22 Desember
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar dan Direktur
Pascasarjana Unila
Pada saat merenungkan
peristiwa 2 Desember yang digagas banyak orang, pemikiran keluar dari pakem
muncul dengan sebersit pertanyaan ; jangan-jangan orang abai dengan 22
Desember. Tanggal itu dikenang sebagai Hari Ibu, anak-anak muda sekarang yang
gemar bahasa asing mengganti label dengan Mother
Day. Bahkaan ada diantara mereka membuat Kue penghormatan buat Ibu mereka.
Hal serupa itu sah-sah saja untuk jaman yang sudah berubah ini.
Pada hari itu
mengingatkan kembali sosok seorang Ibu yang menunggui anak-anaknya belajar, di
bawah temaram Lampu Minyak (Jawa: Ublik), beliau memainkan Kawat Kait benang
untuk merajut, menjadikan Taplak Meja, atau apapun lainnya. Sesekali beliau
bersenandung lagu lawas, yang tidak tahu siapa penulisnya lagu itu sampai
sekarang. Sesekali juga beliau bertanya
kepada anak-anaknya apa yang bisa beliau bantu. Wajah ihlas walau lelah tampak
menggurat diwajahnya; seakan beliau membimbing kami untuk menggapai cita-cita
masa depan, walau pada saat itu kami belum tahu apa masa depan itu, kami hanya
ingin menyenangkan Ibu bahwa kami menurut perintahnya. Ibu sangat paham kapan
kami lelah dan harus tidur, dan kapan waktunya kami mendengarkan dongengan saat
menjelang tidur.
Pertanyaan tersisa,
masih adakah suasana itu pada keluarga Indonesia sekarang. Jawabannyanya,
rasanya sudah menjadi barang langka. Semua atas nama kemajuan dan modrenisasi,
sudah berubah 360 derajat. Sekarang sudah menjadi pandangan umum, keluarga yang
terdiri dari Ayah, Ibu, Anak berada pada satu tempat yang sama tetapi pada
ruang yang berbeda. Secara lahiriah
mereka berada di tempat yang sama, padahal mereka tidak terhubung satu sama
lain. Mereka tereliminasi secara masif melalui media sosial dengan ruang lain
bersama orang lain. Dengan kata lain mereka berada pada tempat yang sama tetapi
tidak pada ruang yang sama.
Revolusi Media Sosial
(ReMedSos) ini sekarang begitu masif melanda individu Indonesia, bahkan ada
petinggi Indonesia yang menyatakan rata-rata orang Indonesia berada pada durasi
13 jam perhari berada di MedSos. Jadi tidak mustahil untuk mengumpulkan sepuluh
juta orang di Monas tidak perlu menggunakan undangan fisik, cukup undangan
senyap melalui MedSos hal itu bisa terwujud dalam tempo yang singkat. Tidak
perlu harus menggunakan Helikopter buat menyebar undangan. Demikian juga
mencari dana untuk suatu kegiatan tidak harus membawa proposal dari pintu
kepintu, cukup mempostingnya di laman gaget, semua akan terkumpul.
Ada yang menggantung
sebagai residu sosial dari revolusi MedSos, yaitu pekerjaan Ibu makin berat
dari sebelumnya. Ibu harus mampu membaca gerak anak di rumah bukan hanya dengan
pancaindra saja, akan tetapi juga melalui mata batin. Karena mereka berinteraksi
dengan teman melalui media, tidak jarang efek emosi dari media akan
mempengaruhi, dan jika terabaikan bisa berakibat fatal. Oleh sebab itu ibu
harus melek teknologi, agar keluarganya terhindar dari dampak negatif
keberadaan teknologi.
Menjadi Ibu masa kini ternyata
bukan sesuatu yang mudah, di samping harus memiliki kemampuan lebih bidang
manajemen keuangan, karena tingginya biaya ekonomi, juga harus memiliki
kemampuan menguasai teknologi komunikasi. Banyak sekali ibu mengalami gagal
paham akan persoalan anak-anaknya; karena rendahnya kemampuan penguasan
teknologi informasi.
Ibu masa kini
dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit yang tidak jarang harus mengorbankan
tenaga dan pikirannya di luar kewajaran. Bahkan harus bekerja ekstra keras,
karena menjadi Polisi sekaligus Penasehat buat anak-anaknya. Pekerjaan rumah
yang tadinya hanya sekitar: Dapur, Kasur, dan Sumur; sekarang ditambah dengan ;
TUTUR, SEMBUR, dan UWUR.
Tutur adalah nasehat
yang harus diberikan kepada seluruh isi rumah; terutama pada anak-anaknya.
Tutur lebih pada ucapan bijak yang disampaikan ibu kepada anak-anaknya. Tutur
yang lebih dikenal dengan Pitutur adalah nasehat-nasehat mulia yang disampaikan
ibu pada anak2nya. Nasehat ini lebih menekankan pada tata laku moralitas bagi
yang mendengarkannya. Namun ada prasyarat yang harus dimiliki yaitu sipemberi
nasehat, dalam hal ini Ibu, harus mampu menunjukkan perilaku mulia seperti
tuntutannya. Tanpa itu; maka Tutur yang diberikan akan kehilangan
kewibawaannya, dan jika itu dilakukan berlebihan ; maka kesan cerewet yang
muncul ; bahkan anak anak sekarang akan memberi label lebay.
Sembur adalah nasehat
yang bernada keras, namun bukan bermakna marah. Ibu harus mampu melakukan ini
kepada para putra-putrinya di rumah. Nasehat yang keras diperlukan untuk
membangun semangat, sehingga para putra-putrinya tidak berjiwa lemah. Sembur bukan berarti harus bawel, atau juga
harus dengan nada tinggi. Sembur adalah cara Ibu memompakan semangat pada
putra-putrinya agar tidak menyimpang dari pakem laku yang sudah ditetapkan.
Sembur lebih bernuansa menegakkan disiplin pada putra-putrimya, sehingga mereka
kelak menjadi orang-orang yang tangguh dalam menghadapi tantangan hidup.
Uwur adalah memberikan
semacam bantuan finansial seadanya kepada para putra- putri. Finansial disini
bukan hanya berupa keuangan semata, akan tetapi lebih pada hal-hal yang
bersifat bantuan material. Ibu harus siap menjadi Juru Selamat bagi
putra-putrinya dalam arti luas.
Tampak di sini semakin
nyata bahwa untuk menjadi Ibu pada era yang akan datang tidak cukup hanya
pandai, tetapi dituntut cerdas. Tuntutan ini sejalan dengan sudah tidak adanya
“dinding” di antara rumah-rumah. Semua sudah tembus dengan gelombang informasi
melalui Media Sosial, yang menyerbu secara masif ke semua penjuru. Revolusi
MedSos ini jika tidak dimanfaatkan dengan bijak oleh para Ibu sebagai orang
yang ditakdirkan untuk mendampingi putra-putrinya, maka akan terjadi Goncangan
Sosial yang dahsyat melanda keluarga.
Anak-anak diusia dini
sampai remaja mengidolakan Ibunya. Posisi Ibu sebagai posisi sentral yang
mereka anggap dapat menyelesaikan apapun persoalan mereka. Kondisi seperti ini
banyak keluarga baru yang mengambil keputusan Ibu tidak harus ikut mencari
nafkah, cukup mengurus anak-anak di rumah. Bahkan dari hasil penelitian homeschooling (Sekolah Rumahan) ternyata
99 persen mentornya adalah Ibu mereka sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa Ibu
menjadi kata penentu bagi masa depan anak-anakknya.
Namun ada sisi lain
yang juga kita harus perhatikan, ternyata jumlah terbesar penghuni Panti Werda
adalah Perempuan. Rata-rata mereka adalah Oma-Oma yang sudah hidup sendiri,
atau tidak memiliki keluarga. Pada Hari Ibu ini mereka juga berhak mendapatkan
perhatian kita semua, karena mereka juga adalah bahagian dari Hari Besar itu.
Tidak jarang diantara mereka waktu mudanya berjasa, akan tetapi karena faktor
tertentu sehingga mereka berada di Panti Werda. Banyak jasa mereka seiring
perjalanan waktu, menjadi terlupakan. Saatnyalah kita pada momentum hari
bersejarah ini untuk megingat mereka.
Kata “Ibu” sendiri
semua kita telah mempopulerkannya dengan memberikan kata depan kata “IBU” pada
beberapa daerah, benda, dan lainnya untuk memberikan labeling penghormatan yang
lebih. Kata “Bapak” tidak pernah dapat menyamai kata lebih dari “Ibu”. Hal ini
menunjukkan secara Transendental Ibu memiliki kelebihan. Kelebihan kodrati ini
menjadikan semacam kekuatan dahsyat yang hanya dimiliki oleh Ibu.
Menghormati Hari Ibu
tidaklah cukup dengan membebaskannya hari itu dari semua pekerjaan rutinitas
yang melekat pada Ibu, atau memberinya hadian istimewa dengan mengajak makan
bersama, atau mengajaknya bertamasya; akan tetapi bagaimana memberikan
apresiasi kepada Ibu untuk mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai manusia.
Menempatkan Ibu pada kedudukan yang bermartabat sebagai sumber kehidupan
keluarga.
Hal ini sangat jarang
dilakukan karena semua kita cenderung terjebak kepada rutinitas, tidak dapat
berfikir keluar dari pakem yang ada. Hari Ibu hanya dihiasi dengan sekedar
formalitas, selesai pada berkain kebaya, kunjungan ke Panti, makan-makan; semua
selesai dan kembali keutinitas. Apakah hanya itu untuk Ibu ?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar