Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Rabu, 26 September 2018

BOOMM (lagi)


BOOMM  (lagi)
Oleh Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila

Beberapa wktu lalu masyarakat Indonesia di guncang peristiwa dahsyat dengan adanya  peristiwa “pemberontakan tahanan “di Markas Brimob Kelapa Dua Jakarta, dan disusul dengan ledakan yang lebih mengerikan di Kota Pahlawan Surabaya; kemudian peristiwa Riau. Berita ini menjadi treding di tinkat dunia; hampir semua media warta di jagad ini memberitakannya. Indonesia yang selama ini dikenal dengan Negara yang aman karena toleran, tetapi akhir-akhir ini seolah terusik dengan peristiwa yang tidak diinginkan.
Tampaknya bahwa kedukaan yang mendalam sedang melanda Indonesia. Putra-putra terbaiknya dieksekusi dirumah sendiri, kemudian ada yang melanjutkan dengan meledakkan diri agar ledakannya membawa korban orang lain yang tidak ada hubungan apapun dengan dirinya. Bahkan apa dosa merekapun tidak ada yang tau sehingga harus menanggung ikut diledakkan.


Berdasarkan asumsi akademis yang belum melalui penelitian mendalam, tampaknya di dalam masyarakat ada sekelompok kecil semacam “virus Sosial” yang hidup karena anomali sosial. Kehidupan ini disuburkan oleh kondisi sosial, ekonomi, dan pribadi yang berkelindan, sehingga membentuk kepribadian eksklusif pada pelaku sosial. Ini dapat kita simak dari beberapa temuan dilapangan bahwa mereka yang telibat terorisme ternyata memiliki kepribadian yang agak berbeda dari rerata orang disekitarnya atau pada umumnya.
Namun hal itu tidak begitu menarik untuk didiskusikan di ruang publik karena pendekatan akademis harus begitu kental ditegakkan untuk membedah dan menganalisis perilaku menyimpang individual tersebut. Akan tetapi yang justru menarik adalah keragaman perilaku yang ditampilkan oleh banyak orang dalam melihat atau merespon rangkaian peristiwanya.
Kenapa terkategori keragaman; karena tega memberikan penilaian-penilaian yang berada dari spektrum negatif sampai positif, bahkan ada yang cenderung skeptis; padahal kita melihat dan membaca berita bagaimana rangkaian Mako Brimob, Surabaya, Sidoarjo, Palembang, dan Riau. Garis linier itu tampak sekali bagaimana cel virus itu sudah lama ada tetapi kita sibuk dengan urusan yang belum jelas maknanya, dan mengorbankan kewaspadaan. Sementara kejadian terjadi kita mencari kambing hitam yang ada diantara domba hitam.
Gerak sosial seperti ini tampaknya perlu ada perenungan kembali untuk apa sebenarnya kita bernegara, kemudian negara ini dibentuk untuk apa dan oleh siapa saja. Kesepakatan sosial membentuk negara salah satu cirinya adalah harus mengabaikan perbedaan individual, apalagi golongan, untuk mewujudkan cita-cita bersama.
Proses desiminasi yang panjang dan menyejarah, telah dijalani oleh “Indonesia”, dan itu terus-dan terus berjalan yang tidak mungkin dapat dibendung. Persoalan sekarang adalah bagaimana kita merawat perjalanan sejarah itu agar tidak menyimpang dari tujuan semula dibentuknya negara ini oleh para pendahulu.
Atas dasar semangat itu maka Bom bunuh diri yang dilakukan oleh segelintir orang yang tidak bertangungjawab; adalah merupakan upaya menafikan sejarah terbentuknya negara ini. Bahkan bisa jadi para pelaku tadi tidak pernah membaca sejarah BPUPKI yang bagaimana bergumul menyatukan pendapat ditengah perbedaan, agar pada akhirnya terbentuklah suatu negara. Bagaimana jiwa besar kelompok relegius untuk legowo menerima naskah akhir dari Proklamasi ditulis dan dikumandangkan.
Pada tahun 2009 penulis pernah mengingatkan melalui harian ini dengan tulisan berjudul “Ledakan itu bernama Bom”. Bahwa disesalkan ada kelompok elite yang memanfaatkan untuk menjadikan panggung bagi dirinya di atas penderitaan orang lain. Ternyata sembilan tahun kemudian pencari panggung ini makin ramai. Kita seolah lupa dengan para korban yang tak berdosa atas adanya Bom, bahkan tega melemparkan pernyataan-pernyataan baik langsung maupun melalui media sosial, dengan kalimat-kalimat yang jauh dari santun, bahkan cenderung menyakitkan, terutama untuk para korban dan keluarga.
Peristiwa ledakan Bom dijadikan tungku penggorengan bagi sesama kita. Kita abai bagaimana nasib keluarga korban yang ditinggalkan. Upaya apa yang harus dilakukan agar keluarga yang ditinggalkan dapat tabah menjalani hidup ini dengan tanpa orang yang selama ini menjadi sokoguru keluarga. Kita seolah-olah telah menjadi lebih tidak berkemanusiaan dibandingkan pengebomnya karena kita  abai dengan saudara-saudara kita yang telah menjadi korban.
Nafsu berburuk sangka pada sesama menjadi seolah makanan sehari hari, yang kita munculkan tanpa melihat waktu dan tempat. Kita seolah lupa ada kuasa Adi Kodratti yang Maha Mengatur dunia ini dan isinya. Demi orang yang kita agung-agungkan, kita tega untuk menjadikan mesiu dari adanya peristiwa yang membawa korban jiwa tanpa dosa, untuk hanya sekedar memuaskan labido berkuasa kita.
Untuk itu ada beberapa hal seharusnya kita lakukan: pertama, bahwa ledakan aksi bom bunuh diri itu adalah musuh bersama bangsa ini. Hal itu bukan hanya musuh agama tertentu atau golongan tertentu, akan tetapi musuh bangsa Indonesia dari Sabang sampai Marauke.
Kedua, memahamkan bahwa pelaku bom bunuh diri itu adalah ajaran sesat yang diajarkan oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Oleh sebab itu pengajurnya bisa dikategorikan merupakan kejahatan kemanusiaan. Pemahaman ini harus diberikan kepada semua elemen masyarakat dan disebarkan secara masif, sehingga menjadi sistem nilai.
Ketiga, janganlah kita berkomentar atau berucap justru membuat keluarga korban menjadi semakin menderita secara sosial dan finansial. Sebaiknya ada upaya yang terlembaga bagaimana memberikan bantuan kepada keluarga korban yang tidak berdosa harus menanggung derita sepanjang hayat.
Keempat, kepada politisi atau siapapun anda, mohon untuk jangan memanfaatkan atau mengeksplotasi derita keluarga korban untuk kepentingan amunisi labido berkuasa yang anda miliki. Coba anda bayangkan bagaimana jika kondisi ini menimpa keluarga anda, atau kerabat anda. Mungkin anda tidak sekuat mereka yang sekarang sedang menderita.
Masyarakat tempatan sekarang membangun sistem sosial sendiri dengan tidak mau ketempatan kubur teroris. Terlepas hukum agama yang mengatur, sistem yang terbangun itu seharusnya merupakan pukulan berat bagi siapapun yang berniat untuk menjadi teoris.
Kecenderungan lain ialah bagaimana kita melawan “Lupa”; karena perlu diingat bahwa kita sudah berkali-kali jadi sasaran Bom bunuh diri, dari masa presiden terdahulu sampai sekarang; namun lagi-lgi kita sering lupa sehingga mengabaikan kewaspadaan. Untuk tidak salah jika pada masa-masa yang akan datang harus ada semacam upaya bersama untuk menjaga kewaspadaan agar kita tetap selalu waspada terhadap segala kemungkinan yang terjadi.
Kita semua tidak bisa hanya mengandalkan kerja inteligen dalam menghadapi pelaku Bom, karena untuk mengawasi begini banyak orang tentu tidak mungkin hanya mengandalkan peran unteligen. Namun yang utama adalah bagaimana melakukan tindakan pencegahan sedini mungkin ; terutama melalui jalur-jalur pendidikan kemasyarakatan yang selama ini efektif membangun jejaring sosial.
Peran tokoh masyarakat, media massa, dan lain-lainnya diminta secara aktif untuk membantu menyebarluaskan kepada masyarakat bahwa melakukan Bom bunuh diri itu adalah pekerjaan sia-sia dan tidak mendapat ridho dari yang mahakuasa.
Kepada semua pihak yang telah dipilih oleh rakyat dan disumpah untuk melayani rakyat, mari kita bersama-sama menjaga lisan dan perbuatan untuk tidak melukai rakyat; beban yang paling berat adalah beban psikologis yaitu kekecewaan yang panjang karena tiadanya harapan.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar