Pada
beberapa minggu lalu saat ada waktu untuk melaksanakan perjalanan suci ketanah
Harom ; rombongan yang terdiri dari 36 orang berasal dari beberapa kawasan
Indonesia, walaupun dominasi tetap dari Ibu Kota; ada sesuatu yang menarik
yaitu ada dua anggota bersaudara terdiri dari Kakak dan adik. Sang Kakak
perempuan lajang profesional sedangkan adik dari SMA Internasional Gandhi
bernama Ando.
Dilihat
dari tampilan tidak ada yang menarik tetapi menjadi terperangah setelah
mengenal lebih dekat; ternyata Ando sudah dua kali ke Tanah Suci, pertama
dengan kedua orang tuanya, dan kali ini dengan sang kakak. Ando lima bersaudara
dan dia adalah si bungsu. Kakak-kakaknya yang tiga sedang berlibur ke Eropa,
sedangkan dia diperintahkan melalui Kakak nomor empat untuk pergi ke Tanah Suci
tanpa di kawal orang tua. Anak mami ini harus melakukana semua mandiri tanpa
boleh minta bantuan siapapun kecuali amat terdesak. Dari pembicaraan yang
intens ternyata Ando menikmati perjalanan ini karena bisa menggunakan bahasa
Indonesia sepanjang hari. Ando merasa terasing dinegeri sendiri karena dari bangun
tidur sampai tidur lagi dia harus menggunakan Bahasa Asing, karena sekolah di
Sekolahan asing. Menggunakan bahasa asing seperti saat mampir di Dhoha
Qatar, anak ini sangat fasih sehingga Guide yang ada merasa kuwalahan melayani
pertanyaan-pertanyaan bocah SMA kelas dua ini. Tetapi bagi Ando itu
penyiksaan.
Aneh tapi
nyata, ternyata di Indonesia saat ini ada segelintir anak bangsa yang hidup di
negerinya sendiri menjadi terasing. Kemakmuran yang dinikmati keluarga ini dan
cita-cita keluarga untuk tampil mendunia seluruh keturunannya; ternyata membawa
individu di dalam keluarga itu menuju kepada alam yang tereliminasi. Dan mereka
sangat rindu akan suasana keindonesiaan yang sesungguhnya.
Sesampai
di Kota Suci Makkah rombongan didampingi oleh seorang anak muda bernama
Abdulrahman. Anak muda ini lahir tahun 2000, ibu dari Pamekasan Madura dan Ayah
dari Kediri Jawa Timur, Ustad muda ini lahir dan besar di Tanah Suci, karena
kedua orang tuanya adalah eks TKI yang sukses dan tidak ingin kembali ke Indonesia.
Sehari-hari anak muda ini menggunakan bahasa Arab. Bahasa Indonesia dia
belajar dari sang Ayah, termasuk menulis Tulisan Bahasa Indonesia, sedangkan
dari Ibu belajar Bahasa Madura. Ustad muda yang masih belajar di Aliyah ini
sangat senang menjadi pemandu kami karena bisa memperlancar bahasa indonesia
dan melatih menulis sendiri Bahasa Indonesia. Abdulrahman sangat mencintai
Indonesia, dia bercita-cita membuka pesantren di Tanah Jawa tempat leluhur dari
Ayahnya. Dia ingin sekali pada waktunya jika memiliki cukup biaya untuk melihat
seperti apa Indonesia itu. Anak tunggal ini begitu bersemangat jika mendengar
berita-berita Indonesia, bahkan anak muda ini melalui media sosial,
membuka jaringan pertemanan senasib untuk memikirkan bagaimana Indonesia kedepan
dan peran apa yang bisa mereka lakukan.
Berkaca
dari dua peristiwa di atas membuat hati ini menjadi miris sekaligus bangga.
Ternyata anak-anak muda Indonesia masih banyak yang memiliki kecintaan terhadap
negerinya. Banyak anggapan selama ini bahwa anak-anak muda mengalami
kemerosotan nilai-nilai keindonesiaan, ternyata tidaklah semua benar. Ada
diantara mereka yang tetap gigih mempertahankan keindonesiaannya di dada,
sekalipun berada di negara lain bahkan lahir dan besar di negara lain.
Justru
berbanding terbalik jika menyikapi keadaan masyarakat saat ini yang kebingungan
menghadapi ulah sebagian tokoh masyarakat. Kondisi ini menjadi lebih rumit lagi
karena ada tokoh nasional yang ikut mencari panggung, dengan cara memanfaatkan
celah sosial yang terbentuk karena akibat dari adanya pusaran sosial.
Kejernihan
pemikiran kaum muda ini terkristalisasi pada kesepakatan Cibubur baru-baru ini
yang tertuang sebagai “komitmen Kebangsaan” pada waktu Jambore Pramuka
Mahasiswa (terlepas status hukum pelaksanaan kegiatan itu tidak dibahas di
sini). Walaupun karena jiwa mudanya, maka dalam mengeksposenya sedikit
kebablasan, sehingga membuat seorang tokoh nasional sedikit kebakaran jenggot.
Namun esensinya adalah mereka lebih berfikir cerdas untuk tidak menerima warisan
hutang dan SARA, kemudian mempertahankan Pancasila sebagai Filosofi bangsa.
Bentuk kecintaan pada Tanah Air yang cerdas ini menunjukkan bahwa mereka masih
sangat peduli akan NKRI sebagai Tanah Tumpah Darah nya.
Bonus
demografi yang menghampiri Indonesia saat ini, seharusnya dipersiapkan dengan
baik oleh pemerintah dengan membuat kebijakan yang konprehensif untuk generasi
muda. Jika ini tidak dilakukan dengan segera, maka momen yang bagus ini akan
hilang dengan sia-sia. Karena merekalah nantinya yang akan memimpin
Indonesia ini pada saat 2045, atau satu abad usia Indonesia Merdeka.
Takaran keberhasilan akan tampak di sana, karena ada semacam evaluasi sejarah
yang akan berjalan. Terus atau tenggelam, pecah apa bersatu, adalah parameter
yang tampak akan muncul di sana, dan semua itu adalah hasil kerja nyata kita
selama ini.
Menjadi
pertanyaan tersisa sekarang “bagaimana mengalirkan Pancasila ke urat nadi
mereka” sehingga bangsa ini tetap utuh dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia, seperti yang kita sama-sama perjuangkan ini.
Urusan
mengalirkan Pancasila Keurat nadi mereka jangan disalahartikan mengagamakan
Pancasila, akan tetapi sebagai peneguhan jati diri sebagai Orang Indonesia, itu
yang dimaksud. Dengan demikian tugas generasi sekarang menanamkan Merah Putih
dan Garuda Pancasila di dada setiap kaum muda Indonesia adalah kuwajiban suci
yang harus terus menerus dilakukan, jika tidak ingin Indonesia ini terpecah
atau tenggelam ditelan sejarah.
Bukti-bukti
sejarah masa lalu telah banyak membuktikan ; justru kehancuran suatunegara itu
terjadi antaralain adalah disumbang dari kesalahan pengelolaan generasi
penerus, oleh para pendahulunya. Pengelolaan disini memiliki arti yang sagat
luas; yaitu dari masalah pendidikan, penanaman ideologi, dan kesejahteraan dan
kepastian masa depan.
Para
pemimpin bangsa ini bisa saja memanggil mereka para diaspora untuk
kembali pulang ke Tanah Air; persoalannya adalah apakah kita secara sosial
sudah mempersiapkan tempat untuk mereka. Ruang-ruang sosial yang mereka
harapkan adalah ruang-ruang yang dapat memberikan kontribusi nyata kepada
negaranya. Tidak jarang mereka merasa teraasing di negerinya sendiri akibat
dari ketidak siapan kita menerima mereka. Jago-Jago ini memerlukan arena
gelanggang untuk berkiprah; oleh sebab itu ajakan pulang membangun negeri
tidaklah cukup menjadi penjamin secara sosial bagi mereka. Harus ada tindakan
nyata mereka akan diberdaayakan dimana, sebagai apa, dan apa hak dan
kuwajibannya.
Semoga
dalam menyikapi bonus demografi, Indonesia mampu menangkap moment ini untuk
mempersiapkan generasi muda yang lebih baik lagi. Karena pada waktunya nanti
anak-anak Indonesia secara fisik tidak ada di Indonesia, namun tautan cinta
tanah air menjadikan mereka tertambat pada Ibu Pertiwi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar