Pada saat melihat kalender tertanggal 28 Maret ternyata berwarna merah,
mata nanar ke bawah melihat catatan kaki, ternyata tanggal tersebut adalah Hari
Raya Nyepi. Sepintas tidak ada yang aneh, akan tetapi lamunan melayang kepada
peristiwa beberapa tahun lalu, dimana saat itu salah satu orang dekat penulis
bernama Nengah menjadi tangan kanan penulis dalam menggerakkan roda kegiatan
akademik. Saat seperti ini beliau meminta ijin untuk tidak ngantor beberapa
hari guna mempersiapkan ubo rampe
menyambut Hari Raya Nyepi.
Sosok satu ini sangat perhatian dengan sesama teman sekalipun berbeda
keyakinan, sebagai contoh jika yang muslim mendapatkan Hadia Lebaran menjelang
Idul Fitri, maka mereka yang beragama Nasrani diberikan Hadiah Natal menjelang
Perayaan Natal 25 Desember, namun pada saat Hari Raya Nyepi, beliau tidak
memberikan apapun kepada teman yang beragama Hindu seperti dirinya. Begitu
ditanya, alasannya justru nyepi itu menjauhi semua urusan dunia.
Kata “Nyepi” sendiri dalam kontek bahasa adalah sunyi, senyap,
lenggang, tidak ada kegiatan. Hari Raya Nyepi yang merupakan Tahun Baru dari
saudara kita yang menganut Agama Hindu, memulai awal tahunnya dengan melakukan
kegiatan dengan tidak melakukan kegiatan apapun. Begitu saklarnya hari
tersebut; maka semua kegiatan kehidupan di Pulau Bali ditiadakan, bahkan
Bandara akan ditutup kecuali untuk kegiatan darurat.
Demikian juga halnya di Lampung, semua pemukiman saudara kita yang
beragama Hindu, khususnya saudara kita dari Bali, akan melakukan kegiatan yang
sama; yaitu melakukan “nyepi” dari seluruh kegiatan kehidupan selama satu hari
satu malam. Desa atau pemukiman merekapun dijaga “Pecalang” atau petugas adat
yang khusus menjaga ketentraman wilayahnya dan untuk mentaati ajaran Hindu.
Penulis tidak ingin masuk pada wilayah aqidah, karena bukan pada media
ini tempatnya, akan tetapi ada sisi menarik dari peristiwa Hari Raya Nyepi ini
dilihat dari perspektif sosiologis, dengan kacamata “keberagaman”, yang pada
akhir-akhir ini sering mulai terusik.
Provinsi Lampung yang sudah lama menerima warga lain dari luar daerah
bahkan luar pulau, merajut perbedaan dalam kebersamaan. Hari Besar agama apapun
yang diakui oleh negara, semua ada di Lampung, dan dapat berjalan sebagaimana
adanya. Kondisi harmoni seperti ini sudah sangat lama terjadi. Lalu yang
menjadi pertanyaan adalah apa kunci dari semua ini. Mengapa di Provinsi yang
beragam seperti ini tidak pernah terjadi benturan dalam penyelenggaraan
kegiatan keagamaan.
Kata kuncinya adalah sikap terbukanya masyarakat lampung terhadap
pendatang. Tidak peduli apa keyakinan mereka, sejauh mereka para pendatang mau
menghormati eksistensi dari para warga lampung; maka segala sesuatu dapat
dibicarakan. Sikap kesetaraan seperti ini memungkinkan proses pemahaman melalui
pertukaran nilai akan terjadi.
Sisi lain yang juga mendukung ialah pemukiman yang tidak bercampur
dengan perkampungan warga asli, justru kaum pendatang seolah-olah diberi hak
ulayat tersendiri secara otonom di suatu wilayah tertentu. Mereka bertumbuh dan
berkembang sesuai dengan hukum sosialnya masing-masing. Kondisi ini menciptakan
suasana interaksi setara; sehingga ada semacam rasa saling menjaga garis sosial
masing-masing.
Pada generasi pertama’ kedua dan ketiga tampaknya masih sangat terjaga;
namun begitu pada generasi keempat, seiring perkembangan kehidupan yang semakin
komplek, lahan semakin menyempit, jumlah penduduk semakin berlipat, hubungan
sosial tidak lagi harus berhadap muka secara langsung tetapi menggunakan media
yang bersifat masal dan masif, kondisi geopolitik yang semakin libral; maka
benturan sosial mudah sekali tersulut. Variabel pemicunya sangat bereragam.
Ada sesuatu yang berkembang kearah positif secara sosiologis sedang
berlangsung di Provinsi Lampung, yaitu pada generasi masa kini persoalan
primordial secara perlahan mulai terkikis. Kondisi ini terjadi karena disumbang
oleh tingginya amalgamasi yaitu pernikahan silang antarkelompok akibat dari
terbukanya interaksi yang terbangun. Semula konsep “kami” berorientasi pada
subetnik, sekarang melampaui wilayah itu dan lebih cenderung pada konsep
kepentingan bersama. Asimilasi dan akulturasi berjalan lambat tapi pasti dan
bahkan cenderung sempurna, oleh karena itu gejolak sosial di daerah ini
cenderung bersifat lokal, tidak menjadi masif.
Akibat lanjut toleransi akan tumbuh secara perlahan tapi pasti. Pada
acara-acara keagamaan bentuk toleransi ini begitu tampak. Pada acara Hari Raya
Nyepi seperti ini, warga non Hindu tidak akan mau melewati jalan desa dimana
warganya ada penganut Hindu, mereka tidak ingin mengusik saudaranya yang sedang
melakukan “hamati geni, hamati laku”. Bentuk toleransi yang begini pada
masyarakat Lampung berdasarkan penelusuran sejarah sudah lama terjadi. Bahkan
tidak ditemukan catatan “cawe-cawenya” pemerintah untuk mengatur, akan tetapi
murni kesadaran warga sendiri.
Keserasihan sosial ini dapat kita lihat bagaimana pasangan calon yang
maju pada pemilihan kepala daerah. Tampak sekali harmonisasi sosial yang
ditampilkan oleh para pelaku politik untuk mendulang suara didaerah pemilihan.
Jargon dan bahasa lokal menjadi dominan untuk membangkitkan sentimen politik.
Namun pada kenyataannya emosi sosial ini tidak dapat membendung pemilihan yang
berdasarkan variabel kekerabatan dan ikatan emosional.
Ternyata mosaik yang ditampilkan Lampung tampak begitu indah. Perayaan
keagamaan, termasuk didalamnya “Nyepi”, adalah bentuk dari “Pelangi dari
Lampung” yang tidak hanya elok dipandang, tetapi juga bisa dijadikan contoh. Keberagaman
serupa ini merupakan karunia keilahian yang luar biasa kekuatannya.
Namun demikian ada tugas yang belum selesai kita lakukan, salah satu
diantaranya ialah melakukan perawatan sosial terhadap mozaik sosial ini. Jika
ini tidak kita lakukan dengan disain yang baik dan kehati-hatian yang tinggi,
maka tidak jarang akan berubah menjadi thsunami sosial, dalam bentuk amok masa
yang tidak terbendung. Ingat kasus penghancuran patung di Kalianda, adalah
bentuk kitidak mampuan elite birokrasi memelihara keragaman yang ada di dalam
masyarakat.
Bisa juga dalam bentuk “Bungkam” yaitu sikap yang ditampilkan dengan
tidak menampakkan ekspresi. Jika ini terjadi maka yang muncul adalah sifat
apatisme sosial, dan ini juga membahayakan bagi keberlangsungan masyarakat,
karena anggotanya memilih untuk tidak melakukan apapun.
Semoga dengan semangat Hari Raya Nyepi ini kita mampu semakin tajam
melihat keberagaman yang ada di Provinsi Lampung. Dengan demikian kita akan
semakin menjadi arif menyikapi perbedaan yang ada diantara kita. Perbedaan itu
adalah sisi lain dari kesamaan, oleh karena itu keduanya tidak dapat kita
abaikan begitu saja, tetapi bagaimana mengelolanya menjadi kekuatan dahsyat
untuk membangun bangsa ini. Mata uang tidak akan memiliki harga jika hanya kita
melihat dari satu sisinya, akan menjadi bernilai jika kita mau menerima sisi
lain yang membuat pembeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar