Peristiwa
“Karangan” sastrawan Walmiki ini tidak menampilkan kata atau kalimat fulgar;
bahkan Cerita ini ditangan dalang Ki.Enthus yang suka kreatif itu, tidak pernah
berani memberikan kalimat fulgar. Kalimat-kalimat fulgar hanya Ki.Entus tempelkan
pada para Punakawan dan para Prajurit Rucah yang memang pantas dan layak
menggunakan kalimat atau diksi tertentu, tidak pada Raja, Satria, apalagi
Brahmana.Pada saat
Sidang Ujian Terbuka Seorang Promovendus dalam menjawab sanggahan penguji; sangat
lazim menggunakan diksi “Yang Sangat Terpelajar”. Diksi ini sepertinya bersifat
khususon diucapkan saat Ujian Terbuka saja, tidak pada acara formal lainnya.
Beberapa Kampus di Indonesia pengalaman penulis menguji Kandidat Doktor masih
menggunakan diksi tersebut.Semua contoh
di atas tidak perlu perlindungan Undang-Undang; bahkan dilanggarpun tidak ada
yang bakal melaporkan ke Polisi atas perbuatan tidak menyenangkan. Namun
menjadi berbeda saat melekat kepada Anggota Dewan yang dipilih rakyat, yang memiliki
perlindungan imunitas oleh Undang Undang, mereka seolah olah dapat berkata dan
berbuat apa saja, bahkan melanggar etika kepatutanpun tidak menjadi persoalan,
bahkan tidak jarang malah dianggap wajar.Kalau kita
telusuri bahwa norma dan etika adalah aras paling tinggi sebagai sarana
mengatur perilaku. Pada tataran ini tidak peduli apakah dia Profesor, Anggota
Legeslatif, Eksekutif, Yudikatif, Pengusaha, Orang biasa, bahkan Preman
sekalipun, mereka harus mematuhi norma dan etika yang berada pada sistem sosial
komunitasnya. Bahkan para Narapidanapun di dalam penjara memiliki etika dan
norma yang harus dipatuhi oleh sesama mereka.Sebagai
contoh sederhana, buang angin itu adalah menyehatkan, namun jangan coba-coba anda
buang angin saat berhadapan dengan orang tua anda, mertua anda, atau pada
pasamuan agung. Jika itu anda lakukan, maka anda akan dibathin orang anda
termasuk tidak beradab. Dengan alasan apapun anda membela diri bahwa buang
angin itu hak azazi; namun tetap saja masyarakat sekitar akan mengecap anda
sebagai orang yang tidak terdidik.Kita bisa
membayangkan jika seorang anggota parlemen yang sering disebut Yang Saya
Mulyakan, atau paling tidak Yang Saya Hormati, menggunakan diksi yang tidak
patut pada acara formal resmi kenegaraan, dalam menanggapi lawan bicara.
Sungguh diluar nalar kelaziman manusia beradab.Seorang Guru
Besar yang memiliki kebebasan mimbar akademik untuk mengatakan apa saja demi
ilmu yang ilmiah; tetap saja harus memilih diksi yang tepat untuk mahasiswanya;
sekalipun mahasiswanya itu lebih patut disebut Cucu; namun Sang Guru Besar
tetap terikat norma dan etika untuk memilih diksi yang tepat, sekalipun mungkin
saat itu sang Guru Besar sedang marah kepada mahasiswanya.Alasan
pembenaran dengan berlindung pada Bahasa Politik atau Bahasa Tarzan sekalipun
yang namanya manusia tetap memiliki etika sopan santun dan tata krama. Kata
“Kamu” untuk satu komunitas kaum di Sumatera selatan sebagai kata penghormatan
kepada orang yang lebih tua, termasuk orang tua dan mertua. Namun penutur itu
tidak akan menggunakan diksi tersebut manakala berhadapan dengan kelompok atau
orang diluar komunitasnya, karena mereka menyadari wilayah budaya penggunaan
diksi tadi.Tidaklah
salah jika diusulkan bahwa untuk para anggota terhormat, baik eksekutif,
legeslatif yang yudikatif, sebelum memangku jabatan publik sewajarnya mengikuti
Kursus Kepribadian terlebih dahulu. Mengingat tuntutan masyarakat akan
kesempurnaan semakin hari semakin tinggi.
Perilaku
santun, etis dan bahkan estetis tidak ada hubungan langsung dengan Demokrasi.
Jangan dimaknai bahwa semakin santun seseorang maka perilakunya semakin tidak
demokratis. Kesesatan berfikir serupa ini sangat membahayakan. Kita menghormati
hak orang untuk bicara, walaupun kita tidak menyukai cara bicaranya. Karena
cara bicara sangat erat kaitannya dengan norma tata krama.
Pelajaran
Budi Pekerti yang tahun 60 an diberikan di Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah
Dasar), ternyata sangat Indonesia; karena diinspirasi oleh Sistem Pembelajaran
yang digagas oleh Ky Hajar Dewantara.; Walaupun sistem itu mungkin sudah usang
dan tidak sesuai tuntutan jaman, namun jejak jejak nya masih kita dapat lihat
sampai sekarang. Parah sepuh yang ikut antri memberikan ucapan selamat pada
satu acara, banyak yang menolak halus fasilitas untuk memotong barisan. Tidak
mau memotong antrian dokter saat harus berobat di satu pelayanan kesehatan.
Buya Syafei Maarif sampai hari ini tidak mau menggunakan fasilitas yang
melebihi kapasitasnya. Bandingkan baru menjadi Bupati jika jalan sudah harus
pakai sirine yang memekakkan telinga minta pelayanan lebih pada masyarakat yang
seharusnya dilayaninya.Puncaknya
perilaku yang ditampilkan oleh wakil kita di Senayan adalah puncak untuk
berfikir ulang dalam memilih wakil kita, mengingat wakil itu adalah representasi
dari yang diwakili. Oleh sebab itu evaluasi ulang kepada kita semua untuk
menentukan pilihan manakala waktunya nanti tiba. Jangan sampai alasan demokrasi
untuk digunakan melakukan apa saja dan mengesahkan siapa saja untuk berbuat apa
saja.Kesesatan
berfikir dalam memaknai kebebasan adalah juga merupakan kesalahan berfikir;
oleh sebab itu dalam menentukan pilihan yang menyangkut orang atau sistem,
harus dilakukan dengan pertimbangan yang cermat, bukan sesaat, apalagi sesat.Kesantunan
berbahasa menunjukkan ketinggian budi, yang merupakan petuah generasi masa
lalu; masih tepat dijadikan parameter untuk saat ini. Mungkin sudah tidak
jamannya membungkukkan kepala atau badan untuk bahasa badan dalam penghormatan;
namun diksi sebagai pilihan kata dalam berbahasa; masih menjadi ukuran
ketinggian budi seseorang.Sebelum
terlambat sudah seharusnya dari sekarang seluruh masyarakat wajib mencermati
para wakilnya yang pada waktunya nanti akan dipilih mewakili kita semua, untuk
duduk di tempat-tempat yang harus mewakili aspirasi kita; Pemimpin yang amanah
adalah mereka yang juga pandai menjaga lisannya. Dan jangan tertipu dengan
sandiwara panggung yang mereka gelar, saat mencalon bermanis muka, saat jadi
lupa segalanya.Tidak ada
mahluk sempurna dimuka bumi ini, namun yang kita cari adalah mereka yang sadar
akan ketidaksempurnaannya, sehingga terus dan terus berusaha untuk memperbaiki
diri menuju kepada kesempurnaan jati. Tidak membiarkan diri larut pada
ketidaksempurnaannya, sehingga bisa mengecewakan kita semua.
Orang yang
kita pilih untuk mengemban amanat kita, kita gaji dari pajak yang kita setor
kepada negara, sudah selayaknya tidak hanya bekerja baik, tetapi juga berkata
santun. Sebgai orang timur yang masih menjunjung tinggi kesopanan dan etika;
maka tidaklah salah manakala kita memberi persyaratan akan tegaknya kejujuran
dan nilai moral yang tinggi kepada para wakil yang kita pilih. x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar