TUJUH TAHUN “GUS DUR” (Refleksi dan introspeksi diri)
Oleh : Sudjarwo
Guru Besar FKIP Universitas Lampung.
Bertepatan dengan tanggal 30 Desember nanti genap tujuh tahun Bapak Bangsa
Abdulrahman Wahid atau lebih dikenal dengan nama Gus Dur , meninggalkan kita.
Banyak jejak-jejak kehidupan yang beliau tinggalkan, terlepas terhadap
penilaian Pro dan Kontra, beliau telah meninggalkan sejarah. Tulisan ini tidak
memposisikan diri pada keduanya; akan tetapi ingin melihat dari sisi lain atau
prespektif yang mungkin berbeda.
Dilihat dari ketokohan, tidak ada orang yang menafikan
bahwa Gus Dur memang tokoh, terlepas dari sudut pandang yang berbeda, dan
membuat kontroversi yang terkadang begitu tajam. Tetapi justru ini menjadi
semacam kekuatan bagi Gus Dur, karena setiap kita membicarakan beliau; maka
mozaik ini akan muncul dengan sendirinya. Hal ini juga sekaligus meneguhkan
pada pendapat yang menyatakan bahwa Gus Dur adalah Bapak
Kebhinekaan.
Sisi lain pemikiran-pemikiran beliau menjadikan “Aliran”
dalam sistem paradigma berfikir dari sejumlah orang, yang kemudian disebut oleh
orang lain juga sebagai “Gusdurian” kepada para pengikut aliran tersebut.Perlu
diingat bahwa tidak semua Presiden Indonesia yang pemikirannya menjadi aliran,
dalam sejarah hanya ada Sukarnoisme, Habibinomic dan Gusduria. Hal ini menunjukkan
bahwa bagaimana kuatnya pengaruh pemikiran tokoh ini pada kehidupan berbangsa
dan bernegara .
Resiko pemikiran yang menjadi aliran adalah berada pada
posisi Pro dan Kontra setiap saat, dan
itu merupakan sesuatu hal yang wajar. Bahkan pada waktunya nanti akan ada
kajian kritis yang menimbang aliran itu dimuka pengadilan ilmiah. Namun untuk
Gusdurian apapun timbangannya tetap memiliki keunggulan ontologis yang khas.Salah
satu bentuk keunggulannya ialah aliran ini merupakan kombinasi lokal content
dan Islam. Oleh sebab itu aliran ini menjadi cepat berkembang dan mendapatkan
banyak simpati; paling tidak menjadi seksi untuk dikaji. Kekhasan lainnya ialah
mampu menjadi jembatan lintas multi, dalam arti bahwa Gusdurian tidak menjadi
milik kelompok tertentu, tetapi menjadi milik mereka yang merasa memiliki Gus
Dur.
Sederet gelar kemayarakatan dan kebangsaan ini
menunjukkan bahwa beliau memang orang yang diberi kelebihan atau dalam bahasa
Jawa disebut “linuwih”.Namun kelebihan yang bersifat non fisik itu tidak dapat
dilihat oleh mata jasmani, hanya dapat dirasakan melalui mata hati.
Persoalannya tidak semua orang mampu menggunakan mata hatinya; sehingga tidak
jarang hujatan dan celahan yang muncul dari mereka dengan berlindung pada
rasionalitas. Namun komentar-komentar itu sedikitpun tidak menjadikan marwah
Gus Dur menjadi pudar; justru sebaliknya. Oleh sebab itu Gus Dur justru besar
karena ada pada posisi puncak ketakjupan dan ketidaksukaan. Dua kutup yang
berbeda dan menyatu; di atas puncak itulah Gus Dur berada.
Apabila Kartini punya “Habislah Gelap Terbitlah Terang”,
Gus Dur justru memiliki “Tetap Terang Sekalipun dalam Gelap”. Kendala fisik
tidak menjadikan beliau terpenjara, justru beliau menjadi begitu merdeka ; terutama
dalam gagasan besar dan pemikiran besar. Tidak jarang pikiran-pikiran atau
ide-ide beliau menembus jamannya, sehingga banyak orang baru paham akan ide dan
gagasannya setelah beliau wafat.
Pemberian labelatau simbol apapun kepada Gus Dur tidak
akan menyurutkan ketakziman banyak orang kepada beliau. Exsisting Ontologi yang
melekat pada beliau begitu kuat, sehingga dalil apapun yang dipakai untuk menafihkan justru berbalik
menjadi mengokohkan. Anomali sosiologis serupa ini sangat jarang terjadi melekat
pada ketokohan seseorang. Justru
kebanyakan ketenaran seseorang menjadi seketika runtuh, begitu ditemukan celah
kelemahan ontologis pada yang bersangkutan. Banyak sekali peristiwa seperti itu
terjadi; masih segar dibenak kita, tokoh agama kondang, bisa mengalami social rush begitu cepat, karena terjadi
semacam kekeliruan sosial yang tidak bisa diterima oleh logika sosial. Ada juga
Motivator yang mengalami hal yang sama karena kesalahan manajemen sosial.
Hal lain yang juga menumbuhkembangkan Gusdurian adalah
kekompakkan keluarga inti dalam menjunjung tinggi marwah beliau. Pada keluarga
ini tidak ditemukan silang posisi antarketurunan dalam mensikapi dan mendukung
kebesaran Gus Dur. Ini menjawab dua hal, pertama, bahwa ketokohan
sebagai seorang Bapak memang betul-betul ditanamkan oleh Gus Dur dan Ibu Sinta
Nuria pada generasinya. Atas nama
kemerdekaan pribadi boleh saja untuk beda pendapat, namun ternyata generasi Gus
Dur di rumah tetap selalu ada pada koridor yang sama. Berbeda dengan tokoh yang
lain di Indonesia ini; atas nama Kemerdekaan bisa saja dua bersaudara atas nama
payung yang sama, tetapi berhadaphadapan dalam mengaplikasikan ideologi
payungnya.Kedua, bahwa Gusdurian sebelum keluar sebagai konsumsi publik
terlebih dahulu terinternalisasi secara baik pada keluarga inti dan para
santrinya. Hal ini berarti ada semacam masa pengendapan, penyaringan, evaluasi
secara sosiologis terlebih dahulu. Dengan demikian sesuatu yang keluar sudah
melalui proses panjang pemasakannya.
Sisi lain yang juga menjadi keunggulan beliau adalah
melihat semua persoalan tidak terlepas dari sisi humoris manusiawi. Bingkai
humor ini tidak jarang baru terasa jika kita sudah sendiri dan merenungkan dari
apa yang beliau ucapkan. Adagium seperti BEGITU SAJA KOK REPOT, SEPERTI SEKOLAH
TK, dan masih banyak lagi. Ucapan ucapan humor itu sering membuat orang
tersinggung dan membuat orang lain marah. Namun dalam marah orang itu
sebenarnya memunculkan kegelian jilid dua bagi yang melihatnya, yaitu geli yang
pertama adalah dari ucapan Gus Dur sendiri, geli yang kedua,adalah perilaku
orang yang marah karena sentilah humor Gus Dur, kita memandangnya jadi geli.
Dobleeffek atau mungkin tripleeffek ini tidak banyak orang bisa memunculkannya,
bahkan sekelas pelawak sekalipun.
Adalah sesuatu yang wajar sekiranya Gur Dur mendapatkan
penghormatan sebagai Maha Guru Kemanusiaan. Hal ini dapat kita renungan dari
kebijakkan beliau menghapuskan Departemen Sosial. Karena sifat sosial itu
adalah fitrah yang harus melekat pada manusia, dan jika sifat ini kemudian
dilembagakan dengan mendapatkan fasilitas, maka itu berarti membuat kemanjaan
baru sekaligus mengingkari eksistensi individu yang merupakan sublimasi dari
sifat individual dan sifat sosial. Dengan katalain, masalah-masalah sosial itu
tidak lebih juga masalah individual, karena kedua hal itu bak dua sisimata uang
yang sama. Jika manusia melaksanaan perilaku individual, sebenarnya dia juga
dalam koridor perilaku sosial. Begitu juga manakala manusia itu melaksanakan
perilaku sosial, sebenarnya itu adalah tugas wajib individual yang melekat.
Oleh sebab itu cukup setingkat Menteri saja dan tanpa Departemen, jika tugas
filosofisnya demikian.
Pikiran-pikiran filosofi di atas banyak baru disadari
setelah beliau tidak ada. Banyak diantaranya justru mereka yang dahulu
mengupat, setelah melek filsafat, baru menyadari bagaimana kesesatan berfikir
yang mereka alami selama ini. Banyak hal yang ditinggalkan oleh Gus Dur sesuatu
yang belum selesai, justru beliau mempersilahkan kepada kita untuk
menyelesaikannya. Hal seperti ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang sudah
sampai pada tingkatan berfikir paripurna, dan tidak akan sampai (bhs Jawa :
Nyandak) bagi mereka yang tataran berfikirnya masih setengah-setengah, apalagi
baru tingkat pemula.
Demikian juga pada waktu beliau menutup Departemen Penerangan,
semua orang bertanya, lalu media apa yang dipakai pemerintah untuk
menginformasikan semua pekerjaan kepemerintahan. Ternyata ada dasar filosofis
yang selama ini kita abaikan. Sadar atau tidak sadar kecenderungan individu itu
akan menunjukkan kebaikannya saja, kelemahan yang dimiliki akan ditutupi
serapat mungkin. Tindakan bodoh ini baru kita sadari justru kecenderungan ini
terbawa kepada perilaku kelembagaan yaitu mengumbar kebaikan diri, lupa
kekurangan yang harus diperbaiki. Akibat lanjut ialah kita akan terninabobok
dengan laporan Asal Bapak Senang (ABS) yang sengaja dibuat untuk menyenangkan
hati atasan, sehingga lupa akan kekurangan. Tidak jarang pada waktu itu selalu
keluar kalimat ATAS PETUNJUK BAPAK PRESIDEN. Lalu apa guna dibuat Departemen
kalau semua petunjuk dijadikan dasar, bukan hasil kajian lapangan. Kelemahan
manusiawi ini oleh Gus Dur cepat ditangkap dan diselesaikan dengan cara
membubarknnya. Akibatnya informasi menjadi terbuka, kita masing-masing menjadi
sumber informasi sekaligus Polisi informasi. Karena jika ada informasi yang
tidak patut semua kita akan mencegahnya, sebaliknya jika ada informasi yang
patut disebarkan maka kita akan menyebarkannya. Terlepas dari segala kelemahan
cara ini, paling tidak kita akan berproses menjadi penerima dan penyebar
informasi yang dewasa dan bertanggungjawab.
Masih banyak lagi tinggalan filosofis dari Gud Dur pada
bangsa ini yang tidak mungkin kita bahas satupersatu pada halaman yang terbatas
ini, akan tetapi paling tidak mulai sekarang kita menyadari bahwa apa yang
dipikirkan Gus Dur adalah pemikiran yang melampaui jamannya. Jika ada pepatah
yang mengatakan HARIMAU MATI MENINGGALKAN BELANGNYA, untuk seukuran Gus Dur
rasanya tidak tepat, justru untuk ukuran beliau Harimau Mati bukan hanya
meninggalkan belangnya yang indah, tetapi juga Cakarnya yang kokoh, Taringnya
yang tajam, sorot mata yang kemilau, sera kegigihannya yang tanpa batas.
Selamat Jalan Gus, hanya doa yang mampu kami panjatkan
untukmu, karena kesempurnaanmu telah membawa kami kepada pemahaman akan ketidak
sempurnaan kami. Jejak-jejakmu hanya mampu kami pandang, karena kami tidak akan
mampu menapaki tapak-tapakmu. Tapakmu yang telah menghujam Nusantara, bahkan
Dunia, membuat kami tidak berarti apa-apa. Hanya ALLOH yang Maha Tahu
menempatkan orang semulia dirimu dialam sana. Sekali lagi SELAMAT JALAN GUS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar