Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Selasa, 16 Juli 2019

OPINI

Oleh: Sudjarwo
Profesor Ilmu-Ilmu Sosial FKIP Unila

Memenuhi undangan kehormatan untuk memberikan materi  pada pelatihan yang dilaksanakan Pimpinan Harian Terbesar di Provinsi ini adalah kebanggaan sekaligus kebahagiaan tersendiri, karena pertama; hanya orang-orang dengan kreteria tertentu oleh penyelenggara Harian ini diberi kesempatan untuk tampil di ruang Pelatihan mereka. Kedua bisa bertemu dengan orang-orang muda yang serius menimba ilmu untuk mengembangkan diri salah satunya untuk menulis Opini. Terakhir, atau ketiga yang membahagiakan adalah tersambungnya generasi jika generasi sebelumnya akan mati; karena “Sesudah” dan “Sebelum” adalah rangkaian waktu yang tak terpisahkan oleh apapun. Walaupun ada sedikit prihatin ternyata dari peserta yang ikut tidak satupun dari Perguruan Tinggi dimana penulis berasal; ini berarti regenerasi menjadi sedikit terganggu.

Membaca bahasa tubuh yang ditampilkan oleh peserta muda menimbulkan kegairahan tersendiri pada saat tampil dihadapan mereka; karena terbayang ke depan akan muncul penulis handal yang akan berkiprah di laman media masa ataupun media sosial. Walaupun sedikit kekhawatiran muncul apakah pengembaraan sunyi sebagai penulis di alam awang-awang atau idea menurut bahasa filsafat, membuat mereka betah nantinya. Di alam itu tidak akan dijumpai materi, uang, dan penghargaan; yang ada hanya Nyanyi Sunyi meminjam bahasa Pramudya Anantatur. Namun demikian optimisme ternyata lebih unggul dari rasa khawatir tadi, karena opini yang akan mereka tulis nantinya bahannya sudah berserak di mana-mana. Apalagi saat seperti sekarang ini banyak sekali orang sedang asyik masyuk membangun opini diri, untuk menghaluskan bahasa Menjual Diri.

Bukti kalimat terakhir tadi dapat kita jumpai disudut-sudut ruang kosong di Kota ini. Banyak sekali gambar orang yang selama ini kita tidak kenal mereka, secara tiba-tiba muncul kepermukaan untuk menawarkan diri untuk dipilih. Apakah ini yang disebut sebagai “Politik Banas Pati” dalam dunia pewayangan; mungkin ya, bisa juga tidak; tergantung dari mana dan siapa yang melihatnya. Kalau mereka yang bersudut pandang Pragmatis, maka akan mengatakan tidak ada yang salah. Namun jika mereka dari sudut idealistik, maka akan muncul anggapan sudah layakkah baju dengan badan.
Ternyata hari pencoblosan tanggal tujuhbelas April nanti menjadi hirukpikuk bukan karena pemilihan presiden yang diwacanakan pada tataran ide; akan tetapi akan menjadi ajang perebutan joblosan para jago-jago ini dialam nyata. Bisa jadi mereka tidak hirau siapa presiden yang akan menang, yang penting mereka mampu menjadi pengumpul coblosan terbanyak pada bilik-bilik suara yang tersedia. Hal ini sudah bisa ditengarai, sedikit sekali pejengan gambar mereka yang memberi latar presiden anutannya.

Gambar diri disebar diseantero daerah, baik di lapangan, tingkungan jalan, bawah pohon; bahkan di saluran air tepi jalan. Konon semenjak gambar-gambar diri ini terpasang; para mahluk halus penunggu tempat itu merasa tersaingi dan terusik keberadaannya. Daerah itu yang semula nyaman mereka tinggali karena terkesan angker, sekarang justru menjadi sangat ramai atas kehadiran gambar diri, sementara sang penghuni gambarnya tidak pernah tampak, dan jikapun tampak tak pelak akan membuat gempar sekitar.

Perebutan hati massa dengan membentuk opini-pun merambah dunia digital yang luar biasa derasnya. Hampir setiap detik kita dapat melihat dan membaca bagaimana upaya-upaya menjual diri untuk membentuk opini, untuk dapat terpilih dalam konstelasi percaturan politik. Lapangan percaturanpun sudah menembus kehidupan di mana-mana; tidak luput dunia akademik yang katanya menjunjung tinggi nilai nilai akademik, termasuk didalamnya kesantunan, etika dan lain lagi yang purnaidea. Ternyata juga tidak terlepas dari sikap-sikap manusia yang inferior; opini dibentuk hanya karena tidak terpilih untuk menduduki jabatan tertentu dan kesalahan dibebankan kepada orang yang tidak memilih dirinya. Kesesatan berfikir serupa ini menjadi semacam outlet dari kefrustrasian individualistik.

Haru biru kondisi di atas sekarang sedang mewabah di sekeliling kita; sehingga membedakan yang benar dengan yang salah menjadi tipis sekali. Oleh karena itu kejernihan berfikir bagi semua kita  sangat dituntut. Teori-teori komunikasi jaman lampau tampaknya sekarang mendapatkan koreksi jaman; sehingga rekonstruksi berfikirpun tampaknya juga harus berubah. Inteligensi buatan sebagai dampah dari revolusi 4.0 menuju 5.0; belum mampu menampung koreksian ini secara baik.
Komunikasi personal yang dahulunya lebih mengedepankan pada tatap muka hadir langsung, sekarang tatap muka tidak hadir langsung. Penggunaan media ruang dan personal sekarang sudah begitu masip untuk membentuk opini. Ketidakhadiran secara fisik bukanlah suatu kesalahan, justru menunjukkan tingkat kecanggihan.

Apa Yang Harus Kita Perbuat
Pertanyaan ini menggelantung dipikiran dan angan banyak orang, dalam menghadapi situasi seperti sekarang ini. Manakala kita berhadapan dengan kondisi di atas. Termasuk saat kita membuka Gaget juga akan ketemu wajah memelas minta belaspilih dari kita. Belum lagi kita harus membaca umpatan yang mengeluarkan isi kebun binatang. Apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi situasi ini:
Pertama, kita belajar berdamai dengan lingkungan, dengan cara mau membaca/melihat boleh, atau bersikap tidak peduli, juga tidak ada persoalan. Kedua, bila kita tertarik coba perhatikan dengan seksama, lalu apa kesan anda. Semua itu untuk modal anda dalam mengambil keputusan nantinya. Ketiga, memilih dan memilah mana informasi yang dapat dipercaya mana yang tidak, sehingga kita selalu terkontrol menggunakan akal sehat; ingat pepatah millenial Ujung Jarimu adalah Harimaumu.
Walaupun jurus itu bukanlah merupakan jurus pamungkas atau jurus sapu jagad; tetapi paling tidak dapat memberikan solusi sementara dalam rangka menghadapi derasnya informasi untuk membangun diri, dan sering membuat lupa diri. Oleh karena itu mengambil jarak sosial merupakan solusi alternatif yang dapat ditempuh dengan baik.

Orientasi diri dan kepentingan sesaat seperti sekarang ini memang sering mengaburkan niat mulia dari orang-orang yang memang betul-betul ingin memperjuangkan kepentingan masyarakat yang lebih besar. Derasnya budaya “wani piro” bagai air bah yang melanda kehidupan nyata. Bahkan pada waktu beberapa hari silam ada nara sumber yang menyebutkan untuk menjadi Pimpinan Daerah Tingkat II saat ini memerlukan sekian karung uang kertas. Bahkan pada waktu kasus pembangunan  Jembatan Lintas di kota, ada anggota dewan terhormat yang berani mengatakan bahwa Jengkol yang ada di dadanya sebagai penanda itu perlu dana tidak murah.

Pembelajaran demi pembelajaran tampaknya mulai berlangsung ditengah masyarakat; konsep Andragogi sedang berjalan dalam poros prosesnya.; namun menjadi liar manakala ada stimulan stimulan yang tidak sejalan dengan kaidah normatif. Ini dapat kita buktikan dari komen komen yang diberikan pada mereka yang mengunggah peristiwa tetapi diluar logika akal sehat. Sampai sampai penyayi terkenal diera delapanpuluhan Dewi Yull mengatakan “maha Benar dengan segala koment nya” saat dimintai komentar tentang buasnya nitizen mengomentari dirinya.

Namun demikian ada juga yang sengaja membuat hal itu, yang kegunaannya adalah untuk dijadikan barometer terhadap sesuatu peristiwa sosial tertentu. Hukum Paradoksal serupa ini dalam ilmu-ilmu sosial sangat lumrah terjadi dengan suatu anggapan untuk mengukur kekuatan arus, harus diberi penghambat atau perlawanan terhadap arus tadi, setelah itu survey dilakukan, dan hasilnya inilah kemudian dijadikan “pembenaran anggapan” dari suatu keadaan.

Rasanya belum terlambat jika pada saat seperti ini kita melakukan introsfeksi apakah  jalan yang  kita pilih ini dalam bernegara sudah benar. Mari kita mengevaluasinya kembali secara seksama dengan berfikir yang jernih. Apakah tujuan dibentuknya negara ini oleh para pendahulu kita sudah kita jadikan arahan dengan benar, atau malah sebaliknya kita menjauh dari tujuan yang sudah ditetapkan.
Negara kesatuan dengan keanekaragaman ini bisa pecah manakala kita lepas kendali dari perjanjian luhur yang kita ikrarkan bersama pada saat penyataan kemerdekaan dahulu. Dahulu pembentukan negara terhalang dengan faksi kedaerahan, kemudian masalah itu selesai, berganti pada pertentangan atas dasar faksi ideologi.  Masalah itu selesai, ternyata kita masuk pada faksi keyakinan keagamaan. Kita seolah semua lupa dengan sejarah bagaimana sidang BPUPKI dalam merumuskan dasar negara. Bagaimana kebesaran jiwa para anggotanya dalam mensikapi Piagam Jakarta. Jiwa Besar seperti mereka saat ini kita butuhkan untuk membangun negara ini untuk lebih maju.

Sekat-sekat yang tadinya feksibel sekarang dibuat sedemikian rupa kakunya; sehingga batas antara Tolerasi dengan Pengkafiran menjadi sangat tipis. Dinding : Kita – Dia, Kami – Kamu; dibangun bagai tembok Berlin. Sekat kita bangun dimana-mana, yang pada akhirnya menjebak diri kita sendiri masuk kedalam taman sesat. Mari sebelum terlambat kita kembali kepada qitoh dimerdekakannya Republik Indonesia ini adalah perjuangan banyak orang, banyak keyakinan, namun satu tujuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar