Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Senin, 22 Juli 2019

DUA PULUH MEI

Oleh : Sudjarwo
Profesor Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Unila

Judul itu sengaja ditampilkan sesuai dengan aslinya , karena ada beberapa alasan; baik alasan yang bersifat subyektif maupun yang bersifat obyektif. Alasan subyektif italah karena tanggal itu merupakan tanggal Ulang Tahun penulis yang tentu sudah tidak muda lagi. Menjadi semacam hari refleksi dan introspeksi diri untuk menetapkan apa yang sudah dilakukan, apa yang belum dilakukan, dan ini yang lebih penting adalah apa saja yang jangan dilakukan. 

Sementara alasan obyektif adalah tanggal itu merupakan tanggal kebangkitan nasional bagi Bangsa Indoenesia, dengan mendasari sejarah pada kelahiran organisasi kebangsaan yang dasarnya nasionalisme; yang merupakan embrio keindonesiaan; yaitu “Boedi Oetomo” sebagai wadah perjuangan menuju Indonesia Merdeka tahun 1908 di Yogjakarta. Organisasi ini digagas oleh dr.Wahidin Sudirohusodo beserta teman-temannya; semula dasar organisasinya adalah bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan. 

Perjalanan organisasi ini makin ke depan makin redup, tetapi sinar cahaya yang ditinggalkan semakin terang menerangi Bumi Nusantara ini. Setelah 1908 organisasi-organisasi sosial, kemasyarakatan, keagamaan bermunculan di Indonesia, yang pada waktu itu masih bernama Hindia Belanda. Aliran yang di bawa dari yang keras dan terang-terangan menentang Belanda sebagai penjajah, ada yang membangun kolaborasi dengan Belanda. Tetapi ada juga yang mandiri untuk memperjuangkan visi dan misinya. Tentu kita semua harus memahami tentang suasana kebatinan pada saat itu; karena sumber daya manusia yang masih sangat terbatas, cengkeraman kuku penjajah yang begitu kuat, dan faktor sosial lain yang juga mempengaruhi suasana pada saat itu. 

Dua Puluh Mei pada tahun 2019 ini menjadi luar biasa karena di samping Hari Kebangkitan Nasional, juga hari dimana dua hari lagi menjelang Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia akan mengumumkan secara resmi hasil kinerjanya dari penyelenggaraan pesta demokrasi yang telah dihelat pada tanggal 17 April lalu. 

Menjadi lebih luar biasa lagi karena masyarakat Indonesia saat ini telah terbelah dalam menyikapinya. Ada belahan atau kelompok yang menunggu dengan riang gembira karena merasa akan diuntungkan akan pengumuman itu. Belahan berikutnya adalah kelompok yang merasa tidak perlu percaya dengan hasil KPU karena tidak mengakomodir keinginan mereka. Kelompok ketiga adalah kelompok yang tidak mau tau berhasil atau tidak, diumumkan atau tidak; bagi mereka siapapun pemenangnya tidak mempengruhi mereka. Kelompok ini lebih melihat kaitan peristiwa dengan relevansi kepentingan diri. 

Bahkan ada yang berkeinginan membuat gerakan massa yang lebih besar untuk memperjuangkan keinginannya, dengan cara berlindung pada dalil dalil yang menguntungkan mereka. Tentu mengabaikan dalil orang lain yang juga memiliki kepentingan sama demi suatu pembenaran, yang juga belum tentu benar. 

Tampaknya Politik Bentur Gerbong ini menjadi semacam kecenderungan baru di negeri ini. Semula barisan disusun, dari bermula sebagai simpatisan dijadikan militan; kemudian diikat pada satu keyakinan sebagai pembenaran. Gerbong ini kemudian di komando untuk membentur gerbong lain; atau kalau tidak ada gerbong yang dibenturkan, gerbong dijadikan kendaraan untuk suatu tujuan. 

Gerbong imaginer ini dapat dihadirkan menjadi real, cukup penyebarannya melalui media sosial. Undangan, pemberitahuan, atau apapun namanya media sosial dijadi sarana kelompok dalam membangun dan memelihara kelompok. Peristiwa-peristiwa akhir akhir ini sudah banyak membuktikan; kita tidak melihat adanya rapat rapat; namun begitu hari yang ditentukan, ada banyak orang berkumpul dalam satu titik, dalam waktu sekejab. 

Rasa nasionalisme kebangsaan yang dibangun oleh para pendahulu pada tahun 1908 itu tampaknya seiring perjalanan waktu, dan jaman; sudah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Perubahan itu diantaranya adalah bentuk nasionalisme kebangsaan tampaknya berubah bentuk kepada nasionalisme bentuk lain. Bentuk lain ini yang sekarang masih terus bergerak; sehingga sulit mengidentifikasinya dan berarti sulit untuk memberinya nama. 

Gerakan nasionalisme populis seperti ini bisa bermakna sangat sempit; karena hanya diperuntukkan pada kepentingan tertentu. Kebebasan berucap (bukan hanya sekedar berbicara), kebebasan berserikat yang sekarang lebih didominasi pada berserikat maya; menjadikan individu bergerak bebas, keluar masuk satu kelompok, atau menggandengkan diri dari satu kelompok dengan kelopok lain. 

Banyak orang sudah melupakan sejarah, yang ironis lupa dengan sejarah bangsanya; akibatnya orang berkecenderungan instan, jika berbuat kesalahanpun dengan ringan untuk mengatakan maaf. Tidak ada tanggung jawab moral yang menjadi ukuran martabat manusia; karena semua diselesaikan dengan riel, formal dan yang menyedihkan lagi emosional. 

Jati diri dibangun dengan satu kata “pokoknya”, dan kata ini menjadi panji-panji atau atribut untuk membedakan diri dengan pihak lain. Bahkan saat tulisan ini dibuat ada oknum tertentu sedang membuat kelompok pokoknya untuk melakukan aksi diluar nalar sehat. Namun karena negara ini sudah terlanjur menganut paham demokrasi yang memberikan semua orang ruang untuk menampilkan ekspresinya, maka kita semua harus menerima itu, sekalipun kita tidak menyukai. Benar kata filosof pada abad lalu mengatakan “Saya menghormati hak anda untuk berbicara, walaupun saya tidak menyukai apa yang anda bicarakan”, tampaknya diksi ini semakin populer dipakai saat ini. 

Momentum Pemilihan Umum tampaknya dijadikan pintu masuk untuk mereka yang memiliki Labido Politik tinggi, sehingga syahwat ini dapat bebas mereka salurkan baik secara nyata maupun melalui media. Hanya saja tidak mereka sadari bahwa syahwat politik yang disalurkan dengan mengabaikan etika berpolitik, yang ada hanya akan menyengsarakan diri sendiri dan orang lain. 

Rasa kebangsaan yang sudah dibangun berpuluh tahun di negeri ini; bisa rusak karena perilaku sesaat dari orang orang yang tidak bertanggung jawab dalam menyalurkan syahwat politiknya. Hal ini dapat kita ibaratkan, seseorang yang makan petai atau jengkol di rumah, kemudian buang air kecil di kantor. Orang sekantor harus menderita menahan bau tidak sedap saat masuk kekamar kecil, karena ulah seseorang dalam menyalurkan hajatnya. 

Rasa kebangsaan ditanam oleh para pendidik dari tingkat balita sampai mahasiswa, memerlukan waktu yang cukup lama. Merenda dan merajut nilai kebangsaan mereka selipkan dalam setiap kata pembelajaran, dan mereka tuliskan pada setiap celah kata dalam Rencana Pembelajaran. Bisa dibayangkan pedihnya hati para pendidik manakala melihat hasil didikannya tergerus nilai kebangsaannya hanya karena kepentingan sesaat. 

Pasa saat ini salah satu perajut dan perekat serta pengikat rasa dan nilai kebangsaan adalah pendidikan. Kita sudah sulit menemukan pada ranah kehidupan lainnya. Manakala pendidikanpun terkena imbas dari kesesatan berfikir akan nasionalisme keIndonesiaan; maka hancurlah benteng terakhir dari bangsa ini menjaga marwahnya. 

Oleh sebab itu mari kita perkuat tembok terakhir ini untuk tidak dimasuki racun penghancur nasionalisme kebangsaan Indonesia. Adapun caranya adalah berikan hak-hak pendidik sesuai dengan aturan dan tepat waktu. Berikan penghargaan pada pendidik sesuai dengan aturan yang berlaku. Jauhkan unsur pendidikan dengan politik praktis yang mengejar kepentingan sesaat apalagi untuk mengabdi pada orang perorang atau golongan. Biarkan dunia pendidikan menumbuhkembangkan insan pendidikan sesuai dengan marwah kebagsaan. 

Mumpung belum terlambat, siapapun yang memegang tampuk pimpinan negeri ini, mari kita perkuat pendidikan sebagai kawah candradimuka sekaligus tembok untuk menjaga keberlangsungan nilai-nilai nasionalisme kebangsaan Indonesia. Dia adalah asli milik bangsa ini dan bukan dari rekayasa orang luar. Proses asimilasi, akulturasi yang panjang selama ini telah memunculkan puncak puncak budaya bangsa yang luhur dan terus kita lestarikan sepanjang masa. Benih-benih perpecahan yang disebabkan oleh syahwat ingin berkuasa dari sebagian orang perlu diwaspadai jangan sampai berakibat pada rusaknya tatanan rajut keIndonesiaan yang telah kita bangun selama ini.

Tidak Libur Kecuali Tidur

Oleh : Sudjarwo
Profesor Ilmu-Ilmu Sosial FKIP Unila

Merambah Mesuji karena tugas khusus dari kementrian merupakan sukacita paling dalam yang dirasakan; karena puluhan tahun berkutat dibirokrasi akademik hampir saja membunuh urat nadi kepekaan sosial sebagai peneliti sosial ditengah masyarakat yang terus berkembang. Mesuji menjadi pilihan dan sekaligus tantangan. Kabupaten ini di samping jauh dilihat dari jarak geografis; juga menantang jika dirasakan dari urat nadi peneliti sosial. 

Beberapa tahun silam saat Kabupaten baru ini dibentuk; kunjungan pernah dilakukan. Saat itu harus menghabiskan kanvas rem dan armstir Hartop, dan harus menembus belantara hutan lindung, serta menyeberang sungai. Ternyata perubahan itu sekarang begitu signifikan. Jalan lebar dimana-mana; infrastruktur dibuat disegala penjuru; dari hiburan kelas rakyat, sampai perkantoran representatif disediakan. Mesuji seperti disulap dari keterbelakangan menjadi Kabupaten Penyongsong Masa Depan. 

Namun semua itu ternyata bukan dibangun dalam sekejab seperti Sang Kuriang atau Bandung Bondowoso, tetapi memerlukan pengorbanan para aparat dan karakteristik pemimpin yang kuat. Medan yang begitu menantang; hujan debu yang begitu pekat, air payau yang menghadang ; di balik itu ternyata ada etos kerja yang tersimpan sebagai magma, yang siap melegak kapan saja. 

Disain kota masa depan terpateri lekat di sini; bak pikiran Soekarno, presiden pertama RI, yang pernah merancang dan menggagas Palangkaraya menjadi Ibu Kota Negara. Demikian juga di sini; bagaimana Mesuju dilihat pada tahun duaribu limapuluh nanti; oleh pemimpin yang visioner. 

Sumberdaya manusia yang tersaring secara alami karena tantangan alam dan iklim kerja; tidak kurang dari limaratus orang PNS hijrah ke luar Mesuji; Ternyata berkah dari sisitem saringan alami ini, menyisakan sedikit orang muda yang memiliki “kegilaan” kepada masa depan untuk bekerja demi anak cucunya. Aparatur Sipil Negara yang selama ini terkenal dengan kemanjaannya akan fasilitas dan kekorupan yang menggila; hipotesis itu terbantahkan pada belantara Mesuji. ASN muda yang tersaring alami ternyata memiliki ketangguhan dalam segala bidang ; baik dari tataran idea maupun tataran operasional. 

Pertanyaan nakal yang tersisa adalah “ Kok Bisa” ? Ternyata kata kunci semua itu adalah Ethos Kerja. Ethos Kerja yang dibangun dan di bawa oleh pemimpin utama merupakan enargi positif bagi pendukung sistem untuk menggerakkan regulasi, baik secara sistem, maupun secara disain. Bangunan kepemimpinan kolegeal seolah merupakan disain ampuh untuk medan seberat ini. 

Bangunan ideologi yang takterbantahkan ini banyak terabaikan, karena carutmarut perpolitikan negara. Sehingga untuk menemukan pembeda antara meja dan kursi sering tidak mampu; karena melihat sesuatu dari kakinya saja. Padahal, kaki kursi dan kaki meja itu jumlahnya berkecenderungan berjumlah sama, paling tidak sama sama empat; walaupun tidak menafikan ada yang berkaki tiga, bahkan satu. 

Pola berfikir diametral selama ini terbangun karena pemahaman yang mendukung begitu kuat terhadap pakem aturan yang mekanistik; sehingga berfikir diluar kotak pandora dianggap dosa. Pembangunan yang seharusnya dapat dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat; justru dianggap naif, karena keharusan melakukan tender; yang berujung pada “wani piro”. Lebih ironis lagi dengan menerbitkan aturan sendiri untuk mengatur diri sendiri; sehingga apa yang dilakukan menjadi sah menurut hukum formal. 

Berdasarkan penelusuran sosiologis; ternyata di Indonesia ini kita menemukan segelintir pimpinan daerah yang begitu konsen terhadap masyarakatnya; namun dari begitu banyak daerah tingkat dua, ternyata tidak sampai sepuluh orang yang dapat kita kumpulkan; Bahkan akhir-akhir ini justru yang mengkhawatirkan adalah banyaknya Kepala Daerah yang tertangkap tangan oleh lembaga anti rasuah. Ironisnya mereka masih bisa tersenyum tanpa dosa saat kamera menerpa mukanya. 

Apa yang bisa kita lakukan pada yang sedikit ini; yaitu Pertama, beliau-beliau itu secara berkala diminta masukannya oleh presiden/gubernur langsung tanpa perantara untuk melakukan evaluasi bersama tentang apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah, apakah yang sudah sampai pada tataran akar rumput, dan apa saja yang belum. Kedua, pada waktu pemerintah pusat atau propinsi akan membuat peraturan atau perundangan, sebaiknya beliau-beliau ini diundang terlebih dahulu untuk dimintai pendapat dan pemikirannya, apakah yang akan diperbuat itu betul-betul dibutuhkan atau hanya akan membebani negara/masyarakat saja. Ketiga, orang-orang seperti ini dijadikan aset pemerintah baik pusat maupun daerah; untuk diletakkan pada posisi strategis setelah mereka menyelesaikan masa bakti pengabdian, karena jika tidak mereka akan menjadi “kepompong sosial” yang tidak ada gunanya. Keempat, pada masa menjelang masa akhir pengabdian yang bersangkutan ada kuwajiban akademik kepada Bapeda dan Tim ahli daerah, pihak Pers sebagai lembaga indipenden untuk bekerjasama dengan Perguruan Tinggi setempat, merekam dan menuliskan konsep pembangunan yang sudah dilakukan serta mengevaluasi secara kritis, guna dijadikan referensi pemimpin daerah itu berikutnya. 

Tebaran mutiara seperti inilah yang secara akademik jika dihimpun kemudian direkonstruksi, akan menjadi Teori Pembangunan Nusantara, yang tidak akan ditemui pada teori-teori barat maupun timur yang ada selama ini, bahkan cenderung diagungkan. Karena diotak para pemimpin daerah seperti ini tidak pernah membayangkan Indonesia ini akan bubar pada tahun kapan, yang ada pada konsep mereka adalah memakmurkan dan mensejahterakan warga masyarakatnya dengan bekerja secara nyata dan terukur. 

Kemampuan untuk berinovasi dan berimajinasi konstruktif tidak akan memerlukan simbol-simbol keagamaan atau aliran. Sehingga kebebasan berekpresi dapat menembus ruang dan waktu. Pemimpin yang selalu memakai simbol keagamaan atau aliran, ternyata tidak dapat dijadikan sebagai jaminan dari perilaku kesolehan. Oleh karenanya kerja nyata dari pemimpin salah satu indikator, dari sejumlah indikator, yaitu tingkat kepuasan warga yang dipimpin menjadi parameter, di samping tingkat kehadiran ditengah mereka sebagai bentuk partisipasi artifisial. Kehadiran ini bisa pada wilayah umum, keagamaan, atau personal. 

Bentuk partisipasi artifisial dimaksud adalah partisipasi yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi lapangan saat itu; oleh karenanya tidak ada satu patron yang dapat dijadikan acuan; namun demikian hal ini mudah dilakukan jika jarak sosial antara warga dan pemimpinnya tidak bersekat terlalu lebar. 

Kemampuan berperan diri dalam masyarakat ini sering terhambat dari segi struktural dan fungsional dari pejabatnya. Dominasi Pol PP yang mengawal para pejabat; sering berfungsi berlebihan, sehingga tembok atau sekat antara pejabat dan rakyat menjadi semakin lebar. Atas nama keamanan, atas nama SOP, seolah dijadikan penghalalan memisahkan pejabat dengan rakyat. 

Ada pengalaman menarik pada waktu penulis bertamu di satu kantor pemerintah, mengisi buku tamu tidak menulis gelar, hanya nama saja. Ternyata mendapatkan pertanyaan lebih dari satu Jam, hanya untuk meyakinkan SatPol PP. Ternyata setelah bertemu dengan pejabatnya petugas SatpolPP yang tadi tampak garang, menjadi seperti kehilangan muka. 

Model-model seperti ini sudah seharusnya ada revisi dan pelatihan khusus bagi para pendamping pejabat (bukan pelayan pejabat), karena regulasi jaman Now sudah sangat memerlukan kecepatan, ketepatan, dan kejituan dalam segala hal. 

Revolusi 4.0 yang tengah didengungkan di mana-mana itu memerlukan redefinisi kembali tentang pejabat, terutama pada lingkungan pemerintahan. Aspek pelayanan saja tampaknya tidak cukup, karena aspek pelayanan bukan hanya domain pejabat, akan tetapi menjadi domain semua unsur dalam rangka membawa negara ini menjadi negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi. 

Menjadi perenungan kita semua, jika anda pejabat; bagaimanakah anda sudah menjalankan fungsi dan peran anda sebagai pejabat. Bagi anda sebagai rakyat; bagaimanakah anda sudah menjalankan kuwajiban dan mendapatkan hak dari regulasi fungsi jabatan. Semoga perenungan ini bisa membangunkan kita semua dari tidur panjang kita, untuk bangun, bangkit dan berjalan menuju Indonesia Masa Depan yang lebih baik.

BIDUK LALU KIAMBANG BERTAUT

Sudjarwo
Profesor Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Unila

Pada waktu Sekolah Rakyat tahun 60 an guru Bahasa Indonesia saat itu sering menugaskan murid kelas enam untuk menghafal makna dari kiasan atau pribahasa. Salah satu diantaranya tugas itu adalah mencari arti pribahasa dari Biduk Lalu Kiambang Bertaut. 

Jaman Dulu (Jadul) belum ada teknologi canggih seperti sekarang, dengan mesin pencari kata, kita dapat segera mendapatkannya hanya beberapa saat saja. Jaman Old kita harus mencarinya di Perpustakaan yaitu Buku Bahasa Indonesia yang memuat Pribahasa Dalam Bahasa Indonesia; Itupun tidak semua perpustakaan sekolah memilikinya. 

Makna kata itu sederhana sekali dari hasil penelusuran ternyata memiliki dua arti harfiah, yaitu, pertama: perselisihan antara dua orang bersaudara tidak perlu dicampuri oleh orang lain karena sebentar juga akan berdamai. Makna kedua; perselisihan antara dua orang beraudara, apabila dicampuri oleh pihak ketiga akan segera berakhir dengan perdamaian, sedangkan pihak ketiga akan tersisih dan mendapatkan malu. 

Makna harfiah di atas sepintas tidak mengandung makna apa-apa; karena hanya menjelaskan makna kata yang terangkai dalam kalimat. Makna seperti itu untuk jaman sekarang, cukup anak kelas tiga Sekoloh Dasar pun sudah mampu menghafalnya, tidak perlu pengetahuan yang tinggi guna menghafal makna seperti di atas. Hanya akan menjadi sangat berbeda jika kita menelisik secara filosofis apa sebenarnya makna yang terkandung dibalik itu semua. 

Orang bijak mengatakan bahwa membaca fakta itu adalah biasa, membaca makna itu menjadi kaya, tetapi membaca rasa itu menjadikan orang luar biasa. Demikian juga dengan pribahasa di atas. Jika sekedar fakta, maka tidak ada makna apa-apa karena memang setelah biduk berlalu/berlayar, maka rumput air yang salah satu diantaranya adalah kiambang, secara alamiah akan menyatu kembali. 

Lalu makna apa yang akan disampaikan oleh peribahasa itu; adalah upaya yang sia-sia jika ada dua bersaudara sedang berselisih kita mengadu domba, karena dalam prinsip jawa Tego Larane Ora Tego Patine, maknanya mereka itu berselisih sampai seru, namun tidaklah akan mereka berpisah. Bahkan jika ada sesuatu yang mengancam eksistensi persaudaraan mereka, mereka akan melupakan perselisihan dan bersatu padu untuk menghadapi ancaman bersama. 

Selanjutnya bagaimana pemaknaan pada tataran rasa. Untuk yang satu ini tidak bisa kita hanya melihat dari fakta dan makna, karena unsur hakekat menjadi sesuatu yang dominan dan itu merupakan domainnya. Pribahasa di atas memiliki filosofi yang sangat dalam, oleh karena itu tataran rasa sering dikonotasikan pada dunia makrifat; walaupun sebenarnya pada beberapa berbeda eksistensinya. 

Mereka yang memiliki tataran rasa tingkat tinggi memaknai perbedaan sama dengan memaknai sesuatu perjodohan. Karena melihat siang pasti kita ingat malam; pada alam rasa siang dan malam adalah jodoh keduaduanya yang tunggal. Karena perbedaan keduanyalah maka memunculkan satu rasa kesamaan dan pemaknaan itu. 

Pada tataran berfikir tersebut jika dikaitkan dengan fenomena akhir-akhir ini dalam masyarakat; maka efek ekor naga yang diakibatkan oleh geliat pemilihan presiden yang baru lalu jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan pemilihan calon legeslatif. Hal ini terjadi karena; jika pemilihan calon presiden lebih kepada mempersonifikasi idea, sedangkan pemilihan calon legeslaif hanya kepada personal. 

Dengan kata lain pemilihan idea secara filosofis lebih kepada cara pandang dan atau sudut pandang, tata nilai, sistem berfikir, dan sikap hidup. Oleh sebab itu sisa yang membekas dalam psikologis begitu menghujam dan mendalam. Kerentanan dari sistem personifikasi idea ini adalah bila ada informasi yang tidak sejalur dengan rekonstruksi berfikirnya, maka diangap musuh. Oleh sebab itu tidak jarang kita jumpai informasi kebenaranpun tentang sesuatu yang tidak disukai, maka itu tetap salah. 

Celah ini kemudian dimanfaatkan oleh ahli perang urat syaraf dengan membangun “hoak” sebanyakbanyaknya. Sehingga garis tebal pemisah akan terbangun menjadi tebal yang berubah menjadi tembok pemisah. Narasi kebencian terbangun dari rekonstruksi personifikasi idea yang menyempit, dan tidak jarang ini menjadi bahan baku terbangunnya stereotipe. 

Sementara pemilihan legislatif lebih kepada bersifat personal, maksudnya ialah urusan ini menjadi wilayah domestik bagi pelaku. Jadi tidak heran jika Calon Legeslatif satu, tetapi “juru kumpul suara” nya banyak. Hukum yang berlaku transaksional berkepentingan, bahkan hukum ekonomi lebih mengemuka. “Dia dapat suara, saya dapat apa”. 

Pada waktu pemilihan legeslatif ini berlangsung, juru kumpul suara semua memiliki HP baru, uang diperoleh dari calon Legeslatif. Oleh sebab itu bisa terjadi jika calon legeslatif gagal ; menunjukkan perilaku yang agak aneh. Karena berhitung berapa hutang yang harus dibayar; dan berapa harta yang sudah ludes. Tetapi tidak ada seorangpun dari juru kumpul suara yang merasa tersakiti karena calonnya tidak menang; Justru mereka sekarang ramai-ramai menghilang. 

Menyikapi adanya keinginan untuk memisahkan pemilihan Presiden dan Legeslatif adalah sesuatu yang perlu dipertimbangkan. Jika peserta pemilihan presiden hanya dua pasang, maka akan tetap terjadi bipolar, akibatnya ialah ruang personifikasi idea menjadi berhadap-hadapan seperti saat ini. Hal ini memicu terjadinya luka sosial bagi mereka yang calonnya tidak terpilih, dan lebih lanjut akan menjadikan penyimpangan perilaku sosial. Saat ini perilaku seperti itu memiliki media yaitu media sosial, sebagai wadah mereka menyalurkan kebencian personifikasi idea. Oleh sebab itu perlu dipikirkan bahwa peserta Pemilihan Presiden di atur harus lebih dari dua pasang calon, walaupun hal ini tentunya tidak mudah dan ini menjadi tugas dari wakil kita yang ada di parlemen. 

Sedangkan untuk pemilihan legeslatif perlu adanya kaji ulang agar model broker seperti saat ini tidak perlu terjadi. Bagaimana bentuk dan mekanismenya, hal itu adalah wilayah teman-teman ahli Tata Negara. Sedangkan dari konsep filosofis hanya dapat menjangkau membedakan antara kehendak/keinginan dengan kebutuhan, baik dari sisi personal maupun dari sisi publik. 

Belajar dari pengalaman berbangsa yang baru saja kita laksanakan; maka belumlah terlambat jika semua kita menyadari bahwa biduk yang kita bangun dan kita layarkan membelah kita saat berlalu; setelahnya adalah menjadi kueajiban sosial kita semua untuk bertaut kembali bak kiambang dalam pribahasa tadi. 

Biduk itu akan kita lewatkan kembali lima tahun mendatang, dan belajar dari semua itu adalah bagaimana agar kiambang yang akan dilewati tidak menjadi bercerai berai. Cukup berbeda sesaat kemudian bertaut kembali. Karena perbedaan pilihan dan posisi bukan berarti mengubah kiambang menjadi rumput laut . 

Hakekat memilih dan dipilih adalah sesuatu keniscayaan; oleh sebab itu penanaman nilai ini sudah seharusnya ditanamkan dari keluarga, sekolah, yang kemudian dikembangkan dalam masyarakat. Tidak segaris dalam memilih bukanlah sesuatu dosa tanpa ampun, tidak segaris dalam memilih juga bukan berarti menarik garis dermarkasi untuk saling bermusuhan. 

Pada saat kita makan bersama di meja makan, walaupun kita makan nasi yang sama, namun saat memilih lauk yang kita jadikan teman nasi memasuki perut, tentu berbeda pilihan satu dengan yang lain. Bukan berarti yang memilih ikan harus bermusuhan dengan yang memilih daging, yang memilih sayur asam bermusuhan dengan yang memilih pindang. Dan permusuhan itu akan kita bawa terus sampai nanti makan selanjutnya. Perbuatan serupa ini adalah perbuatan sia-sia, kalaulah kita tidak mau menggunakan kata bodoh. 

Sebagai manusia yang berbudaya mari kita jangan terjebak pada perilaku inferior, sehingga merendahkan harkat martabat kita sebagai manusia. Negara ini memerlukan pemimpin, tetapi yang lebih penting dari itu adalah persatuan. Pemimpin kapanpun bisa kita ganti, sedangkan persatuan adalah harga mati. 

Sejarah sudah mencatat, kehancuran negara-negara besar yang pernah hidup di Bumi Nusantara ini, dari Majapahit, Sriwijaya, Mataram dan lain-lainnya yang lebih kecil, ternyata porak poranda karena hancurnya persatuan diantara mereka. Syahwat politik dan kekuasaan diantara mereka adalah pintu masuk yang sangat rentan untuk terjadinya perpecahan. Mari sebelum terlambat jangan kita terperosok pada lubang yang sama, kecuali keledai yang mau melakukannya.

Selasa, 16 Juli 2019

PINDAH KWADRAN

Oleh : Sudjarwo 
Profesor Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Universitas Lampung 

Selepas Sholat magrib coba membuka media komunikasi guna melemparkan gagasan untuk menulis perpindahan bidang dalam satu lingkaran dengan nama Kwadran; yang ini pernah diajarkan oleh Guru Ilmu Ukur pada waktu mempelajari Ilmu Ukur Sudut ditahun 60 an di tingkat Sekolah Lanjutan Atas. Rasanya masih bisa dijadikan garis tumpu untuk memulai pembahasan dari peristiwa sosial yang sedang mengemuka saat ini. 

Sayang teman tadi justru balik bertanya Kwadran itu sejenis makanan, pakaian, atau apa. Pertanyaan teman tadi menjadi balik tanya lagi dalam diri, jangan-jangan Kwadran sudah tidak ada lagi dalam Kognitif Map generasi setelah jauh masa penulis. Atau istilah itu sudah berganti tanpa penulis ketahui gantinya. Bisa jadi teman tadi sedang mangkel hatinya justru dapat pertanyaan yang tidak mutu. Untungnya pertanyaan tadi tidak harus diulang sampai tiga kali; jika hal itu terjadi, sangat mungkin memang pertanyaan itu tidak mutu dan tidak untuk dipertanyakan pada saat ini. 

Namun biarkanlah itu semua; akan tetapi sebagai orang yang menggeluti ilmu pengetahuan, ada semacam kuwajiban untuk memberikan batasan awal dari suatu istilah, termasuk Kwadran tadi. Menurut Mbah Google (diunduh 25/22019) ; Kuadran artinya adalah 1/4 lingkaran. Jadi, dalam satu lingkaran, terdapat empat bagian atau kuadran yang terbagi oleh 2 sumbu yang berpotongan tegak lurus. Dalam koordinat Cartesius, adalah kuadran I, II, III, dan IV.- Kuadran 1: 0-90 derajat (kanan atas)- Kuadran 2: 90-180 derajat (kanan bawah)- Kuadran 3: 180-270 derajat (kiri bawah)- Kuadran 4: 270-360 derajat (kiri atas) . Ternyata batasan ini masih sama dengan pelajaran tahun enampuluhan; hanya yang berubah ejaan kata saja, dan gaya bahasa yang lebih lugas, bahkan lebih melineal. 

Persoalan di atas adalah persoalan teori ilmu pengetahuan yang bersifat final, namun jika diaplikasikan kedalam peristiwa sosial menjadi luar biasa. Kita bisa membayangkan bagaimana jika satu kelompok masyarakat selama ini berada pada kwadran satu; karena sesuatu dan lain hal berubah pindah kwadran, sebagai misal ada pada kwadran tiga. Tentu saja semuanya menjadi terbalik, bahkan mungkin jungkirbalik. 

Perpindahan Kwadran ini ternyata sekarang sedang terjadi dilingkungan kita; tidak sedikit yang semula bersahabat karib, berubah menjadi berhadap-hadapan. Ironisnya untuk menutupi kepentingan perpindahan tadi; tidak jarang mencari pembenaran dengan segala cara, bahkan Tuhanpun di bawa-bawa guna mengesyahkan perpindahan Kwadran. 

Sebaliknya yang semula berhadap-hadapan berubah menjadi sahabat karib; dengan sejuta dalil dikemukakan; dari yang personal sampai yang vulgar. Atas nama kesamaan visi adalah alasan yang sangat sah untuk dikemukakan, seolah olah meneguhkan tidak ada yang abadi kecuali kepentingan. 

Perubahan Kwadran tadi banyak membuat putus urat malu yang disandang sebagian orang; sehingga karena kehilangan kesadaran akan malu; mengakibatkan orang berbuat apa saja; termasuk memaki saudaranya sendiri. Padahal dalam ajaran apapun cara ini adalah cara yang setingkat dengan mahluk yang berkaki empat. Kita bisa melihat bagaimana mahluk berkaki empat yang secara rakus dan bengis mengambil milik temannya, sementara dia sendiri tidak kekurangan. Nama Tuhanpun dibawa bawa untuk meneguhkan ketidakmaluan tadi, sehingga seolah-olah langkah yang diambil secara personal tadi adalah langkah mewakili Tuhan di muka bumi ini. 

Semula sebelum memiliki keinginan kelihatannya sangat baik, sangat santun, dan bahkan sangat bijak. Begitu pindah kwadran menjadi berkeinginan, ternyata semua berbanding terbalik dari apa yang tampak selama ini. Semua seolah-olah sah sah saja; karena perilaku itu harus melekat pada jabatan atau pangkat yang dipangkunya. 

Mari kita lihat diri kita dan masing-masing lingkungan kita, Seolah situasi sekarang ini betul-betul dimanfaatkan untuk berbuat dan berkata apa saja; karena atas nama hak pribadi serta pembelaan diri; kita merasa sah untuk melakukan itu semua. Pindah Kwadranpun dapat kita lakukan kapan saja dimana saja sesuai kebutuhan. Tampaknya ajaran moral yang sudah ditanamkan oleh leluhur dulu sudah banyak terkoreksi, karena ternyata tidak ditemukan korelasional antara tingkat pendidikan dengan perilaku yang di tampilkan. 

Perpindahan Kwadran ternyata menurut Warsono statistikawan Unila (2019) memerlukan istiqomah yang luar biasa beratnya. Perpindahan secara fisik pada Kwadran tidaklah memerlukan energi yang besar, tetapi berbuat istiqomah dalam perubahan ternyata memerlukan energi yang luar biasa besar dan beratnya. Istiqomah seolah olah mewakili lambang bilangan tak terhingga, unlimited bahkan mendekati absurd. Perubahan atau perpindahan memang sah dan harus terjadi, namun perubahan itu harusnya menuju kepada kesempurnaan guna menuju keilahian yang sempurna, itu yang menjadikan valensinya menjadi besar. 

Perpindahan Kwadran dapat kita lakukan berkali-kali dalam situasi apapun dan kapanpun, namun perlu diingat bahwa ketentuan di dalam sumbu kwadran itu ada yang Maha Memiliki sekaligus Maha Menentukan, dan sudah menentukan ketentuan sebelum penciptaan kwadran dilakukan. 

Upaya berpindah kwadran jika didasari pada niat mencari ridho Sang Pencipta adalah sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan; namun jika perpindahan itu karena aspek dorongan nafsu duniawi; maka sangat sulit tentunya hal ini bisa diterima akal budi. Perlu juga dijadikan referensi bahwa kita tidak perlu berlebihan dalam segala urusan, sebab bisa saja terjadi sesuatu yang kita benci itu, pada waktunya menjadi sesuatu yang kita cintai. Juga sebaliknya sesuatu yang kita bela mati-matian, jangan jangan pada waktunya itu semua kita tinggalkan. 

Lebih merepotkan lagi sekarang masalah perpindahan kwadran sampai membawa anak-anak dibawah umur, bahkan ditemukan anak-anak Sekolah Dasar diajak mengikuti ritme kwadran dengan tidak memperhatikan masalah pendidikan anak. Anak-anak yang masih bau kencur ini sudah dicekokki dengan ujaran-ujaran kebencian, yang pada waktunya nanti guru kerepotan di kelas. Saya yakin seyakin yakinnya bahwa yang membuat vedio ini setelah masa pemilihan akan lupa pada anak anak itu; yang paling menanggung kerepotan adalah guru. 

Tampaknya masalah pemindahan kwadran ini sudah memaksakan orang lain untuk berkorban guna kepentingan pribadi dan golongan. Akibatnya semua daya upaya dikerahkan dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan dan atau kepentingan pribadi tertentu. Kata “Perubahan” menjadi jargon ampuh yang dapat membius banyak orang diberbagai kalangan. Namun saat dikejar perubahan seperti apa yang diminta atau paling tidak diharapkan, ternyata jawabanya pada “pokoknya” perubahan. 

Ternyata kata Pokoknya adalah merupakan amunisi ampuh untuk dijadikan pendorong perpindahan kwadran. Teori Labelling dalam Psikologi Sosial oleh Bandura sekarang sedang dimainkan oleh para disainer politik, guna menjungkirbalikkan adegan yang diperankan oleh para pelakon di atas panggung. 

Panggung Sandiwara yang sekarang sedang digelar seolah sedang terus diperluas dan diperlebar kesemua relung kehidupan. Bahkan saking kekurangan panggung wilayah personalpun digarap untuk dijadikan panggung. Tidak perduli suami, istri, anak, cucu, bila perlu digarap untuk dijadikan bara sehingga panggung tetap hangat. 

Celah yang ada sekecil apapun akan terus dikejar, dan dijadikan fokus; sehingga menjadi besar dan diberi makna. Sesuai dengan Teori Labelling, maka makna tadi dapat diolah pencitraannya menjadi positif atau negatif, tinggal sesuai kebutuhan. 

Kita yang menjadi penonton harus waspada, jangan terpancing terseret kepanggung sehingga ikut menjadi pemain dadakan. Hal ini memang diharap oleh para disainer; semakin banyak pemain dadakan terlibat, maka berarti semakin sukses skenario digelar. Karena gelaran yang mereka sajikan salah satu ukuran keberhasilannya adalah seberapa banyak pemain dadakan ikut naik ke atas panggung; sehingga sandiwara atau Tonil tadi menjadi mahal harganya untuk dibayar oleh pemesannya. Tonil ini sudah memakan banyak korban; terakhir tiga orang emak-emak di Krawang yang harus menjadi pemain sandiwara dadakan, dan entah berapa banyak lagi yang akan menyusul. 

Jerat-jerat sutra bertebar di mana-mana; semua kasat mata; hanya kehatihatian dan kewaspadaanlah yang sangat diperlukan saat ini. Ingat tembang Jawa Kuno...Sak bejobejane wong kang lali isih bejo wong kang eling lawan waspodo. ....semoga.