Oleh : Sudjarwo
Profesor Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Universitas Lampung
Selepas Sholat magrib coba membuka media komunikasi guna melemparkan gagasan untuk menulis perpindahan bidang dalam satu lingkaran dengan nama Kwadran; yang ini pernah diajarkan oleh Guru Ilmu Ukur pada waktu mempelajari Ilmu Ukur Sudut ditahun 60 an di tingkat Sekolah Lanjutan Atas. Rasanya masih bisa dijadikan garis tumpu untuk memulai pembahasan dari peristiwa sosial yang sedang mengemuka saat ini.
Sayang teman tadi justru balik bertanya Kwadran itu sejenis makanan, pakaian, atau apa. Pertanyaan teman tadi menjadi balik tanya lagi dalam diri, jangan-jangan Kwadran sudah tidak ada lagi dalam Kognitif Map generasi setelah jauh masa penulis. Atau istilah itu sudah berganti tanpa penulis ketahui gantinya. Bisa jadi teman tadi sedang mangkel hatinya justru dapat pertanyaan yang tidak mutu. Untungnya pertanyaan tadi tidak harus diulang sampai tiga kali; jika hal itu terjadi, sangat mungkin memang pertanyaan itu tidak mutu dan tidak untuk dipertanyakan pada saat ini.
Namun biarkanlah itu semua; akan tetapi sebagai orang yang menggeluti ilmu pengetahuan, ada semacam kuwajiban untuk memberikan batasan awal dari suatu istilah, termasuk Kwadran tadi. Menurut Mbah Google (diunduh 25/22019) ; Kuadran artinya adalah 1/4 lingkaran. Jadi, dalam satu lingkaran, terdapat empat bagian atau kuadran yang terbagi oleh 2 sumbu yang berpotongan tegak lurus. Dalam koordinat Cartesius, adalah kuadran I, II, III, dan IV.- Kuadran 1: 0-90 derajat (kanan atas)- Kuadran 2: 90-180 derajat (kanan bawah)- Kuadran 3: 180-270 derajat (kiri bawah)- Kuadran 4: 270-360 derajat (kiri atas) . Ternyata batasan ini masih sama dengan pelajaran tahun enampuluhan; hanya yang berubah ejaan kata saja, dan gaya bahasa yang lebih lugas, bahkan lebih melineal.
Persoalan di atas adalah persoalan teori ilmu pengetahuan yang bersifat final, namun jika diaplikasikan kedalam peristiwa sosial menjadi luar biasa. Kita bisa membayangkan bagaimana jika satu kelompok masyarakat selama ini berada pada kwadran satu; karena sesuatu dan lain hal berubah pindah kwadran, sebagai misal ada pada kwadran tiga. Tentu saja semuanya menjadi terbalik, bahkan mungkin jungkirbalik.
Perpindahan Kwadran ini ternyata sekarang sedang terjadi dilingkungan kita; tidak sedikit yang semula bersahabat karib, berubah menjadi berhadap-hadapan. Ironisnya untuk menutupi kepentingan perpindahan tadi; tidak jarang mencari pembenaran dengan segala cara, bahkan Tuhanpun di bawa-bawa guna mengesyahkan perpindahan Kwadran.
Sebaliknya yang semula berhadap-hadapan berubah menjadi sahabat karib; dengan sejuta dalil dikemukakan; dari yang personal sampai yang vulgar. Atas nama kesamaan visi adalah alasan yang sangat sah untuk dikemukakan, seolah olah meneguhkan tidak ada yang abadi kecuali kepentingan.
Perubahan Kwadran tadi banyak membuat putus urat malu yang disandang sebagian orang; sehingga karena kehilangan kesadaran akan malu; mengakibatkan orang berbuat apa saja; termasuk memaki saudaranya sendiri. Padahal dalam ajaran apapun cara ini adalah cara yang setingkat dengan mahluk yang berkaki empat. Kita bisa melihat bagaimana mahluk berkaki empat yang secara rakus dan bengis mengambil milik temannya, sementara dia sendiri tidak kekurangan. Nama Tuhanpun dibawa bawa untuk meneguhkan ketidakmaluan tadi, sehingga seolah-olah langkah yang diambil secara personal tadi adalah langkah mewakili Tuhan di muka bumi ini.
Semula sebelum memiliki keinginan kelihatannya sangat baik, sangat santun, dan bahkan sangat bijak. Begitu pindah kwadran menjadi berkeinginan, ternyata semua berbanding terbalik dari apa yang tampak selama ini. Semua seolah-olah sah sah saja; karena perilaku itu harus melekat pada jabatan atau pangkat yang dipangkunya.
Mari kita lihat diri kita dan masing-masing lingkungan kita, Seolah situasi sekarang ini betul-betul dimanfaatkan untuk berbuat dan berkata apa saja; karena atas nama hak pribadi serta pembelaan diri; kita merasa sah untuk melakukan itu semua. Pindah Kwadranpun dapat kita lakukan kapan saja dimana saja sesuai kebutuhan. Tampaknya ajaran moral yang sudah ditanamkan oleh leluhur dulu sudah banyak terkoreksi, karena ternyata tidak ditemukan korelasional antara tingkat pendidikan dengan perilaku yang di tampilkan.
Perpindahan Kwadran ternyata menurut Warsono statistikawan Unila (2019) memerlukan istiqomah yang luar biasa beratnya. Perpindahan secara fisik pada Kwadran tidaklah memerlukan energi yang besar, tetapi berbuat istiqomah dalam perubahan ternyata memerlukan energi yang luar biasa besar dan beratnya. Istiqomah seolah olah mewakili lambang bilangan tak terhingga, unlimited bahkan mendekati absurd. Perubahan atau perpindahan memang sah dan harus terjadi, namun perubahan itu harusnya menuju kepada kesempurnaan guna menuju keilahian yang sempurna, itu yang menjadikan valensinya menjadi besar.
Perpindahan Kwadran dapat kita lakukan berkali-kali dalam situasi apapun dan kapanpun, namun perlu diingat bahwa ketentuan di dalam sumbu kwadran itu ada yang Maha Memiliki sekaligus Maha Menentukan, dan sudah menentukan ketentuan sebelum penciptaan kwadran dilakukan.
Upaya berpindah kwadran jika didasari pada niat mencari ridho Sang Pencipta adalah sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan; namun jika perpindahan itu karena aspek dorongan nafsu duniawi; maka sangat sulit tentunya hal ini bisa diterima akal budi. Perlu juga dijadikan referensi bahwa kita tidak perlu berlebihan dalam segala urusan, sebab bisa saja terjadi sesuatu yang kita benci itu, pada waktunya menjadi sesuatu yang kita cintai. Juga sebaliknya sesuatu yang kita bela mati-matian, jangan jangan pada waktunya itu semua kita tinggalkan.
Lebih merepotkan lagi sekarang masalah perpindahan kwadran sampai membawa anak-anak dibawah umur, bahkan ditemukan anak-anak Sekolah Dasar diajak mengikuti ritme kwadran dengan tidak memperhatikan masalah pendidikan anak. Anak-anak yang masih bau kencur ini sudah dicekokki dengan ujaran-ujaran kebencian, yang pada waktunya nanti guru kerepotan di kelas. Saya yakin seyakin yakinnya bahwa yang membuat vedio ini setelah masa pemilihan akan lupa pada anak anak itu; yang paling menanggung kerepotan adalah guru.
Tampaknya masalah pemindahan kwadran ini sudah memaksakan orang lain untuk berkorban guna kepentingan pribadi dan golongan. Akibatnya semua daya upaya dikerahkan dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan dan atau kepentingan pribadi tertentu. Kata “Perubahan” menjadi jargon ampuh yang dapat membius banyak orang diberbagai kalangan. Namun saat dikejar perubahan seperti apa yang diminta atau paling tidak diharapkan, ternyata jawabanya pada “pokoknya” perubahan.
Ternyata kata Pokoknya adalah merupakan amunisi ampuh untuk dijadikan pendorong perpindahan kwadran. Teori Labelling dalam Psikologi Sosial oleh Bandura sekarang sedang dimainkan oleh para disainer politik, guna menjungkirbalikkan adegan yang diperankan oleh para pelakon di atas panggung.
Panggung Sandiwara yang sekarang sedang digelar seolah sedang terus diperluas dan diperlebar kesemua relung kehidupan. Bahkan saking kekurangan panggung wilayah personalpun digarap untuk dijadikan panggung. Tidak perduli suami, istri, anak, cucu, bila perlu digarap untuk dijadikan bara sehingga panggung tetap hangat.
Celah yang ada sekecil apapun akan terus dikejar, dan dijadikan fokus; sehingga menjadi besar dan diberi makna. Sesuai dengan Teori Labelling, maka makna tadi dapat diolah pencitraannya menjadi positif atau negatif, tinggal sesuai kebutuhan.
Kita yang menjadi penonton harus waspada, jangan terpancing terseret kepanggung sehingga ikut menjadi pemain dadakan. Hal ini memang diharap oleh para disainer; semakin banyak pemain dadakan terlibat, maka berarti semakin sukses skenario digelar. Karena gelaran yang mereka sajikan salah satu ukuran keberhasilannya adalah seberapa banyak pemain dadakan ikut naik ke atas panggung; sehingga sandiwara atau Tonil tadi menjadi mahal harganya untuk dibayar oleh pemesannya. Tonil ini sudah memakan banyak korban; terakhir tiga orang emak-emak di Krawang yang harus menjadi pemain sandiwara dadakan, dan entah berapa banyak lagi yang akan menyusul.
Jerat-jerat sutra bertebar di mana-mana; semua kasat mata; hanya kehatihatian dan kewaspadaanlah yang sangat diperlukan saat ini. Ingat tembang Jawa Kuno...Sak bejobejane wong kang lali isih bejo wong kang eling lawan waspodo. ....semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar