PILKADA
(Petaka atau Berkah)
Sudjarwo
Guru Besar Unila
Beberapa saat lalu negara kita dihirukpikukkan oleh hajat nasional
yaitu diselenggarakannya Pemilihan Kepala Daerah secara serentak. Tidak kurang
dari 102 daerah pemilihan menggelar hajat nasional ini. Dari Aceh sampai Papua
pesta demokrasi ini berlangsung, tentu saja dengan banyak bumbu-bumbu; dari
yang paling manis sampai yang paling pahit.
Namun demikian Pesta Demokrasi kali ini ada yang sangat menarik yaitu
dari seratus lebih daerah yang menyelenggarakan Pesta Demokrasi, namun
beritanya hanya didominasi oleh Pilkada Jakarta. Berita Jakarta ini mendominasi
semua saluran televisi, bahkan radio yang ada. Menjadi lebih seru lagi ditambah
dengan dominasi dari media sosial yang ada. Untuk yang terakhir ini beritanya
menjadi “super seru” karena kita sulit membedakan berita itu “palsu” atau
ssungguhan. Membacanyapun dari yang menaikkan bulu kudu, sampai berita yang
membuat bibir tersungging senyum.
Hal tersebut wajar terjadi karena Jakarta adalah Ibu Kota Negara yang
menjadi semacam tolok ukur bagi semua daerah untuk menakar demokrasi. Akan
tetapi menjadi tidak elok tontonan tadi manakala muncul tokoh tokoh nasional
yang muncul dengan menampilkan perilaku yang tidak sesuai dengan “baju” nya. Adalagi perilaku yang seharusnya untuk ukuran
usia dan status yang bersangkutan menampilkan laku yang teduh, ngayomi;
ternyata justru menampilkan perilaku
garang, memusuhi semua yang berbeda. Namun apesnya pada saat pesta berlangsung,
justru piring yang ada didepannya dipakai untuk makan orang lain.
Pada sisi lain juga menjadi sesuatu yang menarik, yaitu masih tingginya
kartu suara yang tidak dipakai; atau dengan bahasa lain masih banyak mereka
yang berhak tetapi tidak melaksanakan haknya. Jika kejadian itu di daerah, mungkin
kendala jarak, transportasi, cuaca; menjadi pembenaran. Akan tetapi untuk Ibu
Kota hal ini menjadi aneh, karena semua kendala di atas relatif nihil. Hal ini
tentu ada sebab-sebab lain yang mendorong peristiwa itu terjadi.
Tontonan yang tidak bisa jadi tuntunan seperti di atas berbekas pada
banyak anak negeri ini, sehingga mereka seolah mendapatkan contoh yang tidak
patut dicontoh. Apalagi mereka merasa diberlakukan tidakadil oleh perlakuan
media ataupun tokoh. Hal ini terjadi karena mereka merasa dilupakan oleh negeri
ini, akibat dari terlalu digiring fokus mereka ke Jakarta, sementara mereka
sendiri sedang melakukan perhelatan Pesra Demokrasi.
Pertanyaan tersisa adalah apa yang terjadi dalam masyarakat dengan
adanya Pilkada. Jika pertanyaan ini kita jadikan acuan, maka ada pertanyaan
lanjut pada kelompok mana ini ditujukan. Jika pertanyaan ini ditujukan pada
kelompok awam, jawabannya adalah mereka lebih mengutamakan kebutuhan hidupnya
sehari-hari. Bahkan jika mereka dihadapkan pada pilihan memilih atau
penghasilannya berkurang. Maka sudah dapat dipastikan mereka akan memilih pada
mempertahankan penghasilan. Kelompok ekonomi subsistensi ini (meminjam istilah
Sosiologi Pertanian), merasa lebih rentan ekonominya, oleh karena itu prioritas
ekonomi menjadi utama. Tidak salah jika kelompok ini lebih tidak ikut pesta
bukan karena tidak partisipatif, akan tetapi lebih pada “ketakutan kuali
penanak nasinya” terguling.
Bagaimana dengan kelompok menengah bawah. Kelompok ini paling getol
untuk menjadi partisipasi aktif dalam pesta demokrasi, namun bukan berarti
partisipasi murni. Partisipasi mereka sangat rapuh dengan godaan material
sesaat. Bahkan kelompok ini bisa berbuat kiri kanan Ok, dalam arti lebih
mendahulukan kepentingan mereka, walaupun bersifat sesaat. Kelompok ini tidak begitu tampak dipermukaan,
akan tetapi secara riel ada ditengah masyarakat. Bahkan dari mereka sering
muncul slogan “wani piro”. Kelompok ini seolah masa apung yang labil untuk
mudah berubah. Tidak jarang dari mereka saat Pasangan Calon A mengadakan
kampanye, mereka hadir. Saat pasangan lain kampanye dengan waktu yang berbeda,
merekapun hadir. Ganti atribut dalam sesaat mereka dapat lakukan dengan mudah.
Kelompok menengah berbeda lagi. Karena secara ekonomi mereka lebih
mapan dan memiliki akses media lebih luas ; mereka lebih bersifat “menunggu”
dan “ melihat”. Mereka lebih cenderung menjadi masa apung, namun demikian
mereka lebih konsisten jika sudah menetapkan pilihan. Kasus ini dibuktikan
dengan Ibu Kota yang di gruduk (pinjam istilah pak BY) oleh masyarakat luar,
tetapi tidak banyak menggoyahkan pilihan kelompok ini. Bahkan mereka menjadi
semakin mengeras karena merasa diintervensi. Kelompok ini tidak bisa
ditekan-tekan, akan tetapi lebih pada diberikan pilihan-pilihan, sehingga
mereka merasa dihargai. Kelompok inilah sebenarnya merupakan kelompok penentu
dalam keberhasilan Pemilihan, karena makin besar jumlah tingkat partisipasi mereka, maka akan makin
besar juga tingkat keterlibatan peserta pilih pada suatu daerah.
Kelompok menengah atas. Kelompok ini jumlahnya sedikit, tetapi memgang
posisi kunci dalam strata masyarakat. Masing-masing anggota memiliki sejumlah
pengikut, baik atas dasar hubungan darah, maupun pertemanan, serta kolega
kepartaian/aliran. Kelompok ini menjadi semacam penggerak mesin sosial, bahkan
bisa jadi juga merangkap menjadi donatur kegiatan. Namun demikian kelompok ini sebenarnya sering
dimanfaatkan oleh kelompok menengah bawah untuk dijadikan semcam “pemanfaatan
situasi”. Kelompok menengah atas ini
mampu menggerakkan massa besar-besaran, bahkan masip dengan memanfaatkan
kelompok menengah bawah, guna dijadikan “tunggangan sosial”. Tampak semacam
simbiose mutualistis atau saling memanfaatkan dari keduanya.
Bagaimana dengan kelompok minoritas sosial lain. Dalam tulisan ini
diberi istilah “sempalan bawah” dan Sempalan Atas”. Sempalan bawah adalah
mereka yang secara sosial ekonomi termarginalkan karena kekurangannya. Kelompok
ini sama sekali tidak mengacuhkan peristiwa sosial termasuk Pilkada. Bagi
mereka hidup hari ini, dicari hari ini, dan untuk hari ini. Mereka abai dengan
kondisi sosial sekitar; yang penting bagi mereka hari ini mencari, untuk
dimakan hari ini, hari esok biarkan nanti.
Bagaimana dengan sempalan atas. Kelompok ini berbeda kutub dengan sempalan
bawah. Ciri sempalan ini ialah secara ekonnomi mereka di atas rata-rata. Jumlahnya
mereka sedikit, tetapi mengendalikan seluruh lapisan yang ada di negeri ini.
Bukan hanya ekonomi, bahkan sampai pada sosial politik. Partisipasi mereka pasip, tetapi modalnya
yang aktif; sehingga mereka berkecenderungan sangat individualis. Jika dirasa
iklim yang ada akan mengnganggu mereka secara ekonomi, maka mereka dengan mudah
hengkang dari negeri ini pergi kenegeri lain. Tempat tinggal fisik bukan
menjadi tumpuan, tetapi tempat tinggal modal itu utama. Perilaku mereka sangat
sensitif jika menyangkut capital, karena harta kekayaannya tidak habis untuk
tujuh turunan, tetapi jika salahkelola
bisa hilang dalam tujuh detik. Oleh karena itu mereka lebih senang bergerak
dibelakang layar bak bayang-bayang maut yang hanya bisa dirasa tidak bisa
diraba. Suka tidak suka Pilkada membuat mereka sedikit terganggu; karena
mereka selalu mepelototi situasi kondisi yang sewaktu-waktu berubah, dan jika
itu terjadi mereka dengan segera memindahkan kapitalnya keluar dari negeri ini.
Pemilahan-pemilahan di atas hanya pemilahan imaginer; untuk mempermudah analisis sosial. Sedangkan
pada dunia nyata batas-batas imaginer itu tidaklah kentara benar, namun bisa
diamati perilaku masyarakat untuk dilakukan pengkatagorian. Perdebatan masalah ini bersifat abadi karena
bisa saja seseorang dalam kategori material masuk golongan tertentu, tetapi
dalam kategori sosial masuk golongan lainnya.
Menjadi sesuatu yang tersisa adalah apapun alasannya Pilkada akan
menjadikan masyarakat terbelah secara imaginer. Menjadi tugas para pemimpin
bangsa ini untuk membendung belahan itu untuk tidak menjadi belahan sosial,
karena jika itu yang terjadi ; maka benturan sosial tidak dapat dielakkan.
Belahan imaginer akan cepat menjadi belahan sosial riel jika ada pihak tertentu
yang mengambil kesempatan dengan memancing di air keruh melalui hembusan SARA,
atau menciptakan musuh imaginer ; sehingga terjadi destruktif sosial yang bisa
menghancurkan Bangsa dan Negara ini.
Namun sebaliknya jika pelaku sosial bersikap dewasa dengan menyikapi
perbedaan sebagai suatu sunatullah; maka yang terjadi adalah bangun demokrasi
yang harmonis. Inilah yang menjadi
impian bersama kita dalam membangun bangsa. Semoga Pilkada bukan membawa petaka
tetapi membawa berkah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar