Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Senin, 22 Juli 2019

Tidak Libur Kecuali Tidur

Oleh : Sudjarwo
Profesor Ilmu-Ilmu Sosial FKIP Unila

Merambah Mesuji karena tugas khusus dari kementrian merupakan sukacita paling dalam yang dirasakan; karena puluhan tahun berkutat dibirokrasi akademik hampir saja membunuh urat nadi kepekaan sosial sebagai peneliti sosial ditengah masyarakat yang terus berkembang. Mesuji menjadi pilihan dan sekaligus tantangan. Kabupaten ini di samping jauh dilihat dari jarak geografis; juga menantang jika dirasakan dari urat nadi peneliti sosial. 

Beberapa tahun silam saat Kabupaten baru ini dibentuk; kunjungan pernah dilakukan. Saat itu harus menghabiskan kanvas rem dan armstir Hartop, dan harus menembus belantara hutan lindung, serta menyeberang sungai. Ternyata perubahan itu sekarang begitu signifikan. Jalan lebar dimana-mana; infrastruktur dibuat disegala penjuru; dari hiburan kelas rakyat, sampai perkantoran representatif disediakan. Mesuji seperti disulap dari keterbelakangan menjadi Kabupaten Penyongsong Masa Depan. 

Namun semua itu ternyata bukan dibangun dalam sekejab seperti Sang Kuriang atau Bandung Bondowoso, tetapi memerlukan pengorbanan para aparat dan karakteristik pemimpin yang kuat. Medan yang begitu menantang; hujan debu yang begitu pekat, air payau yang menghadang ; di balik itu ternyata ada etos kerja yang tersimpan sebagai magma, yang siap melegak kapan saja. 

Disain kota masa depan terpateri lekat di sini; bak pikiran Soekarno, presiden pertama RI, yang pernah merancang dan menggagas Palangkaraya menjadi Ibu Kota Negara. Demikian juga di sini; bagaimana Mesuju dilihat pada tahun duaribu limapuluh nanti; oleh pemimpin yang visioner. 

Sumberdaya manusia yang tersaring secara alami karena tantangan alam dan iklim kerja; tidak kurang dari limaratus orang PNS hijrah ke luar Mesuji; Ternyata berkah dari sisitem saringan alami ini, menyisakan sedikit orang muda yang memiliki “kegilaan” kepada masa depan untuk bekerja demi anak cucunya. Aparatur Sipil Negara yang selama ini terkenal dengan kemanjaannya akan fasilitas dan kekorupan yang menggila; hipotesis itu terbantahkan pada belantara Mesuji. ASN muda yang tersaring alami ternyata memiliki ketangguhan dalam segala bidang ; baik dari tataran idea maupun tataran operasional. 

Pertanyaan nakal yang tersisa adalah “ Kok Bisa” ? Ternyata kata kunci semua itu adalah Ethos Kerja. Ethos Kerja yang dibangun dan di bawa oleh pemimpin utama merupakan enargi positif bagi pendukung sistem untuk menggerakkan regulasi, baik secara sistem, maupun secara disain. Bangunan kepemimpinan kolegeal seolah merupakan disain ampuh untuk medan seberat ini. 

Bangunan ideologi yang takterbantahkan ini banyak terabaikan, karena carutmarut perpolitikan negara. Sehingga untuk menemukan pembeda antara meja dan kursi sering tidak mampu; karena melihat sesuatu dari kakinya saja. Padahal, kaki kursi dan kaki meja itu jumlahnya berkecenderungan berjumlah sama, paling tidak sama sama empat; walaupun tidak menafikan ada yang berkaki tiga, bahkan satu. 

Pola berfikir diametral selama ini terbangun karena pemahaman yang mendukung begitu kuat terhadap pakem aturan yang mekanistik; sehingga berfikir diluar kotak pandora dianggap dosa. Pembangunan yang seharusnya dapat dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat; justru dianggap naif, karena keharusan melakukan tender; yang berujung pada “wani piro”. Lebih ironis lagi dengan menerbitkan aturan sendiri untuk mengatur diri sendiri; sehingga apa yang dilakukan menjadi sah menurut hukum formal. 

Berdasarkan penelusuran sosiologis; ternyata di Indonesia ini kita menemukan segelintir pimpinan daerah yang begitu konsen terhadap masyarakatnya; namun dari begitu banyak daerah tingkat dua, ternyata tidak sampai sepuluh orang yang dapat kita kumpulkan; Bahkan akhir-akhir ini justru yang mengkhawatirkan adalah banyaknya Kepala Daerah yang tertangkap tangan oleh lembaga anti rasuah. Ironisnya mereka masih bisa tersenyum tanpa dosa saat kamera menerpa mukanya. 

Apa yang bisa kita lakukan pada yang sedikit ini; yaitu Pertama, beliau-beliau itu secara berkala diminta masukannya oleh presiden/gubernur langsung tanpa perantara untuk melakukan evaluasi bersama tentang apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah, apakah yang sudah sampai pada tataran akar rumput, dan apa saja yang belum. Kedua, pada waktu pemerintah pusat atau propinsi akan membuat peraturan atau perundangan, sebaiknya beliau-beliau ini diundang terlebih dahulu untuk dimintai pendapat dan pemikirannya, apakah yang akan diperbuat itu betul-betul dibutuhkan atau hanya akan membebani negara/masyarakat saja. Ketiga, orang-orang seperti ini dijadikan aset pemerintah baik pusat maupun daerah; untuk diletakkan pada posisi strategis setelah mereka menyelesaikan masa bakti pengabdian, karena jika tidak mereka akan menjadi “kepompong sosial” yang tidak ada gunanya. Keempat, pada masa menjelang masa akhir pengabdian yang bersangkutan ada kuwajiban akademik kepada Bapeda dan Tim ahli daerah, pihak Pers sebagai lembaga indipenden untuk bekerjasama dengan Perguruan Tinggi setempat, merekam dan menuliskan konsep pembangunan yang sudah dilakukan serta mengevaluasi secara kritis, guna dijadikan referensi pemimpin daerah itu berikutnya. 

Tebaran mutiara seperti inilah yang secara akademik jika dihimpun kemudian direkonstruksi, akan menjadi Teori Pembangunan Nusantara, yang tidak akan ditemui pada teori-teori barat maupun timur yang ada selama ini, bahkan cenderung diagungkan. Karena diotak para pemimpin daerah seperti ini tidak pernah membayangkan Indonesia ini akan bubar pada tahun kapan, yang ada pada konsep mereka adalah memakmurkan dan mensejahterakan warga masyarakatnya dengan bekerja secara nyata dan terukur. 

Kemampuan untuk berinovasi dan berimajinasi konstruktif tidak akan memerlukan simbol-simbol keagamaan atau aliran. Sehingga kebebasan berekpresi dapat menembus ruang dan waktu. Pemimpin yang selalu memakai simbol keagamaan atau aliran, ternyata tidak dapat dijadikan sebagai jaminan dari perilaku kesolehan. Oleh karenanya kerja nyata dari pemimpin salah satu indikator, dari sejumlah indikator, yaitu tingkat kepuasan warga yang dipimpin menjadi parameter, di samping tingkat kehadiran ditengah mereka sebagai bentuk partisipasi artifisial. Kehadiran ini bisa pada wilayah umum, keagamaan, atau personal. 

Bentuk partisipasi artifisial dimaksud adalah partisipasi yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi lapangan saat itu; oleh karenanya tidak ada satu patron yang dapat dijadikan acuan; namun demikian hal ini mudah dilakukan jika jarak sosial antara warga dan pemimpinnya tidak bersekat terlalu lebar. 

Kemampuan berperan diri dalam masyarakat ini sering terhambat dari segi struktural dan fungsional dari pejabatnya. Dominasi Pol PP yang mengawal para pejabat; sering berfungsi berlebihan, sehingga tembok atau sekat antara pejabat dan rakyat menjadi semakin lebar. Atas nama keamanan, atas nama SOP, seolah dijadikan penghalalan memisahkan pejabat dengan rakyat. 

Ada pengalaman menarik pada waktu penulis bertamu di satu kantor pemerintah, mengisi buku tamu tidak menulis gelar, hanya nama saja. Ternyata mendapatkan pertanyaan lebih dari satu Jam, hanya untuk meyakinkan SatPol PP. Ternyata setelah bertemu dengan pejabatnya petugas SatpolPP yang tadi tampak garang, menjadi seperti kehilangan muka. 

Model-model seperti ini sudah seharusnya ada revisi dan pelatihan khusus bagi para pendamping pejabat (bukan pelayan pejabat), karena regulasi jaman Now sudah sangat memerlukan kecepatan, ketepatan, dan kejituan dalam segala hal. 

Revolusi 4.0 yang tengah didengungkan di mana-mana itu memerlukan redefinisi kembali tentang pejabat, terutama pada lingkungan pemerintahan. Aspek pelayanan saja tampaknya tidak cukup, karena aspek pelayanan bukan hanya domain pejabat, akan tetapi menjadi domain semua unsur dalam rangka membawa negara ini menjadi negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi. 

Menjadi perenungan kita semua, jika anda pejabat; bagaimanakah anda sudah menjalankan fungsi dan peran anda sebagai pejabat. Bagi anda sebagai rakyat; bagaimanakah anda sudah menjalankan kuwajiban dan mendapatkan hak dari regulasi fungsi jabatan. Semoga perenungan ini bisa membangunkan kita semua dari tidur panjang kita, untuk bangun, bangkit dan berjalan menuju Indonesia Masa Depan yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar