Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Jumat, 03 Juni 2016

AKHIR SEBUAH “PESTA”

AKHIR SEBUAH “PESTA”

Layar panggung Tonil kehidupan episode suatu babak, telah berakhir. Layar sudah diturunkan, Dewan Juri sudah memutuskan, bahwa pembawa panji kehidupan sudah diestafetkan. Cerita baru akan dimulai, dengan pelakon baru dan tata pentas yang baru pula. Sang Fajar telah datang dengan mengusung juru mudi yang baru.
Akan tetapi ada yang tidak berubah yaitu perjalanan sang waktu, dia terus berjalan melibas yang ada termasuk panggung kehidupan. Haru biru, gejolak, gunjang ganjing, celeret tahun, semua diberi waktu. Begitu semua mencapai puncaknya, maka berakhir pula hantaran waktunya.
Pemimpin baru sudah terpilih, walau dengan bertungkuslumus kita semua terlibat melahirkannya. Dari mereka yang menghendaki dengan juga mereka yang tidak menghendaki, semua mengambil peran sesuai dengan fungsinya. Namun sekarang sudah harus bergandengtangan untuk menggapai cita bersama menuju Indonesia baru.
Bak Raden Abimanyu, anak Harjuna, penampilan yang dingin, dan selalu dekat dengan “kawulo alit” adalah ciri khas yang harus dipertahankan. Ada satu lagi ciri khas, yaitu tidak mau membalas hujatan, cercahan ataupun hinaan dari siapapun. Slogan “aku rapopo” adalah benteng ampuh dari pertahanan ego yang ditampilkan. Slogan ini dipuji, tetapi tidak jarang dikeji, tapi itu adalah harga sosial yang harus dibayar oleh suatu popularitas.
Namun ada yang tersisa di sudut sana, yaitu dengan atas nama pendidikan politik untuk bangsa, sesuatu sedang diperjuangkan oleh mereka yang mengatasnamakan pelurusan. Hal ini sah sah saja di negara demokrasi, hanya saja menjadi tidak patut manakala dilakukan dengan cara cara yang menyinggung martabat kerakyatan.
Rakyat sudah lelah menonton akrobat yang ditampilkan, mereka sudah sangat ingin memperoleh ketenangan dalam mencari nafkah, mudah mendapatkan sandang pangan dengan harga yang mereka jangkau. Mereka tidak begitu hirau dengan apa yang sedang diperebutkan atau diperdebatkan. Tidak jarang mereka mengubah chanel TV manakala mereka melihat perbincangan yang melangit. Mereka lebih suka menikmati Mahabrata, dari pada menyaksikan sesuatu yang terbatabata.
Rakyat sudah berselogan “siapapun pemimpinnya, mereka tetap harus kerja untuk cari makan”. Ini dari sisi praksis tidak ada masalah, tetapi dari sisi hakiki, ini menujukkan mereka sudah mulai jenuh dan lelah untuk ikut perahu yang terombangambing. Jangan sampai mereka mengambil keputusan sendiri, karena jika itu yang terjadi, maka fatalism sosial akan terbentuk. Yaitu suatu keadaan masyarakat yang tidak mau peduli lagi dengan keadaan penguasanya, mereka begitu masa bodoh dan tidak memiliki empaty lagi.
Hanya karena kemauan segelintir orang yang tidak terpuaskan, jangan sampai mengorbankan rakyat yang begitu besar. Kita semua harus menyadari bahwa hukum demokrasi itu ada yang kalah dan ada yang menang. Kita semua harus siap pada posisi itu, tidak mungkin semua kalah atau semua menang, dan kekalahan itu sebenarnya adalah kemenangan yang tertunda.
Mohon jangan memandang Indonesia hanya dari atas Tugu Monas, lihat kami yang harus berjuang dalam keseharian untuk mencari sesuap nasi. Kami harus keluar rumah tatkala matahari belum terbit, dan pulang tatkala matahari sudah diperaduan. Jangan kami dipecundangi, kami diperlukan hanya saat pilihan, selesai itu dilupakan. Kami tidak perlu belaskasihan, yang kami perlukan keamanan dan ketersediaan bahan pokok berharga terjangkau.
Jangan dibuat kami jengah, karena kami sudah berkorban untuk memenuhi undangan negara dalam memilih anda, andaikata diantara kami tidak menggunakan hak pilih, itu adalah hak kami, dan jika kami menggunakannya itupun juga hak kami. Kami sudah tidak mempan lagi diiming-imin, digeratak, diintimidasi atau lain sebagainya, karena kami punya kebebasan di bilik suara kami.

Kami sudah biasa beda pilihan sejak jaman dulu, waktu kami memilih pemimpin kami, kami tidak pernah rebut, tetapi dengan arief kami selesaikan sendiri persoalan kami. Oleh sebab itu janganlah hal yang sederhana dibuat rumit hanya karena kalian tidak kebagian roti. Ingat kami biasa makan umbi, walau tidak menolak ruti, tapi jangan kami di buly.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar