Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Selasa, 16 Juli 2019

MARWAH

Oleh : Sudjarwo
Profesor Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Unila

Pertengahan bulan Januari lalu karena sesuatu hal penulis tergiring pada satu pertemuan monumental; karena diundang oleh Seorang Bangsawan Tertinggi di Tanah Lado ini yaitu Yang Dipertuan Raja Skhalabrak Saibatin Puniakan Dalom Beliau Pangeran Edward Syah Pernong Sultan Sekala Bkhak ke-23; untuk diajak berdiskusi secara akademik berkaitan dengan pelestarian nilai-nilai luhur budaya masa lalu, agar tetap terjaga lestari sampai akhir jaman. 

Undangan itu menjadi sangat luar biasa karena berada ditempat yang sangat sederhana untuk ukuran beliau. Kebesaran kerakyatannya sebagai seorang bangsawan justru terpancar pada saat beliau berada ditengah para pengikutnya. Keramahtamahannya tidak menghilangkan ketegasan beliau sebagai mantan petinggi Polri di Daerah. Kesederhanaannya tidak mengesankan sebagai pencitraan; karena ketulusan beliau tampilkan sebagai seorang penjaga dan pelestari budaya. Jika dilihat dari Usia, beliau masih tergolong muda, namun jika ditilik dari visi kedepan, pemikiran-pemikiran beliau sering melampaui usianya. 

Kalau kita berbicara individu maka sudah dapat dikatakan pasti akan terjebak dalam pengkultusan; menjadi berbeda kalau kita berbicara pada tataran filosofis dan konseptual. Ternyata jejak-jejak masa lalu itu masih terekam jelas pada jagad budaya yang hidup ditengah-tengah kita, paling tidak yang hidup ditataran “maind” masing-masing kita dan atau masyarakat. Sebagai contoh tata titi sebagai ciri khas budaya timur jejak jejak itu masih tampak jelas pada ranah kehidupan budaya kita. 

Budaya “adiluhung” yang dimiliki oleh pendahulu kita sebenarnya tidak kalah “moncernya” jika dibandingkan dengan budaya “pop” masa kini. Menjadi persoalan adalah meneruskenalkan (desimination) nilai-nilai tadi kepada generasi berikutnya. Sebagai contoh sudahkah kita melakukan upaya meneruskenalkan kepada anak-anak di tingkat pendidikan dasar di daerah otoritas budaya tertentu bahwa didaerah itu ada petilasan budaya yang seharusnya mereka kenal. Apakah ada upaya dari otoritas formal (di Lampung Barat, contohnya) untuk menemukenalkan pada generasi penerus sehingga terjadi proses pengenalan nilai, selanjutnya diteruskan pada penanaman nilai luhur yang dimiliki oleh leluhur mereka melalui pendidikan formal tersetruktur dalam ranah paedagogik. Sebenarnya otonomi pendidikan dasar diserahkan sepenuhnya pada Pemerintah Daerah Tingkat dua, ini merupakan peluang emas bagi pemerintah daerah untuk mengenalkan, menanamkan nilai nilai lokal kepada generasinya, yang dilakukan secara akademik paedagogik dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain isi Kitab Kuntara Raja Niti, tidak harus dibaca menunggu sang murid masuk Perguruan Tinggi, tetapi paling tidak nilai-nilai lokal yang terkandung dalam buku itu, sudah harus diteruskenalkan kepada para generasi penerus didaerah tempatan secepat mungkin. 

Tampaknya ada kekeliruan berfikir dalam konsep meneruskenalkan nilai budaya pada generasi penerus. Kekeliruan berfikir itu adalah pada tataran pemaknaan konsep “blender” dan “Salad” pada aspek budaya. Jika kita berfikir bahwa budaya Indonesia adalah hasil percampuran secara blended dari semua budaya yang ada di ranah nusantara ini kemudian diberi label budaya Indonesia; maka kita berfikir pada konsep “Blender”. Sebaliknya jika kita berfikir bahwa budaya nusantara adalah hasil perpaduan, dengan tidak menafikan masing-masing budaya daerah, bahkan tetap melestarikannya, kemudian kita meramunya menjadi budaya baru yang berunsur budaya daerah, maka kita berfikir pada konsep “salad”. Konsep ini banyak didiskusikan oleh Sejarawan FKIP Unila Hery Susanto pada berbagai kesempatan, dalam menyoroti kejadian Sejarah Indonesia yang berkecenderungan berfaham Blender dalam tataran Filsafat Sejarah. 

Tulisan ini tidak ingin menggiring kita berhadaphadapan dalam dua kubu berfikir tadi; namun ingin melihat dari sisi lain bagaimana peran “tokoh budaya” (bukan budayawan) memerankan diri menjadi panutan budaya; sehingga terjadi peneruskenalan akan nilai budaya pada orang sekitar, bahkan generasi penerus. 

Peluang emas ini sudah sepantasnya diambil peran oleh para hulubalang budaya guna mensyiarkan kesemua lapisan masyarakat dalam berbagai even. Terutama berkaitan dengan “Trust” yang harus kita tinggalkan kepada mereka generasi penerus. 

Untuk mencapai itu semua ada beberapa hal yang bisa kita lakukan sekarang; sebelum segala sesuatu terlambat: Pertama, harus ada upaya untuk menulis kembali dalam bahasa kekinian hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai luhur budaya, sehingga terjadi pendokumentasian secara baik. Kedua, melakukan upaya digitalisasi dan dokumentasidaring tentang nilai-nilai luhur tadi untuk disebarluaskan melalui media daring, sehingga generasi penerus tidak kehilangan jejak, serta tidak perlu kehilangan waktu untuk menemukenali nilai budaya lokal miliknya. Ketiga, ada kebijakkan dari pemerintah daerah tingkat dua untuk meneruskenalkan budaya lokal disekolah-sekolah tingkat dasar, sehingga penyemaian sistem nilai lokal kepada generasi penerus akan berlangsung secara baik dan benar serta bisa dipertangungjawabkan. 

Ketiga hal tadi adalah sesuatu yang minimal sekali paling tidak yang harus kita lakukan kepada generasi penerus; agar nilai-nilai budaya lokal dengan kearifan lokalnya tidak hilang begitu saja ditelan masa. Kita bisa membayangkan jika suatu saat seorang Mahasiswa Program Doktor menulis tentang nilai-nilai kelampungan harus pergi ke Luar Negeri mencari rujukan pustaka. Prediksi Ansori Jausal budayawan sekaligus teknolog Lampung mengatakan bahwa sekian tahun yang akan datang Bahasa Lampung akan hilang. Warning ini seyogyanya menjadi peringatan dini bagi ulun lapung agar waspada terhadap bencana itu. 

Pembelajaran muatan lokal disekolah-sekolah yang selama ini hanya diwujudkan dalam dua hal, pertama belajar aksara Lampung, kedua, belajar menenun tapis lampung; sudah seharusnya ditinjau kembali. Kedua hal tersebut tidak salah, hanya akan menjadi sempurna jika juga diajarkan menemukenali nilai-nilai dan budaya lampung. 

Urusan budaya bukanlah hanya urusan “Sanggar Budaya”, akan tetapi lebih dari itu adalah urusan kita semua untuk melestarikan budaya itu, adalah sesuatu yang jauh lebih penting. Sebagai contoh mengapa di Bumi Lancang Kuning para pejabat sampai lapisan tertentu pada hari tertentu harus menggunakan pakaian melayu, dan ini diatur oleh peraturan daerah. Bagaimana kalau itu dijadikan referensi untuk Lampung, guna meneruskenalkan budaya serta mensyiarkan budaya; melakukan hal yang sama, tentu saja dengan mengadopsi disesuaikan dengan wilayah adat budaya dimana Daerah Tingkat Dua itu berada. 

Seperti yang telah dikatakan oleh Saibatin Puniakan Dalom Beliau Pangeran Edward Syah Pernong Sultan Sekala Bkhak ke-23; bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sudah final dan harga mati. Tidak ada negara di dalam negara, akan tetapi bukan berarti kita melakukan genosida budaya, Justra Undang Undang Dasar Negara menjamin keberadaan budaya tadi; Koentjaraningrat mengatakan bahwa budaya Indonesia adalah puncak-puncak budaya daerah yang menyatu dan itulah Budaya Nasional. 

Serbuan budaya luar yang menerpa para milenial adalah sesuatu yang tidak dapat kita pungkiri, dan tidak pula dapat kita hindari. Dampak revolusi industri 4.0 sekarang sudah sangat terasa menerpa generasi milenial kita. Persoalannya adalah pada mereka tetap bebas mengenal budaya lain, tetapi bagaimana mereka tidak lupa dengan budaya sendiri. Bahkan mensejajarkan budaya lokal ini dengan budaya global. 

Membendung budaya adalah tidak mungkin, juga memaksakan budaya tidak mudah. Oleh sebab itu pengenalan secara persuasif, seperti yang dilakukan oleh Beliau Pangeran Edward Syah Pernong Sultan Sekala Bkhak ke-23; perlu mendapatkan perhatian semua pihak, terutama mereka yang berada pada jajaran birokrasi formal. 

Upaya melestarikan budaya bukanlah seperti menanam tumbuhhan yang hari ini ditanam sekian waktu akan berbuah. Budaya justru memerlukan waktu antargenerasi dan bersifat berkelanjutan; oleh karena itu yang perlu dipikirkan siapa lagi yang akan mengambil peran pada masa yang akan datang, dan bagaimana pula ditempat lain agar juga memiliki tokoh pelestari budaya ini. 

Indonesia pada umumnya, Lampung pada khususnya; menghadapi masalah akulturasi budaya yang begitu masif; oleh sebab itu diperlukan upaya-upaya ekstra agar budaya lokal tidak habis tergerus atas nama globalisasi. Proteksi ini bukan berarti mengeliminasi, akan tetapi mempertahankan nilai-nilai dari budaya itu yang sangat diperlukan. Menggunakan istilah ahli Sosiologi budaya profan akan tergerus dengan budaya instan, namun esistensi nilai tidak baru akan hilang bersamaan dengan pelaku atau pendukung nilai tadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar