BEDA PILIHAN, GURU DITENDANG
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila
Tulisan ini tidak bermaksud memihak atau
berpihak kepada kelompok atau golongan apalagi partai. Tetapi ingin
mengungkapkan rasa keprihatinan terhadap teman seprofesi yaitu GURU; oleh
karena itu sebelum membaca artikel ini mohon dijauhkan perasaan kebencian
terhadap perbedaan; tetapi berfikir positif bahwa perbedaan itu adalah
sunatullah.
Menilik profesi yang satu ini memang unik
dan seksi; disebut unik karena mulai beberapa tahun terakhir untuk menjadi guru
tidaklah mudah; sekalipun Sarjana Pendidikan; tidak otomatis bisa langsung bisa
berdiri dimuka kelas dengan menyandang status guru. Karena untuk menyandang
status guru, seseorang harus melalui Pendidikan Profesi Guru, atau lebih dikenal
dengan sebutan PPG. Untuk masuk ke
pendidikan Profesi Guru tidak hanya dimonopoli oleh Sarjana Pendidikan,
Sarjanan Non Kependidikan pun dapat masuk ke Pendidikan Profesi Guru, tentu
dengan syarat-syarat tertentu.
Disebut seksi karena seluruh program studi
di Fakultas ini tidak pernah mengalami penurunan peminat; bahkan sepuluh tahun
terakhir dengan adanya program sertifikasi, program studi yang ada memiliki
lonjakan peminat yang luar biasa; bahkan untuk program studi Pendidikan Guru
Sekolah Dasar, dan Pendidikan Bahasa Inggris mengalami booming ; baik Program
Sarjana maupun Pascasarjana. Pengelola program yang berfikir kualitas, saat
inilah mereka meningkatkan kualitas masukan dengan memasang standar tinggi;
namun bagi mereka yang berfikir aportunis, justru kesempatan ini digunakan
menerima calon sebanyak-banyaknya demi perhitungan bisnis, dengan berlindung
pada slogan pemerataan pendidikan. Justru yang ironis adalah pengangkatan dosen
untuk Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan berbanding terbalik dengan jumlah
peminat mahasiswanya. Diperkirakan pada tahun 2020 Fakultas-Fakultas
Kependidikan di Indonesia (terutama PTN) akan terjadi pengurangan jumlah dosen
sampai 40% karena pensiun, sementara jumlah pengangkatan tidak mencapai satu
persen pertahunnya.
Bagi mereka yang sudah menyelesaikan
pendidikan, lapangan pekerjaan sudah menunggu;
Jika beruntung, mereka dapat menjadi Pegawai Negeri Sipil; namun tidak
menutup kemungkinan mereka menjadi tenaga pengajar di Perguruan Swasta.
Pendapatanpun mereka rerata masih relatif cukup baik, jika dikonversi dengan
jam kerja mereka; namun jika diequivalenkan dengan Standar Minimal Penghasilan
di daerah mereka bertugas, pada umumnya pendapatan mereka jauh di bawah standar
itu; terutama yang bertugas di perguruan swasta.
Ada fenomena pengiring dari peristiwa di
atas yaitu rerata kemampuan akademik calon yang memilih Program Studi di
Fakultas ini cukup baik; terutama di Perguruan Tinggi yang menjaga kualitas; karena
calon-calon unggullah yang rata-rata lulus tes masuk pada program yang ada;
sehingga berdampak pada lulusan. Hal lain ialah kemampuan penguasaan teknologi
informasi; rerata pemilih program studi pada Fakultas ini juga diatas rerata selama ini. Jika lima
belas atau dua puluh tahun lalu mahasiswa yang ada di Fakultas ini kebanyakan
memilih sebagai pilihan ketiga; justru sekarang mereka merupakan pemilih
pertama; sehingga bibit-bibit unggul bertebaran di sana.
Dampak lanjut dari semua hal di atas adalah
para alumninya di samping memiliki kemampuan akademik yang baik; juga memiliki
kemampuan penguasaan teknologi informasi juga baik. Oleh karena itu tidak
mengejutkan jika mereka setelah menjadi guru kemudian memiliki kesadaran yang
tinggi akan hak-hak politik personal, dan hak-hak personal lainnya, dan jika
ini disentuh secara sengaja atau tidak sengaja; maka reaksi yang akan munculpun
dengan cepat mereka tampilkan.
Kasus pemecatan Guru karena beda pilihan
melalui Gaget, yang kemudian viral dan mendapatkan perhatian khusus; hal itu
tidak terlepas dari bagaimana latar belakang guru itu dalam proses pembelajaran
sebelumnya. Image yang masih terbangun ditengah masyarakat terhadap guru selama
ini; ternyata sudah mengalami pergeseran yang luar biasa. Apakah pergeseran itu
bernilai positif atau negatif, tergantung dari epistemologi dan axiologi yang
kita pakai untuk melakukan justifikasi pada fenomena tadi.
Pandangan selama ini yang mempersepsikan
dan atau memposisikan Pendidikan Guru adalah untuk wong ndeso; ternyata hal itu
sudah jauh bergeser; karena kualitas input rerata mereka dan kepeminatan secara
reratapun cukup tersebar disemua kalangan,
dan wilayah. Sebagai contoh kecil dan mungkin tidak begitu mewakili;
halaman pakir Fakultas ini sudah benyak sekali kendaraan roda empat dengan
kelas atas yang nangkring di sana, belum lagi kendaraan bermotor roda dua,
sudah menjadi penghias halaman dan cenderung berdesakan. Semua itu tidak pernah
terjadi pada era sembilan puluhan ke bawah.
Karena tamatan Pendidikan Guru sekarang
menyebar di Sekolah Swasta maupun Negeri, yang pada umumnya telah menguasai
perangkat lunak dengan baik. Maka tidak
jarang mereka saat ini telah melakukan inovasi-inovasi pembelajaran dengan
menggunakan perangkat teknologi. Sehingga pembelajaran menjadi mudah dan dapat
di sajikan dengan baik. Ini dapat kita lihat pada Program You tube, di sana
bertebaran karya-karya inovasi pembelajaran yang telah dibuat oleh para guru.
Adapun persoalan perbedaan sikap politik;
memang mereka sudah terbiasa pada kehidupan kampus jaman Now yang selalu
mengedepankan kesetaraan dan egaliter. Pada kehidupan kampus masa sekarang
unsur keseragaman menjadi sesuatu yang mustahil; justru yang hidup subur adalah
keberagaman. Keseragaman hanya tinggal pada warna dan disain baju mereka,
itupun hasil kesepakatan antarmereka.
Oleh sebab itu jika mereka setelah tamat
dan bekerja; paham pikiran keberagaman dalam kebersamaan adalah sesuatu yang
biasa saja. Oleh karenanya manakala mereka mendapatkan sesuatu yang tidak
sejalan dengan konsep hidupnya, tidak segan-segan mereka akan bereaksi. Reaksi
tersebut dapat melalui media masa apapun. Sehingga peristiwa memecat mereka
karena tidak sejalur pemikiran dengan atasan atau yayasan tempat bekerja;
reaksi resain atau keluar dari tempat
bekerja; itu adalah keputusan yang sering kita jumpai (juga pada bidang lain).
Hal ini terjadi karena mereka berfikir merdeka.
Sikap dan sifat reaktif yang menjadi ciri
generasi ini tidak bisa kita patahkan dengan argumentasi yang memfonis mereka
begitu saja, tanpa kita memahami jalan berfikir mereka. Apalagi
argumentasi-argumentasi yang sifatnya menafikan mereka. Jelas yang akan muncul
adalah sikap dan sifat kekenyalan yang makin menjadi. Tidak menutup kemungkinan
mereka akan menolak diajak berdamai; karena sifat bawaan kekenyalan sikap dan
sifat yang terbangun akibat relasi sosial nyata maupun senyap yang mereka
bangun antarsesama mereka.
Pembelajaran dari Pilkada yang baru lalu
banyak yang kita peroleh; salah satunya adalah apa yang menjadi topik tulisan
ini. Bagi mereka yang berkeinginan untuk meraih simpati kelompok apung ini,
tidaklah mudah. Karena ideologi mereka sangat cair; pilihan yang mereka
jatuhkan sulit untuk diprediksi. Mereka tidak berideologi pengarustamaan, akan
tetapi lebih kepada personal.
Kelompok ini tidak tertarik pada kelompok
bersimbol; bahkan bagi mereka yang sudah masuk pada simbol tertentu; akan
dengan mudah berganti simbol ditengah perjalanan; manakala dalam pilihan tadi
mereka tidak menemukan sosok pigur pilihan anutan mereka. Hal ini bisa kita lihat kelompok-kelompok muda
tidak dengan mudah menjadi anak manis ikut kata yang lebih tua.
Oleh sebab itu Guru jaman Now sekarang ini sangat sulit untuk
diikat dengan organisasi-organisasi besar yang sudah ada selama ini. Mereka
lebih berkecendeerungan untuk berbuat merdeka dalam berkreasi. Hal ini tentu
menjadi tantangan tersendiri bagi organisasi organisasi Guru yang telah ada
selama ini; karena jika tidak memahami gerak arus ini, tidak menutup
kemungkinan pada masa yang akan datang Organisasi-Organisasi Guru yang telah
ada ini akan mengalami kendala dalam kaderisaasinya.
Jaman sudah berubah, kalau dulu Guru bisa
diatur dengan satu lambang, dan jika tidak mau menerima lambang tadi akan
mendapatkan sanksi. Bahkan Guru pada masa itu dijadikan mesin politik saat
pemilihan apapun namanya. meninggalkan kelas demi tugas yang diberikan oleh
penguasa lambang, mereka harus lakukan. Sekarang semua tinggal kenangan dan
sejarah saja. Era kini Guru bisa bebas memilih bahkan menjatuhkan pilihan untuk
tidak memilihpun bagi mereka bukan sesuatu keganjilan.
Semoga pesan moral yang ada dari peristiwa
pemecatan pada Guru karena beda pilihan; dapat ditangkap oleh semua kita dengan
arif bijaksana. Kesadaran berdemokrasi dengan salah satu cirinya mengakui
keberagaman dalam pilihan, adalah sesuatu yang bukan dosa. Untuk menyadarkan
kita semua bahwa guna menunjukkan keESAAN dari Sang Maha Pencipta justru dari
keragaman ciptaannya.
Perjalanan bangsa ini masih jauh; sementara
sekat-sekat diantara kita makin tidak ada; jika hal ini kita sikapi dengan
mengeliminasi diri, maka keterasingan yang akan kita peroleh. Namun jika kita
sikapi dengan membangun silaturahmi dan tabayun; maka kekuatan dahsyat yang
akan kita tuwai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar