat di samping
memberatkan masyarakat, juga menjadi beban sosial bagi masyarakat.
B.Berpisahnya “AKU, DIA, KITA dan MEREKA
Kebersamaan dalam arti luas pada manusia
akan memberikan makna posisi setara dalam arti interaksi sosial. Kondisi ini
akan berubah setelah ada variabel lain yang masuk pada pola hubungan tadi.
Variabel lain ini bisa saja merupakan kondisi bawaan dalam arti tidak mungkin
di ubah, sebagai contoh seseorang terlahir sebagai orang Jawa, sementara dia
berkeinginan lahir sebagai Jerman. Hal itu tentu tidak mungkin. Kondisi ini
perlu menjadi perhatian karena pembeda peran dan fungsi menjadi begitu fital dalam
adagium interkasi sosial.
Begitu manusia berkelompok, maka
hukum-hukum dinamika kelompok akan berlaku, salah satu diantaranya ialah
munculnya perasaan “inner” dan “other”. Hal serupa ini adalah
sunatullah dalam arti keberlakuannya universal. Namun demikian ternyata di
dalam inner sendiri ada inner-inner dan inner-other. Ini menunjukkan bahwa di
dalam kelompok ternyata ada sub-kelompok, bahkan bisa terjadi sub-sub kelompok.
Disinilah mulai muncul adanya konsep, AKU, DIA, KITA dan MEREKA.
Keberlangsungan inner dan other ini sangat
ditentukan oleh ambang toleransi yang dibangun atas kesepakatan. Bentuk
kesepakatan sendiri pada umumnya tidak formal tertulis, akan tetapi berbentuk
kebiasaan-kebiasaan yang kemudian salah satu sempalannya tumbuh sebagai norma.
Other dan inner ini sendiri akan terus
berjalan seiring dengan perjalanan waktu membentuk lingkaran maya sebagai
benteng sosial bagi individu. Individu akan merasa aman, nyaman jika berada
pada skop lingkaran, sebaliknya merasa terancam jika berada di luar lingkar
tadi. Pertemuan lingkar maya satu dengan lingkar maya yang lain dapat terjadi
harmoni jika terjadi keserasian. Sebaliknya akan terjadi disharmoni jika
pertemuan lingkar maya tadi memunculkan konflik.
Benturan lingkar maya inilah dapat memicu
terjadinya konflik baik individual maupun kelompok. Benturan itu terjadi akibat
adanya toleransi yang menipis, atau adanya kondisi anomali, seperti halnya
“amok”, yang akhir-akhir ini muncul dimana-mana. Amok sendiri merupakan
akumulasi dari rasa frustrasi kelompok atau individu terhadap keadaan yang
mengelilinginya. Amok juga bersumber dari disharmoni yang berkepanjangan tanpa
jelas penyelesainya. Energi yang terhimpun ini begitu mendapat pintu katarsis,
maka muncul bagai air bah yang dapat menerjang apa saja. (lih: Kasus 1 Mei
2012, Perobohan Patung di Kalianda).
Salah satu kerangka teori inilah yang
mungkin dapat menjelaskan sedikit tentang peristiwa sosial yang terjadi di
mana-mana sekarang. Di duga ada akumulasi frustrasi sosial di tengah masyarakat
kita sehingga menjadikan keadaan tersebut. Adapun sejumlah hal yang berperan
sebagai variabel pemicu; diantaranya ialah:
a.Kesenjangan ekonomi
Penguasaan
sumber-sumber ekonomi oleh sekelompok orang mengakakibatkan terhimpunnya
kekayaan pada orang atau kelompok tertentu saja, akibat lanjut biaya sosial
yang mahal hanya mereka yang mampu membayarnya. Hal ini tentu membuat
kesenjangan sosial makin lebar, dan lebih parah lagi jika masyarakat menemukan
penyimpangan dari cara mereka menguasai sumberdaya ekonomi, akibatnya ialah
menimbulkan luka sosial pada masyarakat. Luka sosial ini jika tersulut sedikit
saja oleh sesuatu hal, maka yang terjadi adalah amok sosial tadi.
b.Kelangkaan Panutan Sosial
Sensitifitas sosial yang muncul belakangan
ini juga berawal dari kelangkaan contoh sosial sebagai panutan sosial.
Kebingungan sosial serupa ini menjadikan masyarakat begitu rentan karena tidak
ada tokoh yang mengakomodir kehendak mereka. Issue yang tidak jelaspun akan
mereka respon bahkan menjadi penyulut ketidak puasan sosial.
c.Akses sosial berkecenderungan bersiat
materialistik
Akses sosial seperti hubungan dengan
pemerintahan yang selalu mengukurnya dengan materi (baca: uang), mengakibatkan
rasa terkepung dalam diri masyarakat itu muncul. Kecenderungan materialistik
ini kemudian membawa perasaan khalayak bahwa segala sesuatu pelayanan harus
dibayar dengan uang. Kondisi ini membuat perasaan tereliminasi ditengah
keramaian jika tidak mampu membayar pelayanan sosial yang diberikan.
Sedikitnya keempat hal di atas diduga
merupakan faktor dominan yang membuat benteng AKU, KITA, DIA dan MEREKA menjadi
makin tebal dan tinggi, disertai dengan ambang toleransi yang rendah.
Perbandingan terbalik kedua hal ini bisa membahayakan jika tidak ditemukan
penanganan yang serius dan segera.
Kita tidak menafikah keberadaan AKU, KITA,
DIA dan MEREKA, karena hal tersebut merupakan sunatullah. Menjadi persoalan
jika benteng yang terbangun menjadi tinggi dan tebal, sehingga membuat
eliminasi sosial. Kondisi tereliminasi kemudian ambang toleransi yang rendah,
tentunya akan membuat rentan secara psikologi dari masyarakat tersebut.
Kerentanan psikologis ini juga akan sangat membahayakan secara individual bagi
anggota masyarakatnya. Kebanyakan mereka menjadi kesepian di tengah keramaian.
Contoh masyarakat seperti ini ialah karena tidak mampu membayar SPP maka
pilihannya adalah gantung diri. Penyebab yang begitu simpel bagi kebanyakan
orang, tetapi tidak untuk individu-individu yang merasa tereliminasi secara
sosial dari masyarakatnya.
Hal di atas adalah sesuatu yang bersifat
umum, namun untuk kasus-kasus tertentu hal tersebut tidak dapat dijadikan acuan
secara penuh. Penyebabnya ialah kondisi tertentu pada lokalisasi/daerah
tertentu dapat memberikan warna tertentu pula pada peristiwa sosial. Sementara
itu hal yang sama tidak dapat dijadikan generalisasi untuk memprediksi
peristiwa sosial yang akan terjadi.
C.Antisipasi Keadaan
Ternyata
kondisi masyarakat yang makin compleks serupa ini menjadikan pemahaman
akan dinamika masyarakat sangat diperlukan. Ledakan sosial sama dengan ledakan
gunung api yang sama-sama sulit diramalkan kapan kejadiannya akan muncul. Hanya
saja dapat diduga jika sejumlah variabel responsif dimunculkan, maka peluang
kejadiannya yang dapat diprediksi. Oleh sebab itu diperlukan suatu rekayasa
sosial agar peristiwa sosial yang tidak dikehendaki dapat dihindari, atau
paling tidak diperkecil resiko sosialnya.
Hal yang perlu diperhatikan ialah adalah upaya
grand disain dari penguasa untuk menciptakan suatu keadaan yang dijadikan
rujukan baik dalam tataran norma maaupun dalam tataran perilaku. Kekosongan
ideologi besar inilah yang membuat atmosfir kebersamaan pada konsep KITA
menjadi rapuh. KITA dimaknai secara sempit dengan batasan kelompoknya, bukan
dalam kerangka besar kebangsaan.
Inilah hal yang tercecer selama ini dalam
disain besar rekayasa sosial, yaitu memperbesar lingkar KITA kelompok menjadi KITA dalam arti bangsa. Kerangka ini
seharusnya cepat kita benahi dengan mencari cara terbaik yaitu tidak merugikan pihak
manapun. Adalah tidak tepat jika atas nama demokrasi kita justru mempertebal
tembok antarKITA. Justru dengan atas nama demokrasi kita harus saling memberi
dan berterima dengan masing-masing KITA.
Namun juga harus disadari oleh semua pihak
dalam membentang interaksi antarsesama kita haruslah mau melakukan
negosiasi/kesepakatan nasional apa yang kita jadikan kerangka acuan. Sehingga
masing-masing perilaku yang kita kembangkan harus merujuk kepada kesepakatan
sosial tadi, dan semua kita wajib mentaatinya.
Secara historis kita telah memiliki
kesepakatan sosial ialah Pancasila. Hanya saja ada kesalahan sejarah yang
pernah kita buat yaitu menanamkan nilai-nilai pancasila itu menggunakan pendekatan
yang militeristik, dan bersifat indoktrinasi, sementara yang diperlukan adalah pendekatan
yang humanistik. Akibatnya Pancasila
bukan menjadi nilai-nilai kehidupan, akan tetapi menjadi bahan teks book yang
harus dihafal. Akibatnya Pancasila
justru menjadi beban pembelajaran di sekolah. Hal ini yang perlu kita temukan kembali
metodologi apa yang tepat dalam rangka penanaman kembali nilai-nilai luhur
bangsa ini agar dapat menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran.
Akibat lanjut jika keadaan serupa ini kita
biarkan secara berlarut, maka akan memunculkan radikalisme massa yang tak
terbendung, dan ini sangat membahayakan negara kesatuan yang telah kita
perjuangkan dalam waktu yang sangat lama. Walaupun radikalisme ini tidak
menjadi topik bahasan pada tulisan ini, namun radikalisme tetap perlu
diperhatikan dalam rangka membahas peristiwa sosial. Radikalisme massa dalam
salah satu wujud tampilannya adalah “amok”, walaupun tidak semua amok merupakan
puncak dari radikalisme.
D.Rekomendasi
Berdasarkan uraian di atas maka ada
sejumlah rekomendasi yang diberikan
yaitu:
Pertama,
bahwa sudah sangat mendesak perlu disusun suatu grand disain pembangunan
bangsa jangka panjang terutama berkaitan dengan tata laku dan tata kehidupan
bernegara, dasar orientasinya bukan hanya berdasar pada konsep demokrasi semata,
akan tetapi juga azaz musyawarah untuk mufakat dengan warna khas lokal, perlu
diberi ruang untuk partisipasi warganya.
Kedua, bahwa suara terbanyak adalah penentu
dalam demokrasi seperti selama ini terjadi, harus dikaji ulang bahwa suara
minoritas juga memiliki hak yang sama dalam partisipasi membangun bangsa.
Budaya memberi ruang pada minoritas ini perlu dihidupkan kembali, sehingga
tidak menimbulkan bangunan tempok penyekat sosial yang tidak jarang menjadi
pemisah. Eliminasi sosial serupa ini merupakan bentuk kegagalan demokrasi, atau
juga cacat bawaan yang harus ditangani secara sungguh-sungguh.
Ketiga,
bahwa kearifan lokal harus diberi ruang untuk ikut berpartisipasi dan
berkontribusi dalam membangun ideologi bangsa dengan tidak mengesampingkan
kepentingan bangsa yang luas. Kearifan lokal ini justru jika dirajut akan
membangun networking yang kokoh guna pembangunan budaya indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar