AKHIR SEBUAH “PESTA”
Layar panggung Tonil
kehidupan episode suatu babak, telah berakhir. Layar sudah diturunkan, Dewan
Juri sudah memutuskan, bahwa pembawa panji kehidupan sudah diestafetkan. Cerita
baru akan dimulai, dengan pelakon baru dan tata pentas yang baru pula. Sang
Fajar telah datang dengan mengusung juru mudi yang baru.
Akan tetapi ada yang tidak
berubah yaitu perjalanan sang waktu, dia terus berjalan melibas yang ada
termasuk panggung kehidupan. Haru biru, gejolak, gunjang ganjing, celeret
tahun, semua diberi waktu. Begitu semua mencapai puncaknya, maka berakhir pula
hantaran waktunya.
Pemimpin baru sudah
terpilih, walau dengan bertungkuslumus kita semua terlibat melahirkannya. Dari
mereka yang menghendaki dengan juga mereka yang tidak menghendaki, semua
mengambil peran sesuai dengan fungsinya. Namun sekarang sudah harus
bergandengtangan untuk menggapai cita bersama menuju Indonesia baru.
Bak Raden Abimanyu, anak
Harjuna, penampilan yang dingin, dan selalu dekat dengan “kawulo alit” adalah
ciri khas yang harus dipertahankan. Ada satu lagi ciri khas, yaitu tidak mau
membalas hujatan, cercahan ataupun hinaan dari siapapun. Slogan “aku rapopo”
adalah benteng ampuh dari pertahanan ego yang ditampilkan. Slogan ini dipuji,
tetapi tidak jarang dikeji, tapi itu adalah harga sosial yang harus dibayar
oleh suatu popularitas.
Namun ada yang tersisa di
sudut sana, yaitu dengan atas nama pendidikan politik untuk bangsa, sesuatu
sedang diperjuangkan oleh mereka yang mengatasnamakan pelurusan. Hal ini sah
sah saja di negara demokrasi, hanya saja menjadi tidak patut manakala dilakukan
dengan cara cara yang menyinggung martabat kerakyatan.
Rakyat sudah lelah
menonton akrobat yang ditampilkan, mereka sudah sangat ingin memperoleh
ketenangan dalam mencari nafkah, mudah mendapatkan sandang pangan dengan harga
yang mereka jangkau. Mereka tidak begitu hirau dengan apa yang sedang
diperebutkan atau diperdebatkan. Tidak jarang mereka mengubah chanel TV
manakala mereka melihat perbincangan yang melangit. Mereka lebih suka menikmati
Mahabrata, dari pada menyaksikan sesuatu yang terbatabata.
Rakyat sudah berselogan
“siapapun pemimpinnya, mereka tetap harus kerja untuk cari makan”. Ini dari
sisi praksis tidak ada masalah, tetapi dari sisi hakiki, ini menujukkan mereka
sudah mulai jenuh dan lelah untuk ikut perahu yang terombangambing. Jangan
sampai mereka mengambil keputusan sendiri, karena jika itu yang terjadi, maka
fatalism sosial akan terbentuk. Yaitu suatu keadaan masyarakat yang tidak mau
peduli lagi dengan keadaan penguasanya, mereka begitu masa bodoh dan tidak memiliki
empaty lagi.
Hanya karena kemauan
segelintir orang yang tidak terpuaskan, jangan sampai mengorbankan rakyat yang
begitu besar. Kita semua harus menyadari bahwa hukum demokrasi itu ada yang
kalah dan ada yang menang. Kita semua harus siap pada posisi itu, tidak mungkin
semua kalah atau semua menang, dan kekalahan itu sebenarnya adalah kemenangan
yang tertunda.
Mohon jangan memandang
Indonesia hanya dari atas Tugu Monas, lihat kami yang harus berjuang dalam
keseharian untuk mencari sesuap nasi. Kami harus keluar rumah tatkala matahari
belum terbit, dan pulang tatkala matahari sudah diperaduan. Jangan kami
dipecundangi, kami diperlukan hanya saat pilihan, selesai itu dilupakan. Kami
tidak perlu belaskasihan, yang kami perlukan keamanan dan ketersediaan bahan
pokok berharga terjangkau.
Jangan dibuat kami jengah,
karena kami sudah berkorban untuk memenuhi undangan negara dalam memilih anda,
andaikata diantara kami tidak menggunakan hak pilih, itu adalah hak kami, dan
jika kami menggunakannya itupun juga hak kami. Kami sudah tidak mempan lagi
diiming-imin, digeratak, diintimidasi atau lain sebagainya, karena kami punya
kebebasan di bilik suara kami.
Kami sudah biasa beda
pilihan sejak jaman dulu, waktu kami memilih pemimpin kami, kami tidak pernah
rebut, tetapi dengan arief kami selesaikan sendiri persoalan kami. Oleh sebab
itu janganlah hal yang sederhana dibuat rumit hanya karena kalian tidak
kebagian roti. Ingat kami biasa makan umbi, walau tidak menolak ruti, tapi
jangan kami di buly.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar