Oleh Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila
Beberapa wktu lalu masyarakat Indonesia di
guncang peristiwa dahsyat dengan adanya
peristiwa “pemberontakan tahanan “di Markas Brimob Kelapa Dua Jakarta,
dan disusul dengan ledakan yang lebih mengerikan di Kota Pahlawan Surabaya;
kemudian peristiwa Riau. Berita ini menjadi treding di tinkat dunia; hampir
semua media warta di jagad ini memberitakannya. Indonesia yang selama ini
dikenal dengan Negara yang aman karena toleran, tetapi akhir-akhir ini seolah
terusik dengan peristiwa yang tidak diinginkan.
Tampaknya bahwa kedukaan yang mendalam
sedang melanda Indonesia. Putra-putra terbaiknya dieksekusi dirumah sendiri,
kemudian ada yang melanjutkan dengan meledakkan diri agar ledakannya membawa
korban orang lain yang tidak ada hubungan apapun dengan dirinya. Bahkan apa
dosa merekapun tidak ada yang tau sehingga harus menanggung ikut diledakkan.
Berdasarkan asumsi akademis yang belum
melalui penelitian mendalam, tampaknya di dalam masyarakat ada sekelompok kecil
semacam “virus Sosial” yang hidup
karena anomali sosial. Kehidupan ini disuburkan oleh kondisi sosial, ekonomi,
dan pribadi yang berkelindan, sehingga membentuk kepribadian eksklusif pada
pelaku sosial. Ini dapat kita simak dari beberapa temuan dilapangan bahwa
mereka yang telibat terorisme ternyata memiliki kepribadian yang agak berbeda
dari rerata orang disekitarnya atau pada umumnya.
Namun hal itu tidak begitu menarik untuk
didiskusikan di ruang publik karena pendekatan akademis harus begitu kental
ditegakkan untuk membedah dan menganalisis perilaku menyimpang individual
tersebut. Akan tetapi yang justru menarik adalah keragaman perilaku yang
ditampilkan oleh banyak orang dalam melihat atau merespon rangkaian
peristiwanya.
Kenapa terkategori keragaman; karena tega
memberikan penilaian-penilaian yang berada dari spektrum negatif sampai positif,
bahkan ada yang cenderung skeptis; padahal kita melihat dan membaca berita
bagaimana rangkaian Mako Brimob, Surabaya, Sidoarjo, Palembang, dan Riau. Garis
linier itu tampak sekali bagaimana cel virus itu sudah lama ada tetapi kita
sibuk dengan urusan yang belum jelas maknanya, dan mengorbankan kewaspadaan.
Sementara kejadian terjadi kita mencari kambing hitam yang ada diantara domba
hitam.
Gerak sosial seperti ini tampaknya perlu
ada perenungan kembali untuk apa sebenarnya kita bernegara, kemudian negara ini
dibentuk untuk apa dan oleh siapa saja. Kesepakatan sosial membentuk negara
salah satu cirinya adalah harus mengabaikan perbedaan individual, apalagi golongan,
untuk mewujudkan cita-cita bersama.
Proses desiminasi yang panjang dan
menyejarah, telah dijalani oleh “Indonesia”, dan itu terus-dan terus berjalan
yang tidak mungkin dapat dibendung. Persoalan sekarang adalah bagaimana kita
merawat perjalanan sejarah itu agar tidak menyimpang dari tujuan semula
dibentuknya negara ini oleh para pendahulu.
Atas dasar semangat itu maka Bom bunuh diri
yang dilakukan oleh segelintir orang yang tidak bertangungjawab; adalah
merupakan upaya menafikan sejarah terbentuknya negara ini. Bahkan bisa jadi
para pelaku tadi tidak pernah membaca sejarah BPUPKI yang bagaimana bergumul
menyatukan pendapat ditengah perbedaan, agar pada akhirnya terbentuklah suatu
negara. Bagaimana jiwa besar kelompok relegius untuk legowo menerima naskah
akhir dari Proklamasi ditulis dan dikumandangkan.
Pada tahun 2009 penulis pernah mengingatkan
melalui harian ini dengan tulisan berjudul “Ledakan itu bernama Bom”. Bahwa
disesalkan ada kelompok elite yang memanfaatkan untuk menjadikan panggung bagi
dirinya di atas penderitaan orang lain. Ternyata sembilan tahun kemudian
pencari panggung ini makin ramai. Kita seolah lupa dengan para korban yang tak
berdosa atas adanya Bom, bahkan tega melemparkan pernyataan-pernyataan baik
langsung maupun melalui media sosial, dengan kalimat-kalimat yang jauh dari
santun, bahkan cenderung menyakitkan, terutama untuk para korban dan keluarga.
Peristiwa ledakan Bom dijadikan tungku
penggorengan bagi sesama kita. Kita abai bagaimana nasib keluarga korban yang
ditinggalkan. Upaya apa yang harus dilakukan agar keluarga yang ditinggalkan
dapat tabah menjalani hidup ini dengan tanpa orang yang selama ini menjadi
sokoguru keluarga. Kita seolah-olah telah menjadi lebih tidak berkemanusiaan
dibandingkan pengebomnya karena kita abai
dengan saudara-saudara kita yang telah menjadi korban.
Nafsu berburuk sangka pada sesama menjadi
seolah makanan sehari hari, yang kita munculkan tanpa melihat waktu dan tempat.
Kita seolah lupa ada kuasa Adi Kodratti yang Maha Mengatur dunia ini dan isinya.
Demi orang yang kita agung-agungkan, kita tega untuk menjadikan mesiu dari
adanya peristiwa yang membawa korban jiwa tanpa dosa, untuk hanya sekedar
memuaskan labido berkuasa kita.
Untuk itu ada beberapa hal seharusnya kita
lakukan: pertama, bahwa ledakan aksi bom bunuh diri itu adalah musuh bersama
bangsa ini. Hal itu bukan hanya musuh agama tertentu atau golongan tertentu,
akan tetapi musuh bangsa Indonesia dari Sabang sampai Marauke.
Kedua, memahamkan bahwa pelaku bom bunuh
diri itu adalah ajaran sesat yang diajarkan oleh orang yang tidak
bertanggungjawab. Oleh sebab itu pengajurnya bisa dikategorikan merupakan
kejahatan kemanusiaan. Pemahaman ini harus diberikan kepada semua elemen
masyarakat dan disebarkan secara masif, sehingga menjadi sistem nilai.
Ketiga, janganlah kita berkomentar atau
berucap justru membuat keluarga korban menjadi semakin menderita secara sosial
dan finansial. Sebaiknya ada upaya yang terlembaga bagaimana memberikan bantuan
kepada keluarga korban yang tidak berdosa harus menanggung derita sepanjang
hayat.
Keempat, kepada politisi atau siapapun
anda, mohon untuk jangan memanfaatkan atau mengeksplotasi derita keluarga
korban untuk kepentingan amunisi labido berkuasa yang anda miliki. Coba anda
bayangkan bagaimana jika kondisi ini menimpa keluarga anda, atau kerabat anda.
Mungkin anda tidak sekuat mereka yang sekarang sedang menderita.
Masyarakat tempatan sekarang membangun
sistem sosial sendiri dengan tidak mau ketempatan kubur teroris. Terlepas hukum
agama yang mengatur, sistem yang terbangun itu seharusnya merupakan pukulan
berat bagi siapapun yang berniat untuk menjadi teoris.
Kecenderungan lain ialah bagaimana kita
melawan “Lupa”; karena perlu diingat bahwa kita sudah berkali-kali jadi sasaran
Bom bunuh diri, dari masa presiden terdahulu sampai sekarang; namun lagi-lgi
kita sering lupa sehingga mengabaikan kewaspadaan. Untuk tidak salah jika pada
masa-masa yang akan datang harus ada semacam upaya bersama untuk menjaga
kewaspadaan agar kita tetap selalu waspada terhadap segala kemungkinan yang
terjadi.
Kita semua tidak bisa hanya mengandalkan
kerja inteligen dalam menghadapi pelaku Bom, karena untuk mengawasi begini
banyak orang tentu tidak mungkin hanya mengandalkan peran unteligen. Namun yang
utama adalah bagaimana melakukan tindakan pencegahan sedini mungkin ; terutama
melalui jalur-jalur pendidikan kemasyarakatan yang selama ini efektif membangun
jejaring sosial.
Peran tokoh masyarakat, media massa, dan
lain-lainnya diminta secara aktif untuk membantu menyebarluaskan kepada
masyarakat bahwa melakukan Bom bunuh diri itu adalah pekerjaan sia-sia dan
tidak mendapat ridho dari yang mahakuasa.
Kepada semua pihak yang telah dipilih oleh
rakyat dan disumpah untuk melayani rakyat, mari kita bersama-sama menjaga lisan
dan perbuatan untuk tidak melukai rakyat; beban yang paling berat adalah beban
psikologis yaitu kekecewaan yang panjang karena tiadanya harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar