Sudah menjadi rutinitas setiap pagi sebelum jam delapan saya sudah
berangkat ke kantor; sampai di lantai dasar harus berjuang naik ke lantai empat
dengan delapan puluh tujuh anak tangga. Hal ini dilakukan karena lift belum
hidub. Alasan “Raja Lift” itu belum jam kantor walaupun sudah jam delapan,
salahnya sendiri datang ke kantor terlalu pagi. Demikian juga waktu pulang lif
sudah mati. Waktu di tanya, jawabnya paling jitu, mengapa pulang dari kantor
kok sore-sore.
Demikian juga pada waktu sabtu ngantor, ternyata air tidak ada. Waktu
ditanya jawab “ Raja Air “ standar, kan
hari kerja sampai jum”at, jadi salah sendiri kenapa sabtu ngantor. Demikian
juga waktu ada acara listrik byar pet alias mati hidup. Pada waktu di tanya
jawabannya “Raja Listrik” juga standar beli
solar dong buat serep, kalau gak kepakai kan bisa saya jual.
Ternyata dalam satu kantor saja raja raja kecil ini banyak sekali, dari
Tukang Lift, Tukang Air, Tukang Kunci/Penjaga Gedung, Tukang Jaga Malam, dan
masih banyak lagi. Mereka dengan “kekuasaannya” bisa membuat repot “Raja Besar”
alias Pimpinan. Apalagi jika pimpinan
kurang begitu suka turun ke bawah secara berjenjang melihat apakah instruksinya
berjalan atau tidak. Raja raja kecil ini sangat berkuasa, bahkan tidak jarang melampaui
kewenangannya, sehingga menjadi otoriter dan “sak enak e dewe”.
Kita bisa membayangkan capeknya rakyat sekarang karena setiap hari di dalam negara ini terlalu
banyak raja-raja kecil yang harus
dihadapi seperti di atas. Dari pelayanan sederhana saja seperti antri di loket
imigrasi, terkadang kita harus menonton petugas sedang ketawa ketiwi dengan
telpon genggamnya. Muka kita terbengongbengong dihadapannya seolah patung saja
layaknya. Petugas ini layaknya raja yang dapat berbuat apa saja kepada pengguna
jasa. Tidak menunjukkan wajah rasa berdosa berbuat yang tidak pada tempatnya.
Banyak petugas pelayanan publik menjadi megaloman, yaitu merasa menjadi orang
penting. Akibatnya raja raja ini seperti membuat spektrum sendiri guna memuskan
nafsu kekuasaannya.
Setiap hari kita menonton adegan adegan demikian ini pada panggung
kehidupan yang terus bermunculan sang raja kecil. Persoalannya sekarang raja
kecil ini semakin hari beranakpinak disemua lini kehidupan. Atas nama otonomi
semua menjadi mudah menjadikan raja kecil bermunculan. Otonomi yang semula
dirancang untuk mempermudah penyelesaian suatu persoalan, ternyata salah
kejadian (Jawa: Salah Kedaden)
berubah menjadi munculnya Alien Sosial.
Keadaan seperti ini memunculkan kondisi pisikologis individu seolah
terasing dari dunianya, akibatnya bisa diduga; jika keadaan seperti ini terus
berlangsung rakyat menjadi yatim piatu. Mereka merasa tidak ada yang mengurus
karena semua orang berusaha menjadi “raja” di tempatnya. Karena sifat raja yang
harus dilayani lebih dominan, sehingga rakyat menjadi orang yang harus menurut
dengan kemauan raja yang sering berlindung pada atas nama birokrasi. Tampaknya
kemajuan teknologi yang tidak dilengkapi infrastruktur sosial berakibat pada
perilaku menyimpang dari para pelakunya.
Pada tataran ini sebenarnya ada ruang kosong pada individu yang tidak
memiliki ethos kerja, sehingga bekerja tanpa hati nurani. Mereka sama dengan
robot-robot sosial yang bekerja tanpa melihat sisi-sisi kemanusiaan. Kecenderungan
hanya mengejar pendapatan saja yang besar, dengan kata lain hanya pandai
menuntut hak tetapi tidak pernah mengukur kewajiban yang dilakukan. Pemuasan
diri lebih penting dari pada pemuasan costumer, padahal hukum sosial mengatakan
jika kita bekerja lebih baik, maka kesejahteraanpun akan mengikuti menjadi
baik. Tetapi yang dibenak mereka adalah meminta dulu, baru kapan-kapan akan
memberi.
Benar sekali Prof, raja2 kecil banyak bermunculan yang sebenarnya disebabkan oleh "nawaitu" bekerjanya hanya sebatas mencari uang, bukan beribadah.
BalasHapus