BANCAAN
Pada waktu kecil usia bermain di kampung-kampung Jawa ada semacam
kebiasaan pada waktu ada Ibu melahirkan,
maka keluarga itu akan membuat sedekah kecil yang diberi nama “bancaan” atau
juga sering disebut “among-among”. Peserta yang diundang adalah anak-anak kecil
usia balita. Adapun isi among-among atau bancaan tadi adalah nasi urap, telur
ayam rebus yang dipotong empat, kerupuk merah, dan sedikit ikan asin lalu
dibungkus daun jati atau daun pisang. Pada waktu itu rasanya nikmat sekali,
karena sesuai dengan usia yang suka bermain dan berkelompok, sehingga kalau ada
bancaan rasanya senang sekali.
Sesuai adat masyarakat Jawa yang sering melakukan upacara ritual dari
Pernikahan, Tujuhbulanan atau mitoni, lahiran, pupak puser sampai kematian,
akan selalu kenal dengan bancaan. Bahkan pada waktu itu setiap tahun pada
Kampung Jawa dikenal Sedekah Bumi yaitu ritual bersama sebagai bentuk rasa
syukur karena keberhasilan panen dan membersihkan sukerto (istilah dosa sosial)
yang ada dalam masyarakat. Konsep bancaan pada masyarakat ini seolah semacam
pembagian resiko sosial kemiskinan; dalam arti meratakan yang tidak rata. Atau
dengan kata lain membantuh orang sekalipun kita dalam keadaan perlu bantuan. Bancaan
merupakan simbiose mutualistik bagi orang desa dalam membagi resiko.
Konsep adiluhur itu sekarang berbalik 180 derajat dengan ditemukannya
Elektronik Kartu Tanda Penduduk ( E-KTP). Konsep Bancaan yang semula merupakan
kuwajiban sosial dalam pembagian resiko sosial, berubah menjadi mengambil hak
orang lain (baca: Rakyat) untuk memperkaya diri sendiri. Bisa dibayangkan jika
salah satu penikmat bancaan itu mencapai setengah triliyun. Penulis tidak mampu
membayangkan dengan gaji yang dimiliki sekarang untuk mencapai uang sebanyak
itu harus puasa berapa ratus tahun.
Barangkali para pelaku Bancaan E –KTP pada waktu kecil sering tidak
kebagian “bancaan” ; sehingga begitu dewasa masih berkelakuan anak balita. Bisa
jadi karena kecerdasannya; maka semua pengalaman sosial yang mengenakkan dimasa
kecil, ingin diulang terus menerus, termasuk pada waktu bancaan serakah selalu
minta lebih, sehingga waktu dewasa terbawa-bawa.
Ada sesuatu yang menarik dari peristiwa “Bancaan E-KTP” ; disamping
jumlah uang yang begitu fantastis, juga pelakunya adalah para petinggi negeri
ini yang sebenarnya memiliki kehidupan super kecukupan. Rasanya mereka memiliki
kekayaan untuk tujuh turunanpun belum habis; ternyata mereka tetap saja menjadi
peserta bancaan yang paling aktif.
Terlepas dari proses hukum yang sedang berjalan, dan upaya menolak
kesaksian persidangan; namun rakyat kecil sudah terlanjur disuguhi Drama
Bancaan E-KTP yang sangat menciderai hati nurani. Akibatnya akan membuat
masyarakat terbelah; Belahan Pertama; mereka menjadi ingin meniru dengan cara
berjuang melalui Partai Politik atau Birokrasi Pemerintahan, untuk kelak
kemudian hari ikut menjadi pemain. Prinsip
kelompok ini, mengapa mereka bisa saya tidak. Walau kelompok ini tidak secara
terang muncul kepermukaan; akan tetapi akan tetap ada karena mereka memiliki
Patron Sosial yang sudah terbentuk.
Belahan Kedua; mereka yang ingin menegakkan keadilan dengan memberikan
hukuman pemberatan yang maksimal sampai dengan hukuman mati bagi para pelaku
Kejahatan Bancaan. Walaupun terkesan utopis, namun kelompok ini sudah sering
muncul ditengah masyarakat, terutama dipelopori oleh teman-teman Lembaga Swadaya
Masyarakat.
Belahan Ketiga, mereka yang bersifat menunggu arus. Jika arus deras
melanda adalah gelombang pertama, mereka ini tidak segan-segan akan ikut, walau
dimulai dengan skala kecil, seperti menggelapkan Gaji orang lain, mengambil Hak
orang lain. Bahkan ada staf Dewan Terhormatpun tega memangkas haknya tenaga
ahli. Namun bila arus kuat yang datang kelompok ke dua, kelompok ini biasanya
paling lantang suaranya untuk ikut memberantas
penyimpangan sosial tadi. Kelompok ambigu ini tampaknya semakin besar
jumlahnya, dan ini membahayakan negara,
karena mereka akan menjadi kelompok pemberat sosial.
Ternyata peristiwa Bancaan E-KTP memiliki dampak daya rusak sosial yang
sangat tinggi dan masip; hal ini tidak banyak orang menjayadarinya. Peristiwa
ini bisa menjadi Patron Sosial Negatif pada generasi penerus. Karena setiap
mereka melihat Kartu Tanda Penduduk, maka yang akan terbersit adalah mega
korupsi, dan Stimulus Respon ini akan berlangsung minimal satu generasi.
Menjadi lebih berbahaya lagi jika ini menjadi main set, berawal dari seloroh
berujung menjadi serius.
Jika kita dekati dengan teori Permodelan, maka E-KTP akan membangun
model dalam pribadi orang yang melihat KTP. Dengan kata lain begitu seseorang
melihat KTP yang terbersit bagaimana cara mencontoh untuk dapat uang mudah
menggunakan KTP. Jika ini kemudian hari menjadi belife, maka akan membahayakan
tatanilai harmoni yang telah ada selama ini ditengah-tengah masyarakat.
Berdasarkan sudut pandang kajian teori manapun ternyata Bancaan E-KTP
memiliki daya rusak yang luar biasa. Begitu masifnya, walaupun tidak tampak
dipermukaan, akan tetapi berpusar kebawah dalam arti menuju lapis sosial bawah.
Peristiwa seperti ini sangat langka terjadi; dan jika ini terjadi yang
tertinggal adalah luka sosial yang sangat sulit disembuhkan. Orang akan mencibir sudah sebeginikah
parahnya negeri ini.
Peristiwa sosial serupa ini merupakan pengalaman sosial yang sangat
berharga bagi bangsa ini, kita semua diajak berfikir ulang untuk menentukan
formulasi mengelola negara. Ternyata dengan sistrm perwakilan melalui Dewan
Perwakilan, diperlukan kaji ulang sistem yang digunakan, Rakyat hampir setiap
hari disuguhi kelakuan wakilnya yang tidak sesuai dengan amanah yang diberikan.
Walaupun tetap saja ada pembelaan tidak semua berkelakuan demikian, namun perlu
diingat bahwa perwakilan itu bersifat kolektif kolegial, maknanya bahwa jika
satu saja melakukan perbuatan penyimpangan, maka semua mereka akan terkena
akibatnya.
Komentar-komentar dimedia sosial, media massa online berkenaan dengan
peristiwa ini sangat mengerikan. Hitungan-hitungan matematis yang disajikan
dengan membuat penyetaraan dari pembangunan Kereta Cepat, membeli Gerbong
Kereta KRL, semua menunjukkan angka fantastis. Bahkan gelar yang diberikan
berupa Mega Korupsi, menjadikan semakin berdiri bulu kuduk. Bahkan ada
mahasiswa yang berseloroh jika itu untuk membiayai SPP mahasiswa bisa
membebaskan SPP mahasiswa Pascasarjana se Indonesia.
Keadaan ini tidak selesai begini saja, apalagi kalau diserahkan kepada
regulasi hukum yang ada, mungkin Hukuman yang dijatuhkan baru memiliki kekuatan
hukum tetap nanti baru tahun 2022, dan jika itupun para pelakunya masih hidup.
Oleh sebab itu perlu ada semacam Mahkamah Luar Biasa untuk menngani kasus ini.
Belajar dari pengalaman Mahkamah Militer Luarbiasa (Mahmillub) dengan segala kelemahan dan kelebihannya,
bisa dijadikan rujukan agar segera muncul effek jera pada mereka yang punya
niat. Semoga Tuhan melindungi bangsa ini dari kehancuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar