Oleh: Sudjarwo
Profesor Ilmu-Ilmu Sosial FKIP Unila
Memenuhi undangan kehormatan untuk
memberikan materi pada pelatihan yang
dilaksanakan Pimpinan Harian Terbesar di Provinsi ini adalah kebanggaan
sekaligus kebahagiaan tersendiri, karena pertama; hanya orang-orang dengan
kreteria tertentu oleh penyelenggara Harian ini diberi kesempatan untuk tampil
di ruang Pelatihan mereka. Kedua bisa bertemu dengan orang-orang muda yang
serius menimba ilmu untuk mengembangkan diri salah satunya untuk menulis Opini.
Terakhir, atau ketiga yang membahagiakan adalah tersambungnya generasi jika
generasi sebelumnya akan mati; karena “Sesudah” dan “Sebelum” adalah rangkaian
waktu yang tak terpisahkan oleh apapun. Walaupun ada sedikit prihatin ternyata
dari peserta yang ikut tidak satupun dari Perguruan Tinggi dimana penulis
berasal; ini berarti regenerasi menjadi sedikit terganggu.
Membaca bahasa tubuh yang ditampilkan oleh
peserta muda menimbulkan kegairahan tersendiri pada saat tampil dihadapan
mereka; karena terbayang ke depan akan muncul penulis handal yang akan
berkiprah di laman media masa ataupun media sosial. Walaupun sedikit
kekhawatiran muncul apakah pengembaraan sunyi sebagai penulis di alam
awang-awang atau idea menurut bahasa filsafat, membuat mereka betah nantinya.
Di alam itu tidak akan dijumpai materi, uang, dan penghargaan; yang ada hanya Nyanyi Sunyi meminjam bahasa Pramudya
Anantatur. Namun demikian optimisme ternyata lebih unggul dari rasa khawatir
tadi, karena opini yang akan mereka tulis nantinya bahannya sudah berserak di
mana-mana. Apalagi saat seperti sekarang ini banyak sekali orang sedang asyik
masyuk membangun opini diri, untuk menghaluskan bahasa Menjual Diri.
Bukti kalimat terakhir tadi dapat kita jumpai
disudut-sudut ruang kosong di Kota ini. Banyak sekali gambar orang yang selama
ini kita tidak kenal mereka, secara tiba-tiba muncul kepermukaan untuk
menawarkan diri untuk dipilih. Apakah ini yang disebut sebagai “Politik Banas Pati” dalam dunia pewayangan;
mungkin ya, bisa juga tidak; tergantung dari mana dan siapa yang melihatnya.
Kalau mereka yang bersudut pandang Pragmatis, maka akan mengatakan tidak ada
yang salah. Namun jika mereka dari sudut idealistik, maka akan muncul anggapan
sudah layakkah baju dengan badan.
Ternyata hari pencoblosan tanggal
tujuhbelas April nanti menjadi hirukpikuk bukan karena pemilihan presiden yang
diwacanakan pada tataran ide; akan tetapi akan menjadi ajang perebutan joblosan
para jago-jago ini dialam nyata. Bisa jadi mereka tidak hirau siapa presiden
yang akan menang, yang penting mereka mampu menjadi pengumpul coblosan
terbanyak pada bilik-bilik suara yang tersedia. Hal ini sudah bisa ditengarai,
sedikit sekali pejengan gambar mereka yang memberi latar presiden anutannya.
Gambar diri disebar diseantero daerah, baik
di lapangan, tingkungan jalan, bawah pohon; bahkan di saluran air tepi jalan.
Konon semenjak gambar-gambar diri ini terpasang; para mahluk halus penunggu
tempat itu merasa tersaingi dan terusik keberadaannya. Daerah itu yang semula
nyaman mereka tinggali karena terkesan angker, sekarang justru menjadi sangat
ramai atas kehadiran gambar diri, sementara sang penghuni gambarnya tidak
pernah tampak, dan jikapun tampak tak pelak akan membuat gempar sekitar.
Perebutan hati massa dengan membentuk
opini-pun merambah dunia digital yang luar biasa derasnya. Hampir setiap detik
kita dapat melihat dan membaca bagaimana upaya-upaya menjual diri untuk
membentuk opini, untuk dapat terpilih dalam konstelasi percaturan politik.
Lapangan percaturanpun sudah menembus kehidupan di mana-mana; tidak luput dunia
akademik yang katanya menjunjung tinggi nilai nilai akademik, termasuk
didalamnya kesantunan, etika dan lain lagi yang purnaidea. Ternyata juga tidak
terlepas dari sikap-sikap manusia yang inferior; opini dibentuk hanya karena
tidak terpilih untuk menduduki jabatan tertentu dan kesalahan dibebankan kepada
orang yang tidak memilih dirinya. Kesesatan berfikir serupa ini menjadi semacam
outlet dari kefrustrasian individualistik.
Haru biru kondisi di atas sekarang sedang
mewabah di sekeliling kita; sehingga membedakan yang benar dengan yang salah
menjadi tipis sekali. Oleh karena itu kejernihan berfikir bagi semua kita sangat dituntut. Teori-teori komunikasi jaman
lampau tampaknya sekarang mendapatkan koreksi jaman; sehingga rekonstruksi
berfikirpun tampaknya juga harus berubah. Inteligensi buatan sebagai dampah
dari revolusi 4.0 menuju 5.0; belum mampu menampung koreksian ini secara baik.
Komunikasi personal yang dahulunya lebih
mengedepankan pada tatap muka hadir langsung, sekarang tatap muka tidak hadir
langsung. Penggunaan media ruang dan personal sekarang sudah begitu masip untuk
membentuk opini. Ketidakhadiran secara fisik bukanlah suatu kesalahan, justru
menunjukkan tingkat kecanggihan.
Apa Yang Harus Kita Perbuat
Pertanyaan ini menggelantung dipikiran dan
angan banyak orang, dalam menghadapi situasi seperti sekarang ini. Manakala
kita berhadapan dengan kondisi di atas. Termasuk saat kita membuka Gaget juga
akan ketemu wajah memelas minta belaspilih dari kita. Belum lagi kita harus
membaca umpatan yang mengeluarkan isi kebun binatang. Apa yang harus kita
lakukan untuk menghadapi situasi ini:
Pertama, kita belajar berdamai dengan
lingkungan, dengan cara mau membaca/melihat boleh, atau bersikap tidak peduli,
juga tidak ada persoalan. Kedua, bila kita tertarik coba perhatikan dengan
seksama, lalu apa kesan anda. Semua itu untuk modal anda dalam mengambil
keputusan nantinya. Ketiga, memilih dan memilah mana informasi yang dapat
dipercaya mana yang tidak, sehingga kita selalu terkontrol menggunakan akal sehat;
ingat pepatah millenial Ujung Jarimu adalah Harimaumu.
Walaupun jurus itu bukanlah merupakan jurus
pamungkas atau jurus sapu jagad; tetapi paling tidak dapat memberikan solusi
sementara dalam rangka menghadapi derasnya informasi untuk membangun diri, dan
sering membuat lupa diri. Oleh karena itu mengambil jarak sosial merupakan
solusi alternatif yang dapat ditempuh dengan baik.
Orientasi diri dan kepentingan sesaat
seperti sekarang ini memang sering mengaburkan niat mulia dari orang-orang yang
memang betul-betul ingin memperjuangkan kepentingan masyarakat yang lebih
besar. Derasnya budaya “wani piro”
bagai air bah yang melanda kehidupan nyata. Bahkan pada waktu beberapa hari
silam ada nara sumber yang menyebutkan untuk menjadi Pimpinan Daerah Tingkat II
saat ini memerlukan sekian karung uang kertas. Bahkan pada waktu kasus pembangunan Jembatan Lintas di kota, ada anggota dewan
terhormat yang berani mengatakan bahwa Jengkol yang ada di dadanya sebagai
penanda itu perlu dana tidak murah.
Pembelajaran demi pembelajaran tampaknya
mulai berlangsung ditengah masyarakat; konsep Andragogi sedang berjalan dalam
poros prosesnya.; namun menjadi liar manakala ada stimulan stimulan yang tidak
sejalan dengan kaidah normatif. Ini dapat kita buktikan dari komen komen yang
diberikan pada mereka yang mengunggah peristiwa tetapi diluar logika akal
sehat. Sampai sampai penyayi terkenal diera delapanpuluhan Dewi Yull mengatakan
“maha Benar dengan segala koment nya” saat dimintai komentar tentang buasnya
nitizen mengomentari dirinya.
Namun demikian ada juga yang sengaja
membuat hal itu, yang kegunaannya adalah untuk dijadikan barometer terhadap
sesuatu peristiwa sosial tertentu. Hukum Paradoksal serupa ini dalam ilmu-ilmu
sosial sangat lumrah terjadi dengan suatu anggapan untuk mengukur kekuatan
arus, harus diberi penghambat atau perlawanan terhadap arus tadi, setelah itu
survey dilakukan, dan hasilnya inilah kemudian dijadikan “pembenaran anggapan” dari suatu keadaan.
Rasanya belum terlambat jika pada saat
seperti ini kita melakukan introsfeksi apakah jalan yang kita pilih ini dalam bernegara sudah benar.
Mari kita mengevaluasinya kembali secara seksama dengan berfikir yang jernih.
Apakah tujuan dibentuknya negara ini oleh para pendahulu kita sudah kita
jadikan arahan dengan benar, atau malah sebaliknya kita menjauh dari tujuan
yang sudah ditetapkan.
Negara kesatuan dengan keanekaragaman ini
bisa pecah manakala kita lepas kendali dari perjanjian luhur yang kita ikrarkan
bersama pada saat penyataan kemerdekaan dahulu. Dahulu pembentukan negara
terhalang dengan faksi kedaerahan, kemudian masalah itu selesai, berganti pada
pertentangan atas dasar faksi ideologi.
Masalah itu selesai, ternyata kita masuk pada faksi keyakinan keagamaan.
Kita seolah semua lupa dengan sejarah bagaimana sidang BPUPKI dalam merumuskan
dasar negara. Bagaimana kebesaran jiwa para anggotanya dalam mensikapi Piagam
Jakarta. Jiwa Besar seperti mereka saat ini kita butuhkan untuk membangun
negara ini untuk lebih maju.
Sekat-sekat yang tadinya feksibel sekarang
dibuat sedemikian rupa kakunya; sehingga batas antara Tolerasi dengan Pengkafiran
menjadi sangat tipis. Dinding : Kita – Dia, Kami – Kamu; dibangun bagai tembok
Berlin. Sekat kita bangun dimana-mana, yang pada akhirnya menjebak diri kita
sendiri masuk kedalam taman sesat. Mari sebelum terlambat kita kembali kepada
qitoh dimerdekakannya Republik Indonesia ini adalah perjuangan banyak orang,
banyak keyakinan, namun satu tujuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar