Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Rabu, 26 September 2018

BEDA PILIHAN, GURU DITENDANG


 BEDA PILIHAN, GURU DITENDANG
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila
Tulisan ini tidak bermaksud memihak atau berpihak kepada kelompok atau golongan apalagi partai. Tetapi ingin mengungkapkan rasa keprihatinan terhadap teman seprofesi yaitu GURU; oleh karena itu sebelum membaca artikel ini mohon dijauhkan perasaan kebencian terhadap perbedaan; tetapi berfikir positif bahwa perbedaan itu adalah sunatullah.
Menilik profesi yang satu ini memang unik dan seksi; disebut unik karena mulai beberapa tahun terakhir untuk menjadi guru tidaklah mudah; sekalipun Sarjana Pendidikan; tidak otomatis bisa langsung bisa berdiri dimuka kelas dengan menyandang status guru. Karena untuk menyandang status guru, seseorang harus melalui Pendidikan Profesi Guru, atau lebih dikenal dengan sebutan PPG.  Untuk masuk ke pendidikan Profesi Guru tidak hanya dimonopoli oleh Sarjana Pendidikan, Sarjanan Non Kependidikan pun dapat masuk ke Pendidikan Profesi Guru, tentu dengan syarat-syarat tertentu.  


Disebut seksi karena seluruh program studi di Fakultas ini tidak pernah mengalami penurunan peminat; bahkan sepuluh tahun terakhir dengan adanya program sertifikasi, program studi yang ada memiliki lonjakan peminat yang luar biasa; bahkan untuk program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, dan Pendidikan Bahasa Inggris mengalami booming ; baik Program Sarjana maupun Pascasarjana. Pengelola program yang berfikir kualitas, saat inilah mereka meningkatkan kualitas masukan dengan memasang standar tinggi; namun bagi mereka yang berfikir aportunis, justru kesempatan ini digunakan menerima calon sebanyak-banyaknya demi perhitungan bisnis, dengan berlindung pada slogan pemerataan pendidikan. Justru yang ironis adalah pengangkatan dosen untuk Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan berbanding terbalik dengan jumlah peminat mahasiswanya. Diperkirakan pada tahun 2020 Fakultas-Fakultas Kependidikan di Indonesia (terutama PTN) akan terjadi pengurangan jumlah dosen sampai 40% karena pensiun, sementara jumlah pengangkatan tidak mencapai satu persen pertahunnya.
Bagi mereka yang sudah menyelesaikan pendidikan, lapangan pekerjaan sudah menunggu;  Jika beruntung, mereka dapat menjadi Pegawai Negeri Sipil; namun tidak menutup kemungkinan mereka menjadi tenaga pengajar di Perguruan Swasta. Pendapatanpun mereka rerata masih relatif cukup baik, jika dikonversi dengan jam kerja mereka; namun jika diequivalenkan dengan Standar Minimal Penghasilan di daerah mereka bertugas, pada umumnya pendapatan mereka jauh di bawah standar itu; terutama yang bertugas di perguruan swasta.
Ada fenomena pengiring dari peristiwa di atas yaitu rerata kemampuan akademik calon yang memilih Program Studi di Fakultas ini cukup baik; terutama di Perguruan Tinggi yang menjaga kualitas; karena calon-calon unggullah yang rata-rata lulus tes masuk pada program yang ada; sehingga berdampak pada lulusan. Hal lain ialah kemampuan penguasaan teknologi informasi; rerata pemilih program studi pada Fakultas  ini juga diatas rerata selama ini. Jika lima belas atau dua puluh tahun lalu mahasiswa yang ada di Fakultas ini kebanyakan memilih sebagai pilihan ketiga; justru sekarang mereka merupakan pemilih pertama; sehingga bibit-bibit unggul bertebaran di sana.
Dampak lanjut dari semua hal di atas adalah para alumninya di samping memiliki kemampuan akademik yang baik; juga memiliki kemampuan penguasaan teknologi informasi juga baik. Oleh karena itu tidak mengejutkan jika mereka setelah menjadi guru kemudian memiliki kesadaran yang tinggi akan hak-hak politik personal, dan hak-hak personal lainnya, dan jika ini disentuh secara sengaja atau tidak sengaja; maka reaksi yang akan munculpun dengan cepat mereka tampilkan.
Kasus pemecatan Guru karena beda pilihan melalui Gaget, yang kemudian viral dan mendapatkan perhatian khusus; hal itu tidak terlepas dari bagaimana latar belakang guru itu dalam proses pembelajaran sebelumnya. Image yang masih terbangun ditengah masyarakat terhadap guru selama ini; ternyata sudah mengalami pergeseran yang luar biasa. Apakah pergeseran itu bernilai positif atau negatif, tergantung dari epistemologi dan axiologi yang kita pakai untuk melakukan justifikasi pada fenomena tadi.
Pandangan selama ini yang mempersepsikan dan atau memposisikan Pendidikan Guru adalah untuk wong ndeso; ternyata hal itu sudah jauh bergeser; karena kualitas input rerata mereka dan kepeminatan secara reratapun cukup tersebar disemua kalangan,  dan wilayah. Sebagai contoh kecil dan mungkin tidak begitu mewakili; halaman pakir Fakultas ini sudah benyak sekali kendaraan roda empat dengan kelas atas yang nangkring di sana, belum lagi kendaraan bermotor roda dua, sudah menjadi penghias halaman dan cenderung berdesakan. Semua itu tidak pernah terjadi pada era sembilan puluhan ke bawah.
Karena tamatan Pendidikan Guru sekarang menyebar di Sekolah Swasta maupun Negeri, yang pada umumnya telah menguasai perangkat lunak  dengan baik. Maka tidak jarang mereka saat ini telah melakukan inovasi-inovasi pembelajaran dengan menggunakan perangkat teknologi. Sehingga pembelajaran menjadi mudah dan dapat di sajikan dengan baik. Ini dapat kita lihat pada Program You tube, di sana bertebaran karya-karya inovasi pembelajaran yang telah dibuat oleh para guru.
Adapun persoalan perbedaan sikap politik; memang mereka sudah terbiasa pada kehidupan kampus jaman Now  yang selalu mengedepankan kesetaraan dan egaliter. Pada kehidupan kampus masa sekarang unsur keseragaman menjadi sesuatu yang mustahil; justru yang hidup subur adalah keberagaman. Keseragaman hanya tinggal pada warna dan disain baju mereka, itupun hasil kesepakatan antarmereka.
Oleh sebab itu jika mereka setelah tamat dan bekerja; paham pikiran keberagaman dalam kebersamaan adalah sesuatu yang biasa saja. Oleh karenanya manakala mereka mendapatkan sesuatu yang tidak sejalan dengan konsep hidupnya, tidak segan-segan mereka akan bereaksi. Reaksi tersebut dapat melalui media masa apapun. Sehingga peristiwa memecat mereka karena tidak sejalur pemikiran dengan atasan atau yayasan tempat bekerja; reaksi resain atau keluar dari tempat bekerja; itu adalah keputusan yang sering kita jumpai (juga pada bidang lain). Hal ini terjadi karena mereka berfikir merdeka.
Sikap dan sifat reaktif yang menjadi ciri generasi ini tidak bisa kita patahkan dengan argumentasi yang memfonis mereka begitu saja, tanpa kita memahami jalan berfikir mereka. Apalagi argumentasi-argumentasi yang sifatnya menafikan mereka. Jelas yang akan muncul adalah sikap dan sifat kekenyalan yang makin menjadi. Tidak menutup kemungkinan mereka akan menolak diajak berdamai; karena sifat bawaan kekenyalan sikap dan sifat yang terbangun akibat relasi sosial nyata maupun senyap yang mereka bangun antarsesama mereka.
Pembelajaran dari Pilkada yang baru lalu banyak yang kita peroleh; salah satunya adalah apa yang menjadi topik tulisan ini. Bagi mereka yang berkeinginan untuk meraih simpati kelompok apung ini, tidaklah mudah. Karena ideologi mereka sangat cair; pilihan yang mereka jatuhkan sulit untuk diprediksi. Mereka tidak berideologi pengarustamaan, akan tetapi lebih kepada personal.
Kelompok ini tidak tertarik pada kelompok bersimbol; bahkan bagi mereka yang sudah masuk pada simbol tertentu; akan dengan mudah berganti simbol ditengah perjalanan; manakala dalam pilihan tadi mereka tidak menemukan sosok pigur pilihan anutan mereka.  Hal ini bisa kita lihat kelompok-kelompok muda tidak dengan mudah menjadi anak manis ikut kata yang lebih tua.
Oleh sebab itu Guru jaman Now sekarang ini sangat sulit untuk diikat dengan organisasi-organisasi besar yang sudah ada selama ini. Mereka lebih berkecendeerungan untuk berbuat merdeka dalam berkreasi. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi organisasi organisasi Guru yang telah ada selama ini; karena jika tidak memahami gerak arus ini, tidak menutup kemungkinan pada masa yang akan datang Organisasi-Organisasi Guru yang telah ada ini akan mengalami kendala dalam kaderisaasinya.
Jaman sudah berubah, kalau dulu Guru bisa diatur dengan satu lambang, dan jika tidak mau menerima lambang tadi akan mendapatkan sanksi. Bahkan Guru pada masa itu dijadikan mesin politik saat pemilihan apapun namanya. meninggalkan kelas demi tugas yang diberikan oleh penguasa lambang, mereka harus lakukan. Sekarang semua tinggal kenangan dan sejarah saja. Era kini Guru bisa bebas memilih bahkan menjatuhkan pilihan untuk tidak memilihpun bagi mereka bukan sesuatu keganjilan.
Semoga pesan moral yang ada dari peristiwa pemecatan pada Guru karena beda pilihan; dapat ditangkap oleh semua kita dengan arif bijaksana. Kesadaran berdemokrasi dengan salah satu cirinya mengakui keberagaman dalam pilihan, adalah sesuatu yang bukan dosa. Untuk menyadarkan kita semua bahwa guna menunjukkan keESAAN dari Sang Maha Pencipta justru dari keragaman ciptaannya.
Perjalanan bangsa ini masih jauh; sementara sekat-sekat diantara kita makin tidak ada; jika hal ini kita sikapi dengan mengeliminasi diri, maka keterasingan yang akan kita peroleh. Namun jika kita sikapi dengan membangun silaturahmi dan tabayun; maka kekuatan dahsyat yang akan kita tuwai.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar