Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Kamis, 11 Juli 2019

BERSATU TIDAK BERSEKUTU, BERPISAH TIDAK BERCERAI

Oleh: Sudjarwo
Profesor Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Unila.

Pada pertengahan tahun 2018 silam ada undangan dari Pimpinan Redaksi Harian terbesar di Lampung ini, meminta diri agar jadi moderator disuatu perhelatan forum diskusi budaya yang diawali dengan segebok buku hasil tulisan sahabat Fauzi Nurdin, dkk; yang juga seorang Profesor terkemuka di UIN Raden Inten,; tentang suatu Kebuaian di Provinsi Sang Bumi Rhrua Jurai ini.

Semula agak segan untuk menerimanya; karena menghormati karya sesama peneliti; namun setelah diberi tahu tentang esensi diskusi dan arah tujuan diskusi, dan siapa yang akan hadir dalam diskusi itu. Tugas itu diterima dengan catatan tidak mengupas tuntas buku hasil penelitian, akan tetapi menjadikan dasar berpijak diskusi sehingga akan memandu untuk menemukenali persoalan budaya dari suatu kebuaian.

Unjuk hormat untuk para pelaku budaya dan pengawal budaya; ternyata forum diskusi itu dihadiri oleh pendukung budaya yang sangat antusias dalam mengikuti kegiatan. Sebagai moderator saat itu harus cermat karena stratifikasi sosial atas dasar tata titi adat harus dijunjung tinggi. Telinga dipasang (walau sudah agak tuli), pandangan mata harus memenuhi orientasi ruang, dan perhatian harus fokus; mengingat waktu yang disediakan cukup padat. Hasil yang diperoleh ternyata luar biasa sekali memuaskan.

Beberapa hal yang dapat disaripatikan pada tulisan singkat ini; pertama, lingkaran (ring) satu dari Pimpinan Kebuaian dengan antusias menunjukkan bukti-bukti sejarah tentang esensi kebuaian; yang pada akhirnya pengakuan atas keberadaan suatu “kerajaan” ; sudah seyogyanya layak disematkan kepada mereka. Namun demikian tetap mempedomani aturan yang ada sehingga tidak menimbulkan kesan “negara” dalam “negara”, karena Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah final sifatnya. Inipun sudah dinyatakan oleh mereka dalam forum resmi tersebut.

Lingkar kedua, adalah mereka yang tidak termasuk pada lingkaran satu tetapi berada pada kotak yang sama; mereka “mengakui” keberadaan esensi lingkaran satu; namun mereka juga menuntut hak pengakuan atas kaitan antarmereka dengan lingkar satu. Serta peran mereka dalam menopang keberadaan lingkar satu.

Lingkar ketiga adalah mereka yang tidak berada pada dalam lingkaran akan tetapi berada pada kotak yang sama. Mereka yang berada pada posisi ini berkecenderungan untuk menjadi “penikmat” yang baik, dan menunjukkan sikap hormat kepada lingkar satu dan lingkar dua, walau mereka sedikit mengatur diri jika harus berkolaborasi.

Istilah lingkar dan kotak pada tulisan ini hanya berupa imajiner, bukan realita. Kegunaan imajiner ini adalah hanya untuk pisau analisis masalah, buka pengelompokan orang, benda atau sebagainya; secara riel. Hal ini perlu ditegaskan agar kita tidak terjebak pada dikotomi, akan tetapi lebih kepada penggambaran dari suatu peristiwa budaya.

Mencermati keadaan di atas, ternyata prinsip “Kesamaan dalam keberagaman” untuk masyarakat kebuaian sudah mereka terapkan sejak lama. Saling menghormati dalam perbedaan adalah hal yang biasa; oleh karena itu sekalipun mereka tidak sepakat dalam sesuatu hal, namun ketidak sepakatan itu bukan berarti menceraiberikan mereka dalam hal lain. Dengan kata lain kesepakatan untuk tidak sepakat; bukanlah berarti melepaskan diri dari ikatan. Justru yang menarik ketidak sepakatan itu bisa jadi mempererat ikatan.

Pembelajaran Demokrasi kultural serupa ini seyogyanya dapat dipahami oleh semua pihak yang ada di Lampung. Dengan kata lain penyelesaian masalah-masalah sosial yang ada di Lampung, tidaklah akan selesai jika hanya dibicarakan di Hotel Mewah, namun harus menyentuh lapangan melalui pendekatan budaya.

Kepemimpinan Nonformal, ternyata masih sangat kuat kharismatiknya untuk diandalkan guna mengurai masalah. Lebih jauh lagi kepemimpinan nonformal menjadi lengkap jika secara formal yang bersangkutan juga memiliki kedudukan dalam pemerintahan. Kondisi ini pernah dimanfaatkan secara terbalik oleh Penjajah Belanda, dimana selalu mengangkat Pasirah yang berasal dari Pimpinan Adat setempat; akibatnya politik devide et impera menjadi mulus jalannya. Kekuatan ini justru sekarang digunakan untuk menggerakkan masyarakat, melayani masyarakat menjadi lebih baik lagi, karena “gezah” yang dimiliki para pemimpin nonformal sekaligus formal; akan mampu menjadi motor penggerak dalam membangun masyarakat lampung.

Teladan masa lampau itu sebenarnya masih relevan sampai saat ini; hanya saja bagaimana kita mampu memahami kearifan lokal yang kita miliki; dan kemudian mengejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Persoalan inilah yang saat ini menjadi tampak sulit, karena kebebasan yang dimiliki oleh bangsa ini, sering menjadi kontraproduktif dari apa yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa.

Banyak hal yang terjadi saat ini seolah-olah hanya mengejar kepentingan sesaat atas nama demokrasi. Sebagai contoh “pesta lima tahunan” pemilihan presiden, gubernur, bupati, bahkan RT sekalipun; seharusnya disikapi dengan suka cita, karena merupakan puncak pesta demokrasi bagi rakyat, dan itu merupakan pesta rakyat. Namun saat ini peristiwa biasa itu diolah sedemikian rupa, menjadi pestanya para elite; bahkan ada tokoh yang dengan tega mengatakan pesta tadi diubah menjadi “medan perang baratayudha”. Padahal kita semua mengetahui bahwa perang baratayudha itu bukan nyata, tetapi karangan para budayawan masa lalu.

Sementara kearifan lokal yang hidup ditengah masyarakat kita tampaknya lebih bijak dalam menyikapi semua peristiwa sosial. Namun karena kita sudah terkontaminasi dengan cara berfikir dari bangsa lain, yang tidak teradaptasi dengan nilai-nilai lokal; sehingga parameter yang kita tegakkan sering berat sebelah, bahkan tidak jarang menjadi sarat dengan kepentingan dari individu dan golongan.

Kearifan khususnya untuk wilayah-wilayah tertentu; harus tetap dijaga, oleh siapapun yang berada diwilayah budaya itu; dan ada kuwajiban moral untuk mengejawantahkannya dalam dunia nyata, dimanapun mereka berada. Bahkan bisa dijadikan model dari sekian banyak model kearifan lokal di Indonesia.

Keadaan ini bukan berarti kita menafikan model dari negara lain; namun dalam kita “mengambil alih” model itu kesistem kemasyarakatan kita; sudah seharusnya tetap memposisikan sejajar dengan yang kita miliki. Oleh sebab itu modifikasi, adaptasi, dan asimilasi; tetap diperlukan, karena negara kita memiliki kondisional yang sangat berbeda. Keragaman adalah keniscayaan yang sudah amat sangat disadari oleh para pendiri bangsa.

Pemaksaan kehendak, tirani mayoritas maupun minoritas, adalah sesuatu yang amat sangat dihindari; karena membuat jurang sosial menganga lebar; dan ini bila terjadi maka tidak akan menutup kemungkinan berarti kita sedang menanam bom waktu yang dapat meledak kapan saja, mengakibatkan kehancuran bangsa ini.

Mari pada tahun baru ini kita menata diri sebagai bangsa untuk masing masing kita menjadi penyelamat negeri ini dari kehancuran sosial. Masing-masing kita menjadi perekat satu sama lain dengan tetap mengakui/menghormati perbedaan yang melekat pada kita, karena perbedaan itu adalah sunattullah.

Janganlah pesta demokrasi yang kita rancang sendiri, kita atur sendiri, kita laksanakan sendiri, kita awasi sendiri; justru menjadi medan bangsa ini untuk bunuh diri; atau paling tidak saling membunuh satu sama lain.

Mari kita belajar dari Lampung Barat untuk BERSATU TIDAK BERSEKUTU, BERPISAH TIDAK BERCERAI ; sehingga kita tetap hidup damai dalam perbedaan. Seperti bahasa filsafat mengatakan bahwa “jodoh itu adalah ketidaksamaan”. Tamsil yang dapat kita lihat sepatu itu berjodo jika ada untuk kaki kiri dan unbtuk kaki kanan. Tutup botol itu akan bisa menutup jika yang menutup dan yang ditutup itu tidak sama. Selamat Tahun Baru 2019 semoga kita diberi kekuatan oleh Yang Maha Pencipta untuk tetap kuat menjaga keutuhan Persatuan dan Kesatuan bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar