Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Kamis, 11 Juli 2019

KUBURAN MASAL

Oleh: Sudjarwo 
Profesor ilmu-ilmu sosial di FKIP –Unila 

Saat kita membaca kata di atas; maka terlintas dipikiran kedahsyatan Tsunami di Aceh tahun 2004 yang lalu. Begitu dahsyatnya peristiwa alam pada waktu itu dimana air bah menyapu daratan Aceh; meluluhlantakkan semua yang dilaluinya. Rekaman lengkap dapat kita lihat melalui Diorama yang ada pada Museum Tsunami di Banda Aceh yang lokasinya berada ditempat pusaran Tsunami saat itu. Kedahsyatan ini meninggalkan monumen terdamparnya Kapal Pembangkit Listrik yang semula berada di tengah laut; bisa terhempas jauh ke daratan. 

Kemudian juga sebelumnya ada di Sampit Kalimantan Tengah tahun 2001; kerusuhan etnik yang meninggalkan luka sosial yang dalam dan lama sembuhnya, di samping itu juga meninggalkan kuburan masal yang sulit teridentifikasi, karena beberapa hal yang menjadi penyebab dan tidak patut diungkap di sini atas nama kode etik pers. 

Syamsuddin Haris Profesor Peneliti dari LIPI memberi makna lain pada Kuburan Masal itu dalam tulisannya di Harian Nasional beberapa waktu lalu. Uraian tajam tentang situasi kekinian tentang bangsa ini beliau sajikan dengan sangat akademik. Penulis ingin melihat dari sisi lain makna yang terkandung dalam idiom itu. Kalau beliau melihat dari sisi muka, justru tulisan ini melihat dari efek dalam dari peristiwa itu. Metode Verstehen model Max Weber akan digunakan sebagai alat pisau bedah untuk mengurai obyek dalam tulisan ini. 

Deretan peristiwa akibat interaksi alam dengan manusia dan manusia dengan manusia; ternyata meninggalkan jejak fisik maupun sosial yang dalam dan lama dalam memori ingatan; baik itu pelaku langsung maupun mereka yang terdampak dari peristiwa itu. Kehidupan yang semula damai dan menyejukkan; sewaktu waktu dapat berubah menjadi liar, ganas dan menyeramkan. Peristiwa alam yang tidak dapat diduga itu muncul dengan tiba-tiba, sementara peristiwa sosial yang ikut campur tangannya manusia membuat peristiwa itu menjadi raksasa sosial yang akan memakan siapa saja yang jadi korbannya. 

Kategorisasi peristiwa tadi jika menggunakan analisis dikhotomis Mac Iver (diunduh 25 Maret 2019) ternyata peristiwa itu akan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan dan akan menemukan keseimbangan baru. Dengan kata lain ada peristiwa sosial yang dirancang oleh manusia untuk melakukan perubahan dan membentuk keseimbangan baru. Salah satu diantara peristiwa relasi sosial tadi adalah Pemilihan Umum. 

Pemilihan Umum yang kita sepakati diadakan tanggal 17 April 2019 itu adalah Peristiwa Sosial yang kita rancang bersama untuk melakukan “penggoyangan” sendi kehidupan sosial untuk mendapatkan keseimbangan baru. Menggunakan Pisau Bedahnya Peter L Berger dalam Piramida Kurban Manusia (1982), maka penggoyangan sosial tadi digunakan untuk menggeser posisi dari masing masing fungsi sosial; yang seharusnya penggoyangan tadi menggunakan kaidah-kaidah yang sudah disepakati bersama pula; dengan tatalaku dan tatakelola yang jelas pula. 

Akibat penggoyang tadi diharapkan terjadi pergantian peran sosial; dan hal ini akan mengakibatkan empat hal akan terjadi; Pertama, perubahan vertikal, yaitu alih posisi dari semula pada lapisan tertentu berubah ke lapisan atas; atau malah turun ke lapisan bawah. Perubahan posisi ini mengakibatkan orang mengalami gegar budaya, karena nilai-nilai yang selama ini dianut menjadi berbeda begitu perubahan status terjadi. Oleh karena itu jika ada yang overacting atau salah laku; hal ini disebabkan karena perubahan tadi. 

Kedua, pada posisi tetap, yaitu tidak mengalami perubahan fungsi maupun peran. Posisi ini mereka yang berstatus Petahana merupakan posisi yang mereka sukai; karena menurut mereka posisi aman ini adalah posisi yang menyelamatkan dirinya. 

Ketiga, perubahan horizontal, yaitu hanya bergeser peran atau fungsinya saja. Perubahan ini juga hampir sama dengan yang ke dua, namun perubahan terjadi justru ke atas. Gegar budaya tidak begitu terasa pada kondisi ini, karena pelaku sudah tinggal menyesuaikan diri ke hal hal lebih lanjut. Walaupun masih ada yang justru mengalami lebih dahsyat, sehingga perilakunya seolah berkelebihan. 

Keempat, terjerembab tidak mendapatkan peran maupun fungsi, bahkan tercampakkan. Kondisi ini yang sangat ditakuti oleh semua kontestan atau pelaku sosial, karena tidak mendapatkan apa yang mereka cita-citakan. Justru kondisi ini yang banyak terjadi setelah hajatan pemilihan umum, dan mereka inilah penghuni Kuburan Masal sebagai korban sosial, menurut teori Peter L Berger di atas. 

Kondisi terakhir di atas tidak jarang memicu munculnya perilaku menyimpang dari para pelakunya; sebagai contoh pada waktu mencalonkan diri memberikan sumbangan material ke Rumah Ibadah, ternyata begitu tidak terpilih sumbangan tadi di ambil kembali. Hanya mungkin yang pernah menyumbang Keranda Pembawa Jenazah yang tidak akan diambil. 

Atau membangun tembok pada jalan yang disumbangkan, dan yang lebih memprihatinkan lagi menjadi orang yang hilang ingatan, seperti dialami oleh salah satu Calon Kepala Daerah Tingkat Dua di satu Kabupaten Jawa Tengah beberapa tahun silam; Jika ini terjadi; maka pekerjaan Rumas Sakit Jiwa akan bertambah karena peningkatan jumlah pasien. 

Ada kelakuan lain yang diluar nalar biasa yaitu mendatangi “mbah dukun”, atau bahasa kerennya mendatangi “orang Pintar” atau “Penasehat Spiritual”, padahal jika yang didatangi itu orang pandai mengapa tidak beliau saja yang mencalonkan diri. Hal ini seolah tidak lagi terlintas dibenak calon, seperti mereka terseret arus air deras, sehingga memegang apa saja dilakukan demi penyelamatan. 

Cara yang lebih vulgar lagi dilakukan adalah melakukan serangan fajar dengan membagikan sesuatu pemberian dengan perjanjian kepada pemilih. Walaupun cara ini adalah cara kuno namun sering tetap dilakukan sebagai jurus pamungkas. Pemberian tadi diperoleh dengan cara dari menjual barang/tanah sampai mengijon dengan para saudagar dengan suatu perjanjian. Jika calon seperti ini yang akan memenangkan kontestasi politik; maka peluang terjadinya perilaku korupsi akan terjadi. Alasannya sederhana sekali yaitu ingin mengembalikan uang pengijonan, atau dengan cara memberi proyek balas jasa kepada broker pemberi dana; paling tidak memberikan perlakuan sosial berbeda, yang ini sebenarnya juga masuk kategori perilaku korupsi dengan cara super halus (hanya Tuhan Yang Maha Tahu). 

Oleh sebab itu “kalah” atau “menang” dalam Pemilihan seharusnya disikapi sebagai sesuatu yang biasa; karena aturan permainan kita yang mengatur kemudian ketetapan pemenang itu hanya ada satu. Jika kita menunjukkan sikap atau perilaku yang sebaliknya menentang dari hasil yang aturannya kita sepakati, maka kita melakukan “kebodohan sosial” yang masif. Apalagi sampai menuduhkan kecurangan pada pihak lain tanpa bukti jelas, hanya didorong emosi kalah. 

Hasil penelitian sosial telah mencatat pada masa model pemilihan “Pasirah” dikenalkan oleh Belanda pada masyarakat Pribumi atau Bumi Putra, pada masa itu. Ternyata salah satu sub-etnik di Sumatera Selatan menyikapi kekalahannya tidak dengan melakukan pemberontakan, akan tetapi pada malam hari mereka satu keluarga besar pindah mencari kehidupan baru di tempat lain dengan cara membabat hutan baru guna mendirikan clan baru untuk mereka. Perilaku Kearifan Lokal seperti ini patut dijadikan suri teladan pada kita bagaimana mendahulukan kearifan diri dalam menghadapi peristiwa sosial tadi. Walaupun tidak harus bermigrasi ketempat lain; seperti contoh di atas. 

Tidak ada pesta yang tidak usai; maka sebelum itu terjadi mari kita mengingat kembali apakah kita sudah siap dengan segala kemungkinan terburuk dari resiko kepemilihan kita terhadap sesuatu. Karena pertimbangan-pertimbangan rasional biasanya pada saat-saat keinginan besar meraih harapan, menjadi berbalik sangat irasional. Setelah kembali ke masa tenangnya, maka penyesalan demi penyesalan akan muncul secara berkala. 

Manakala manusia terbuai dengan harapan; maka semua seolah menjadi indah; namun manakala harapan itu tidak sesuai kenyataan, maka barulah kita menyadari siapa diri kita ini. Keterbatasan manusia hanya berhenti pada usaha; namun keberhasilan usaha itu ada yang memiliki, yaitu Yang Maha Hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar