Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Senin, 22 Juli 2019

BIDUK LALU KIAMBANG BERTAUT

Sudjarwo
Profesor Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Unila

Pada waktu Sekolah Rakyat tahun 60 an guru Bahasa Indonesia saat itu sering menugaskan murid kelas enam untuk menghafal makna dari kiasan atau pribahasa. Salah satu diantaranya tugas itu adalah mencari arti pribahasa dari Biduk Lalu Kiambang Bertaut. 

Jaman Dulu (Jadul) belum ada teknologi canggih seperti sekarang, dengan mesin pencari kata, kita dapat segera mendapatkannya hanya beberapa saat saja. Jaman Old kita harus mencarinya di Perpustakaan yaitu Buku Bahasa Indonesia yang memuat Pribahasa Dalam Bahasa Indonesia; Itupun tidak semua perpustakaan sekolah memilikinya. 

Makna kata itu sederhana sekali dari hasil penelusuran ternyata memiliki dua arti harfiah, yaitu, pertama: perselisihan antara dua orang bersaudara tidak perlu dicampuri oleh orang lain karena sebentar juga akan berdamai. Makna kedua; perselisihan antara dua orang beraudara, apabila dicampuri oleh pihak ketiga akan segera berakhir dengan perdamaian, sedangkan pihak ketiga akan tersisih dan mendapatkan malu. 

Makna harfiah di atas sepintas tidak mengandung makna apa-apa; karena hanya menjelaskan makna kata yang terangkai dalam kalimat. Makna seperti itu untuk jaman sekarang, cukup anak kelas tiga Sekoloh Dasar pun sudah mampu menghafalnya, tidak perlu pengetahuan yang tinggi guna menghafal makna seperti di atas. Hanya akan menjadi sangat berbeda jika kita menelisik secara filosofis apa sebenarnya makna yang terkandung dibalik itu semua. 

Orang bijak mengatakan bahwa membaca fakta itu adalah biasa, membaca makna itu menjadi kaya, tetapi membaca rasa itu menjadikan orang luar biasa. Demikian juga dengan pribahasa di atas. Jika sekedar fakta, maka tidak ada makna apa-apa karena memang setelah biduk berlalu/berlayar, maka rumput air yang salah satu diantaranya adalah kiambang, secara alamiah akan menyatu kembali. 

Lalu makna apa yang akan disampaikan oleh peribahasa itu; adalah upaya yang sia-sia jika ada dua bersaudara sedang berselisih kita mengadu domba, karena dalam prinsip jawa Tego Larane Ora Tego Patine, maknanya mereka itu berselisih sampai seru, namun tidaklah akan mereka berpisah. Bahkan jika ada sesuatu yang mengancam eksistensi persaudaraan mereka, mereka akan melupakan perselisihan dan bersatu padu untuk menghadapi ancaman bersama. 

Selanjutnya bagaimana pemaknaan pada tataran rasa. Untuk yang satu ini tidak bisa kita hanya melihat dari fakta dan makna, karena unsur hakekat menjadi sesuatu yang dominan dan itu merupakan domainnya. Pribahasa di atas memiliki filosofi yang sangat dalam, oleh karena itu tataran rasa sering dikonotasikan pada dunia makrifat; walaupun sebenarnya pada beberapa berbeda eksistensinya. 

Mereka yang memiliki tataran rasa tingkat tinggi memaknai perbedaan sama dengan memaknai sesuatu perjodohan. Karena melihat siang pasti kita ingat malam; pada alam rasa siang dan malam adalah jodoh keduaduanya yang tunggal. Karena perbedaan keduanyalah maka memunculkan satu rasa kesamaan dan pemaknaan itu. 

Pada tataran berfikir tersebut jika dikaitkan dengan fenomena akhir-akhir ini dalam masyarakat; maka efek ekor naga yang diakibatkan oleh geliat pemilihan presiden yang baru lalu jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan pemilihan calon legeslatif. Hal ini terjadi karena; jika pemilihan calon presiden lebih kepada mempersonifikasi idea, sedangkan pemilihan calon legeslaif hanya kepada personal. 

Dengan kata lain pemilihan idea secara filosofis lebih kepada cara pandang dan atau sudut pandang, tata nilai, sistem berfikir, dan sikap hidup. Oleh sebab itu sisa yang membekas dalam psikologis begitu menghujam dan mendalam. Kerentanan dari sistem personifikasi idea ini adalah bila ada informasi yang tidak sejalur dengan rekonstruksi berfikirnya, maka diangap musuh. Oleh sebab itu tidak jarang kita jumpai informasi kebenaranpun tentang sesuatu yang tidak disukai, maka itu tetap salah. 

Celah ini kemudian dimanfaatkan oleh ahli perang urat syaraf dengan membangun “hoak” sebanyakbanyaknya. Sehingga garis tebal pemisah akan terbangun menjadi tebal yang berubah menjadi tembok pemisah. Narasi kebencian terbangun dari rekonstruksi personifikasi idea yang menyempit, dan tidak jarang ini menjadi bahan baku terbangunnya stereotipe. 

Sementara pemilihan legislatif lebih kepada bersifat personal, maksudnya ialah urusan ini menjadi wilayah domestik bagi pelaku. Jadi tidak heran jika Calon Legeslatif satu, tetapi “juru kumpul suara” nya banyak. Hukum yang berlaku transaksional berkepentingan, bahkan hukum ekonomi lebih mengemuka. “Dia dapat suara, saya dapat apa”. 

Pada waktu pemilihan legeslatif ini berlangsung, juru kumpul suara semua memiliki HP baru, uang diperoleh dari calon Legeslatif. Oleh sebab itu bisa terjadi jika calon legeslatif gagal ; menunjukkan perilaku yang agak aneh. Karena berhitung berapa hutang yang harus dibayar; dan berapa harta yang sudah ludes. Tetapi tidak ada seorangpun dari juru kumpul suara yang merasa tersakiti karena calonnya tidak menang; Justru mereka sekarang ramai-ramai menghilang. 

Menyikapi adanya keinginan untuk memisahkan pemilihan Presiden dan Legeslatif adalah sesuatu yang perlu dipertimbangkan. Jika peserta pemilihan presiden hanya dua pasang, maka akan tetap terjadi bipolar, akibatnya ialah ruang personifikasi idea menjadi berhadap-hadapan seperti saat ini. Hal ini memicu terjadinya luka sosial bagi mereka yang calonnya tidak terpilih, dan lebih lanjut akan menjadikan penyimpangan perilaku sosial. Saat ini perilaku seperti itu memiliki media yaitu media sosial, sebagai wadah mereka menyalurkan kebencian personifikasi idea. Oleh sebab itu perlu dipikirkan bahwa peserta Pemilihan Presiden di atur harus lebih dari dua pasang calon, walaupun hal ini tentunya tidak mudah dan ini menjadi tugas dari wakil kita yang ada di parlemen. 

Sedangkan untuk pemilihan legeslatif perlu adanya kaji ulang agar model broker seperti saat ini tidak perlu terjadi. Bagaimana bentuk dan mekanismenya, hal itu adalah wilayah teman-teman ahli Tata Negara. Sedangkan dari konsep filosofis hanya dapat menjangkau membedakan antara kehendak/keinginan dengan kebutuhan, baik dari sisi personal maupun dari sisi publik. 

Belajar dari pengalaman berbangsa yang baru saja kita laksanakan; maka belumlah terlambat jika semua kita menyadari bahwa biduk yang kita bangun dan kita layarkan membelah kita saat berlalu; setelahnya adalah menjadi kueajiban sosial kita semua untuk bertaut kembali bak kiambang dalam pribahasa tadi. 

Biduk itu akan kita lewatkan kembali lima tahun mendatang, dan belajar dari semua itu adalah bagaimana agar kiambang yang akan dilewati tidak menjadi bercerai berai. Cukup berbeda sesaat kemudian bertaut kembali. Karena perbedaan pilihan dan posisi bukan berarti mengubah kiambang menjadi rumput laut . 

Hakekat memilih dan dipilih adalah sesuatu keniscayaan; oleh sebab itu penanaman nilai ini sudah seharusnya ditanamkan dari keluarga, sekolah, yang kemudian dikembangkan dalam masyarakat. Tidak segaris dalam memilih bukanlah sesuatu dosa tanpa ampun, tidak segaris dalam memilih juga bukan berarti menarik garis dermarkasi untuk saling bermusuhan. 

Pada saat kita makan bersama di meja makan, walaupun kita makan nasi yang sama, namun saat memilih lauk yang kita jadikan teman nasi memasuki perut, tentu berbeda pilihan satu dengan yang lain. Bukan berarti yang memilih ikan harus bermusuhan dengan yang memilih daging, yang memilih sayur asam bermusuhan dengan yang memilih pindang. Dan permusuhan itu akan kita bawa terus sampai nanti makan selanjutnya. Perbuatan serupa ini adalah perbuatan sia-sia, kalaulah kita tidak mau menggunakan kata bodoh. 

Sebagai manusia yang berbudaya mari kita jangan terjebak pada perilaku inferior, sehingga merendahkan harkat martabat kita sebagai manusia. Negara ini memerlukan pemimpin, tetapi yang lebih penting dari itu adalah persatuan. Pemimpin kapanpun bisa kita ganti, sedangkan persatuan adalah harga mati. 

Sejarah sudah mencatat, kehancuran negara-negara besar yang pernah hidup di Bumi Nusantara ini, dari Majapahit, Sriwijaya, Mataram dan lain-lainnya yang lebih kecil, ternyata porak poranda karena hancurnya persatuan diantara mereka. Syahwat politik dan kekuasaan diantara mereka adalah pintu masuk yang sangat rentan untuk terjadinya perpecahan. Mari sebelum terlambat jangan kita terperosok pada lubang yang sama, kecuali keledai yang mau melakukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar