PEMENANG atau PECUNDANG
Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila
Tertulis
dalam Kitab Mahabarata tatkala perang Baratayudha Basukarna atau populer dengan
nama Prabu Karna; sebagai Satria anak dewa Surya dengan Ibu Dewi Kunthi yang
juga Ibunya Para Pandawa; sebelum Perang Besar Baratayudha; terlibat
pembicaraan keras bersama Prabu Kresna yang dikenal sebagai arsiteknya perang
besar itu, sesaat setelah gagal menjadi Duta Pamungkas untuk mengembalikan
Hastinapura ketangan Pandawa tanpa peperangan. Dalam dialog kedua Satria Agung
itu Prabu Kresna menawarkan kepada Karna untuk bergabung ke Pandawa; walaupun
dalam hati beliau sudah mengetahui bahwa itu tidak mungkin; karena dalam Kitab
Jitabsara Karna akan mati di peperangan terkena Panah Pasopatinya Harjuna.
Kresna hanya ingin mengukur sejauh mana tekad bulat Karna untuk maju perang
sebagai Senapati Agung. Ternyata jawaban Karna sungguh luar biasa; beliau
mengatakan; Biarlah Aku menjadi Pecundang bukan Pemenang, asalkan Perang
Baratayudha ini jadi berlangsung Karena perang itulah membuat kedamaian akan
terjadi.
Adegan itu
mengingatkan kita semua sebentar lagi negara ini akan melangsungkan lakon
politik, yaitu melakukan Pemilihan Kepala Daerah di sekitar 171 daerah
pemilihan. Mungkin selama kemerdekaan dari tahun 1945, baru ini terjadi
pemilihan kepala daerah yang begitu besar. Tentu dalam perhelatan pemilihan itu
akan ada yang menang dan yang kalah. Jumlah pemenang sudah dapat diketahui
yaitu 171 Orang atau pasangan, dan ini adalah lumrah karena setiap daerah
pemilihan hanya mengeluarkan satu pasangan sebagai pememang. Dan tidak mungkin
di satu daerah pemilihan akan keluar dua pasangan pemenang kemudian dilantik
kedua pasangan tersebut. Pada cerita fiksipun hal itu tidak akan ditulis oleh
pengarangnya.
Hal yang
menarik adalah bukan pada pemenangnya. Cerita kemenangan adalah cerita yang
linier, yaitu berjuang (bahkan dengan cara apapun), kemudian konflik, menang,
terakhir syukuran, dan dilanjutkan hitung-hitungan habis berapa modal, dan
bagaimana cara mengembalikan hutang. Hal itu sudah menjadi pakem banget,
menggunakan istilah anak-anak jaman Now. Justru yang menarik dikaji adalah
bagaimana nasib mereka yang kalah, apa yang mereka lakukan, guncangan apa yang
mereka rasakan. Tidak pernah terlintas dipikiran kita, apa yang terjadi setelah
seseorang kalah bertarung dalam pemilihan kepala daerah.
Varian
perilaku akibat kekalahan pertarungan ini begitu beragam; ada yang bersifat
personal, ada juga yang bersifat sosial. Kategori yang bersifat personal
diantaranya murung, menjadi tertutup, menyendiri, dan yang paling mengerikan
jika sampai pada gangguan kejiwaan. Sekedar mengingat kembali, pada masa lalu
ada salah seorang calon Bupati yang kalah pemilihan, kemudian menjadi terganggu
kejiwaannya, dan menunjukkan perilaku yang tidak wajar, sehingga lupa busana.
Sedangkan
yang bersifat sosial dapat dilihat dari perilaku yang menjadi infulsif, menarik
diri dari pergaulan, bahkan menarik semua bantuan yang diberikan pada waktu
pencalonan. Ingatan kita masih segar ada bakal calon yang kalah menarik bantuan
karpet untuk masjid yang dia berikan pada waktu pencalonan, bahkan ada calon
yang meminta uangnya kembali yang mereka berikan pada waktu kampanye. Pukulan
ini akan semakin menjadi-jadi manakala keseimbangan rumah tangga juga memberi
kontribusi untuk menuju kehancuran. Begitu menerima kekalahan, ibarat pepatah
sudah jatuh tertimpa tangga; pilihan kalah istripun minggat.
Rasa
kesendirian dan rasa bersalah menyelimuti perasaan bagi mereka yang tidak
beruntung dalam pemilihan; adalah kondisi psikologis yang secara perlahan
tetapi masif bisa menyerang siapa saja yang ada pada posisi ini. Menjadi
berbahaya jika kondisi ini berlangsung lama, tanpa disadari oleh penyandangnya
masuk ke alam bawah sadarnya. Sehingga berpengaruh pada kondisi kejiwaan dalam
kurun waktu yang cukup lama. Untuk yang satu ini pernah kita dengar ada bakal
calon yang tidak jadi menjadi calon kemudian
gelap hati, bahkan gelap mata.Kemana-mana membuka aib saudaranya.
Secara
sosiologis sebenarnya kita harus berterimakasih kepada mereka yang berada pada
posisi ini; karena sebenarnya pahlawan dalam pemilihan itu bukan yang menang,
tetapi justru yang kalah; karena mereka telah berkorban untuk keberlangsungan
proses demokrasi, dan proses keberlangsungan suatu rezim atau apapun namanya.
Kita semua harus berterimakasih kepada mereka yang sudah menyiapkan diri maju
kepemilu kada, atau pemilihan apapun; karena akibat memilih satu diantara
sekian pilihan, berarti ada yang tidak terpilih, dan kita berterimakasih ada
orang yang siap menjadi “tumbal” untuk tidak terpilih karena aturan sistem
harus demikian.
Kata lain
bahwa pahlawan demokrasi itu bukan yang menang, akan tetapi yang sudah sanggup
kalah, merekalah sebenarnya pahlawan sejati dari demokrasi itu. Mereka sudah
sanggup menggorbankan waktu, dana/biaya, harga diri/martabat, dan perasaan,
untuk menjadi tumbal demokrasi. Mengikuti proses pemilihan yang sangat melelahkan, terutama aspek kesiapan
dana, mental, dan spiritual, ditambah kesiapan keluarga.
Keluarga
perlu dipersiapkan, terutama keluarga inti, karena harus menanggung semua
konsekwensi dari apa yang terjadi. Jika menang harus siap di bully, jika kalah
siap di maki. Pilihan sulit ini menjadi semakin ribet jika menyimak banyak
kasus akibat ketidak siapan keluarga; justru malapetaka yang diperoleh.
Pengorbanan
untuk siap kalah, tidak jarang hanya sebatas bibir saja; begitu berhadapan
dengan kenyataan, ternyata kekalahan itu menyakitkan. Kesiapan menerima
kekalahan ternyata tidak termasuk yang dipersiapkan selama ini dalam pemilihan
oleh para calon. Dibenaknya yang ada menang, menang, dan menang. Kondisi ini
dibumbui lagi oleh hasutan hasutan orang sekeliling yang ingin mencari
keuntungan. Pada saat pencalonan pahlawan-pahlawan dadakan ini bermunculan
disekitar calon. Jika calon yang diusungnya menang, maka pahlawan ini akan
berbondong-bondong datang dengan membawa panji-panji aku pahlawannya, ucapan
klasik SI anu itu menang karena aku. Sebaliknya jika kekalahan yang terjadi,
semua mereka hilang bak ditelan bumi. Kata bijak yang lumrah keluar
adalah..bersabarlah, atau kasihan. Selebihnya mereka akan meninggalkan calon
dalam kesendirian dan kesunyian.
Hari-hari
sunyi akan dijalani oleh seorang calon yang gagal, hanya istri yang sholeha lah
dan atau suami yang sholeh lah yang mampu menjadi teman dikala seperti ini. Ada
seorang teman yang mengalami kondisi ini mengatakan lalatpun sungkan hinggap
kebadannya, nyamuk yang suka menghisap darahpun menghindar untuk mendekat.
Oleh sebab
itu melalui tulisan ini ingin disampaikan kepada para petarung; pertama, kami
semua mengucapkan terimakasih kepada kalian yang telah sudi mau menjadi petarung,
karena dengan adanya kesediaan anda bertarung, maka proses demokrasi berjalan.
Kedua, siapkanlah disudut hati anda ruang jika kekalahan terjadi pada anda; karena
hukum sosial akan menggilas dengan kejam, tidak perduli apakah anda menjadi
pihak yang menang atau pihak yang kalah. Ketiga, bertarunglah secara jantan,
berikan ucapan selamat pada pemenang dan undur diri tanpa harus menunduk
apalagi melempar handuk.
Resi Bisma
sebagai tamsil, saat dia menghadapi kekalahan karena anak panah Srikandi
menghujam seluruh tubuhnya tanpa celah, menjelang ajal dia minta bantal untuk
menyangga kepalanya, tapi bantal yang dia minta bukan yang empuk dari kapuk
pilihan, akan tetapi hulu panah yang ditancapkan dikiri-kanan kepalanya. Tamsil
ini menunjukkan bahwa kekalahan harus dihadapi dengan jiwa kesatria. Tidak
menjadi cengeng dengan menganggap rival anda itu musuh bebuyutan selama hidup
yang harus anda enyahkan; ingat masing-masing kita punya tugas kehalifahan
dimuka bumi ini yang sudah ditetapkan oleh Sang Kholik.
Akhirnya
semua daya upaya yang dilakukan oleh manusia berakhir pada ketentuan garis
nasib yang telah ditetapkan oleh Sang Maha Pencipta. Suratan tangan yang telah
tertulis sebelum manusia lahir akan menjadi titik akhir dari apa yang telah
diupayakan oleh manusia. Firman Suci
sudah mewartakan bahwa manusia berhak atas upaya; ketentuan ILLAHI adalah
segalanya. Selamat Berjuang Kawan, menjadi Pemenang atau Pahlawan; asal jangan
jadi Pecundang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar